jpnn.com - USIANYA sudah tidak lagi muda. Tapi semangat La Susah untuk tetap menafkahi keluarga patut diacungi jempol. Meski profesinya hanya sebagai penjual ikan keliling, pria kelahiran Raha, Kabupaten Muna, Sultra, sebelum kemerdekaan Republik Indonesia ini, ingin melihat anaknya bisa menyandang status sarjana dari Universitas Halu Oleo.
Laporan: Steven Pontoh, Luwuk Post
BACA JUGA: Yepi Rogoh Kantong Sendiri, Ciptakan Kincir Listrik untuk Masyarakat
WAKTU sudah menunjukkan pukul 10.30 Wita, pria paroh baya dengan sandal jepit kuning berjalan kaki di jalan Kolonel Sugiono, Kota Luwuk, Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah.
Dua buah ember bekas cat menggantung di tali yang terpaut dengan sebatang kayu di bahunya. Ia terus berjalan tanpa menghiraukan hiruk pikuk kendaraan di jalanan Kota Luwuk yang memang sedikit ramai pagi itu. Kulit hitam legamnya sangat jelas mengambarkan bahwa pria ini kerap berjemur di bawah terik mentari.
BACA JUGA: Kisah Ima, Anak Turiyo dan Alimah yang Diundang ke Konvensi Demokrat AS
La Susah, demikian nama yang diberikan orang tuanya 71 tahun silam. Tapi jangan berpikir karena nama itu yang membuatnya harus tetap bertahan dengan profesi menjual ikan keliling, sebab ayah dua anak ini punya alasannya.
Ia mengaku mendapatkan nama itu dari kedua orang tuanya karena kondisi keluarga ketika itu memang dalam masa-masa sulit. Di mana kehidupan mereka dalam satu rumah untuk mendapatkan asupan makanan bisa dibilang sangat memprihatinkan.
BACA JUGA: Menilik Kehidupan Mantan Artis Film Panas Eva Arnas, Berubah 180 Derajat
“Saat saya lahir itu, orang tua saya bilang sangat sulit. Untuk makan saja, satu tongkol jagung itu dibagi empat orang. Sangat sulit,” tuturnya lirih.
Walau usianya sudah terbilang lansia, tapi ingatan La Susah masih cukup tajam. Bahkan hari pertama kali dirinya menginjakkan kaki di kota Luwuk masih tersimpan rapi di memorinya. Yakni, hari Senin tanggal 25 Mei 1977.
Bekerja serabutan, La Susah kemudian bertemu dengan pujaan hatinya. Setelah memantapkan hati, tahun 1982 Ia memutuskan menikah. Sejak saat itu, La Susah mulai bekerja tetap sebagai penjual ikan keliling.
Pekerjaan serabutan sedikit ditinggalkan, sebab menjual ikan keliling hanya butuh modal sedikit. Yakni, dua buah ember bekas cat, tali nilon dan sepotong kayu yang akan dijadikan pikulan. Tentunya dengan sedikit rupiah untuk membeli ikan di pasar, yang lantas dijualnya lagi.
“Saya setiap pagi sudah belanja di pasar Simpong. Kemudian jalan keliling sampai ke Kodim. Kalau dihitung jaraknya hanya tiga kilometer tapi karena saya jualan masuk keluar gang dan lorong, jadi kalau ditotal bisa 10 kilometer sehari,” imbuhnya.
Pekerjaan itu terus dilakoninya hingga kini. Meski pendapatannya terbilang tidak banyak, tapi La Susah merasa selama ini selalu berkecukupan dan Ia mensyukuri itu.
Dikaruniai dua orang anak tentu saja membuatnya terus berusaha. Sesekali ia mencari pekerjaan sampingan. Tapi aktivitas pagi hari keliling kota dengan dua buah ember di pikulan tetap dilakoni.
Dengan kerja keras, La Susah akhirnya mampu membeli sebidang pekarangan dan membangun rumah. Tapi yang patut diapresiasi adalah keinginannya untuk terus memberikan pendidikan kepada si buah hati yang kini tengah menempuh pendidikan di Universitas Halu Oleo atau yang lebih dikenal dengan singkatan Unhalu Kendari, Sulawesi Tenggara.
“Anak saya yang pertama sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Yang kedua saat ini sementara kuliah di Unhalu jurusan kimia,” jelasnya dengan semangat.
Ia mengaku meskipun penghasilannya sudah tidak sebesar dulu saat masih fisiknya masih kuat, tapi keinginannya melihat buah hati diwisuda sangat besar.
“Saya juga bersyukur karena anak saya memiliki kemampuan yang lebih baik dari saya, sehingga dia dapat beasiswa. Semoga dia bisa selesai dengan nilai yang baik,” katanya sembari memperbaiki posisi topi paslon idamannya pada Pilkada 2015.
Kondisi yang sudah tua membuatnya sedikit mengurangi aktivitas jualan. Dulunya setiap hari Ia berkeliling. Beberapa waktu terakhir mulai dikurangi, karena fisiknya mulai sakit-sakitan.
Bahkan, karena pendapatan yang mulai menurun, kebiasaan perantau untuk mudik di hari raya Idul Fitri tak lagi dilakukannya dalam lima tahun terakhir. Hanya saja, hari raya kemarin, Istrinya sempat pulang ke Raha untuk bertemu keluarga.
Namun, dirinya tidak ikut karena terkendal biaya. La Susah berharap, saat anaknya sudah meraih gelar sarjana nanti, dia dan istri bisa ke Sulawesi Tenggara untuk menghadiri wisudanya.(*/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rindu Hidup seperti di Kota, Rakyat Siap Beli Tiang
Redaktur : Tim Redaksi