jpnn.com - HARI ini, Konvensi Nasional Partai Demokrat bakal digelar di Wells Fargo Center, Pennsylvania, Amerika Serikat. Lupakan dahulu soal Hillary Clinton atau hiruk pikuk persaingan pemilihan presiden di Negeri Paman Sam. Ya, di konvensi Demokrat itu, seorang Indonesia dijadwalkan menjadi pembicara. Siapa dia?
Nur Layla Ratri dan Theodora Hapsari, Jawa Pos Group
BACA JUGA: Menilik Kehidupan Mantan Artis Film Panas Eva Arnas, Berubah 180 Derajat
"Dia nggak pernah cerita kerja apa, cuma bilang kerja kantoran," kata Turiyo (54 tahun), dengan intonasi menurun, dan agak terbata-bata. Sudut matanya mulai basah.
Dia yang dimaksud Turiyo adalah putrinya, Imamatul Maisaroh. Anak sulung-nya dari tiga bersaudara itu dijadwalkan berbicara di konvensi nasional Partai Demokrat.
BACA JUGA: Rindu Hidup seperti di Kota, Rakyat Siap Beli Tiang
Perempuan kelahiran 20 Maret 1980 itu mendapat kehormatan tersebut dalam kapasitasnya sebagai aktivis anti- perdagangan manusia. Sejak 2012, dia tercatat sebagai staf organisasi nirlaba CAST (Coalition to Abolish Slavery & Trafficking).
Ima, panggilannya, menjabat organisator atau koordinator para korban perbudakan dan perdagangan manusia CAST. Per Desember tahun lalu, Ima bersama sepuluh orang lainnya juga ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasihat Perdagangan Manusia Presiden Barrack Obama.
BACA JUGA: In Memoriam Wartawan Senior Jawa Pos Kholili Indro
Tapi, Turiyo maupun sang istri, Alimah, sama sekali tak tahu bahwa sang putri memiliki tugas sepenting itu. Yang mereka tahu, ibu tiga anak tersebut bekerja di negeri yang tak terbayang jauhnya dari tempat tinggal mereka, Dusun Kanigoro, Desa Kanigoro, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang.
Karena itu pula, Turiyo dan Alimah tampak terkejut ketika Jawa Pos Radar Malang mendatangi hunian mereka, sebuah rumah bercat cokelat berhias keramik, kemarin.
Kontak terakhir dengan Ima, lanjut Turiyo, menjelang Lebaran lalu. Ima menelepon dan meminta maaf karena tidak dapat pulang lantaran padatnya jadwal pekerjaan.
"Dia juga menanyakan persiapan Lebaran di rumah, kabar saudara-saudaranya. Juga, cerita soal anak-anaknya yang kangen kakek-neneknya,” kata Alimah.
Seperti disampaikannya kepada Indonesian Lantern, komunitas warga Indonesia di AS, di hari kedua konvensi, dia akan berpidato mengenai pengalaman dirinya sebagai korban perbudakan manusia. ”Saya juga menyampaikan program-program penanggulangan perbudakan dan perdagangan manusia yang telah dilakukan Hillary Clinton,’’ tutur Ima seperti dikutip situs resmi Indonesian Lantern.
Ima menerima undangan langsung dari Komite Nasional Partai Demokrat pada Sabtu (16/7). Ibu tiga anak itu pun sangat girang. Dia tidak sabar segera bertolak ke lokasi konvensi di Wells Fargo Center.
Dalam konvensi empat hari itu, Ima bersama belasan orang lainnya didaulat menjadi pembicara. Mereka berbicara tentang isu-isu yang menjadi prioritas Demokrat selama konvensi yang berlangsung sejak kemarin (25/7) sampai Kamis (28/7) itu. Tokoh-tokoh sipil tersebut diberi kesempatan berbicara sebagai pakar pada hari pertama dan kedua.
Selanjutnya, konvensi akan membahas hal-hal yang cenderung politis pada dua hari terakhir. Hillary Clinton, yang akan ditabalkan sebagai calon presiden dengan didampingi Tim Kaine sebagai calon wakil presiden, bakal berpidato pada hari terakhir konvensi.
”Ima punya bakat alami untuk menjadi pemimpin,” ujar Vanessa Lanza, direktur partnerships CAST, seperti dikutip Asia News. Pujian yang sama pernah meluncur dari Obama dan Menteri Luar Negeri John Kerry.
Kisah Ima hingga bisa mencapai apa yang diraihnya sekarang sungguh panjang dan berliku. ”Ima nggak lulus SMA. Waktu itu baru kelas I di SMA Khoirudin, Gondanglegi, lalu ada yang minta (melamar, Red), ya akhirnya kami nikahkan,” tutur Turiyo.
Namun, pernikahan tersebut hanya seumur jagung. Ima berpisah dengan suaminya. Karena tak memiliki pekerjaan, dia pun mendaftar untuk menjadi buruh migran. ”Dia pengin ke Hongkong. Tapi, ada tawaran dari tetangga, katanya ada yang butuh pembantu di Amerika,” jelas Turiyo.
Akhirnya tawaran bekerja di Negeri Paman Sam itulah yang dia pilih ketimbang rencana semula ke Hongkong. Turiyo mengenang, saat itu dirinya harus menebus Ima Rp 600 ribu dari perusahaan penyalur tenaga kerja tempat Ima mendapat pelatihan.
Akhirnya, pada 1997, Ima yang saat itu berusia 17 tahun pun bertolak ke Amerika Serikat. Bermodal tekad kuat untuk membantu perekonomian keluarga, Ima menerima tawaran bekerja sebagai pramuwisma seorang pengusaha interior desainer asal Indonesia yang bermukim di Los Angeles.
Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Begitu mendarat di bandara, paspor Ima ditahan majikannya. Selama tiga tahun, Ima harus bekerja lebih dari 12 jam. Hampir setiap hari Ima menjalani siksaan dan pukulan dari si majikan.
Untuk kesalahan kecil yang dibuatnya, Ima harus menerima pukulan dan tamparan berkali-kali. Dia bingung bagaimana mengadu karena waktu itu dia tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali.
Setelah tiga tahun mendapat perlakuan buruk, Ima tidak tahan lagi. Pada 2000, perempuan lulusan MTs Miftahul Ulum itu nekat menyisipkan sebuah notes kecil berisi permintaan tolong kepada seorang penjaga bayi tetangganya. Tetangga itulah yang menolong Ima melarikan diri dari rumah majikannya dan mengantarkannya ke kantor CAST. ”Dia hanya cerita kabur ditolong tetangganya. Lalu, disekolahkan dan diberi kerja kantoran,” tutur Turiyo.
Di AS, setelah beberapa bulan tinggal di rumah penampungan kaum gelandangan dan belajar bahasa Inggris, Ima pun akhirnya bisa tinggal di rumah layak dan bekerja di CAST. Kinerja dan komitmennya membantu dan memberantas perbudakan pun membuat karirnya cemerlang.
Kariernya sebagai aktivis makin menanjak dan berhasil diundang ke berbagai pertemuan tingkat tinggi di Washington DC. Ima pun berkesempatan bertemu dengan para pejabat tinggi seperti Menteri Luar Negeri John Kerry, bahkan Obama. ”Dia memang cerita, sering ke negara-negara lain,” terang Turiyo.
Saat ini Ima tinggal di Amerika bersama tiga anaknya, yakni Aisyah Feres, Leonardo, dan Ivana. Dua anaknya merupakan buah pernikahan dengan pria asal Meksiko. Sedangkan yang bungsu merupakan buah perkawinan ketiga Ima dengan pria asal Bandung.
Sejak kecil, kenang Alimah, Ima memang terbiasa bekerja keras. Dia juga dikenal santun, penurut, cerdas, dan tanggap membantu orang tua. Setiap dimintai tolong oleh bapak atau ibunya, Ima tak pernah membantah.
Mulai menyelesaikan pekerjaan rumah hingga membantu orang tuanya di ladang. ”Anaknya juga cerdas, selalu ranking. Ngajinya juga tekun, bahkan khatam Alquran sejak belum lulus SD,” kenang Alimah.
Hingga saat ini, Ima pun tak henti mengirimkan uang kepada orang tuanya. Misalnya, untuk pembangunan rumah dan lain-lain. ”Kalau kami minta, pasti langsung dikirimi,” terang perempuan 50 tahun itu.
Tercatat 40 ribu sampai 45 ribu orang menjadi korban perdagangan manusia di AS. Bersama tiga anggota Dewan Penasihat Presiden, Ima dipercaya menangani dua di antara lima masalah utama. Yakni, soal pendanaan dan sosialisasi para korban perdagangan manusia
Tapi, kalau ada satu orang yang sangat ingin ditemuinya di konvensi, itu adalah Hillary Clinton. ”Saya belum pernah bertemu dia. Dia satu-satunya pejabat tinggi AS yang punya program membantu para korban perbudakan dan perdagangan manusia dengan menyumbang dana lewat Clinton Foundation,’’ kata Ima.
Turiyo dan Alimah mungkin tak tahu siapa perempuan yang ingin ditemui putri mereka itu. Atau, apa peran pentingnya bagi AS dan Ima. Tapi, yang pasti, mereka bangga sekali karena, dengan segala pencapaiannya saat ini, Ima tak pernah menyombongkan diri.
Kepada orang tuanya, Ima hanya pernah sedikit menceritakan bahwa menolong TKI yang kesusahan seperti dirinya dulu merupakan bagian dari pekerjaannya. Karena itu pula, Ima menolak halus saat Turiyo dan Alimah memintanya pulang kampung. Sebab, dia mengaku belum tahu akan bekerja apa di kampung. ”Tapi, kami sudah rida sekarang karena kami tahu dia bekerja untuk membantu banyak orang di sana,” kata Alimah. (*/jpg/lid/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Istri Wakil Bupati Pali Saat Mengantar Anak Ke Sekolah
Redaktur : Tim Redaksi