Lara Lee adalah seorang chef ternama Australia sekaligus penulis yang berdarah Indonesia Tionghoa.
Ia pernah meraih penghargaan James Beard Award di tahun 2003 untuk kategori Journalism in Home Cooking, lewat artikelnya "Sour Power" di majalah Food and Wine.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Visa Emas Bagi Warga Asing yang Ingin Tinggal di Indonesia
Lara juga menulis buku "A Splash of Soy & Coconut & Sambal".
Bulan lalu, Lara menulis artikel yang dimuat di ABC Everyday dan ini versinya dalam bahasa Indonesia.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Topan Berkekuatan Besar Akan Menghantam Hong Kong
Pertama kali saya memasak rendang, saya tidak paham soal tradisi atau kerumitannya.
Saya berdiri di depan wajan besar berisi santan, bumbu yang berempah, dan potongan daging brisket, sembari kagum melihat Sri Owen, seorang penulis makanan Indonesia, menyiapkannya. Sri adalah seorang perempuan Minangkabau yang memperkenalkan masakan Indonesia kepada penutur bahasa Inggris.
BACA JUGA: 4 Cara Tokyo Terbebas dari Masalah Kekurangan Perumahan
Sri berusia 82 tahun dan pindah ke London 50 tahun lalu dari tempat kelahirannya di Sumatera Barat, Indonesia, karena mengikuti cintanya untuk memulai hidup dengan mendiang suaminya yang berkebangsaan Inggris.
Hari itu, saat aku memperhatikannya, ia mendemonstrasikan teknik rendang yang dipelajari dari neneknya.
Sekaligus menjadi awal dari persahabatan panjang yang kami jalani lewat makanan, sebagai salah satu mentor dan mentee dengan jarak 48 tahun di antara kami.Sudah lama ingin memahami identitas sendiri
Saya pindah ke London beberapa tahun sebelumnya. Namun karena merasa rindu kampung halaman dan jauh dari rumah, saya ingin memahami identitas Indonesia yang saya miliki.
Dibesarkan di Sydney oleh ayah saya yang keturunan Tionghoa dan ibu saya yang berkewarganegaraan Australia, dengan masakan nenek saya, seorang Timor, yang terus saya rasakan lama sampai dewasa, membawa saya datang ke dapur milik Sri untuk belajar rendang.
Rendang, yang seringkali dianggap sebagai makanan seremonial, karena harga daging di Indonesia yang cukup mahal, biasanya disajikan saat ada tamu-tamu penting, disantap di pesta pernikahan, acara-acara khusus, dan selama Idul Fitri atau yang biasa dikenal di Indonesia sebagai Lebaran, menandai akhir bulan Ramadhan.Belajar seninya membuat rendang
Saya dan Sri memasak rendang selama tiga jam di dapurnya, di mana saya mempelajari tiga tahap memasaknya.
Jangan pernah menyebut rendang sebagai kari yang kering, katanya kepada saya, karena rendang jauh lebih dari sekedar kari basah yang biasanya.
Setelah satu jam mendidih, rendang memasuki tahap pertama sebagai gulai, kari basah dengan kuah encer.
Satu jam kemudian, minyak terpisah dari santan, naik ke permukaan yang mendidih dengan golakan, tahapan yang disebut kalio, kari kental dan lezat, sudah dua pertiga sampai jadi rendang.
Tahap ketiga adalah saat rendang menjadi kata benda dan kata kerja, yakni nama masakan dan proses memasaknya. Minyak kelapa yang melimpah dan sudah tergoreng, membuat sisa daging membentuk karamel, menghasilkan rasa yang kuat dan minyak kemerahan yang harum melapisi potongan daging sapi yang empuk. Ini menjadi sebuah teknik mengawetkan daging supaya bisa tahan di iklim tropis Indonesia yang lembab.
Rendang Sri tahan di lemari es selama seminggu, tapi ada rumor yang beredar kalau rendang bisa juga bertahan lebih dari setahun di luar lemari es.
Legenda ini menceritakan asal hidangan rendang di abad ke-16, sebagai makanan yang bisa bertahan lama saat dibawa dalam perjalanan jauh oleh masyarakat Minangkabau, sekaligus sebagai pengingat akan kampung halaman.Kelapa dan sambal
Pada tahun 2020, saya menulis buku masakan Indonesia berjudul "Coconut & Sambal", sebagai pintu gerbang untuk mengeksplorasi, memahami dan merayakan warisan Indonesia yang saya miliki.
Saya menghabiskan setengah tahun berkeliling nusantara untuk mencari resep dari keluarga saya dan penduduk setempat yang murah hati dengan mengundang saya ke dapur mereka.
Dalam perjalanan, saya diajak ke rumah Pak Budi di Padang, ibu kota Sumatera Barat.
Keluarganya mengajari saya tentang merandang, filosofi rendang: kebijaksanaan dalam memilih bahan, kesabaran dalam memasak secara perlahan, serta ketekunan, karena rendang harus diaduk terus menerus, jika tidak maka akan gosong.
Perempuan yang menggunakan pakaian batik merah tua adalah ibu dari Pak Budi, dikenal sebagai Nenek Erneti. Duduk bersila di sampingnya di lantai dapur adalah saudara perempuannya, menantu perempuannya, dan cucu-cucunya.
Tangannya yang berwarna coklat dan keriput menyiapkan bumbu, atau pasta rempah tanpa penuh keraguan.Jahe sepanjang ibu jari dan seujung jari kunyit
Resep Nene Erneti melekat pada ingatannya, sementara bahan-bahannya diukur berdasarkan rasa, bukan instruksi yang tepat: jahe seukuran ibu jari, seujung jari kunyit, segenggam cabai, dengan lengkuas, bawang putih, bawang merah, dan sekantong jintan bubuk dan ketumbar.
Di sampingnya sudah menunggu bahan-bahan aromatis lainnya: daun kunyit, serai yang dimemarkan, jeruk purut dan daun salam. Dengan menggunakan berat tubuhnya sendiri, dia menumbuk sebuah batu besar yang halus ke dalam alas datar dari batu juga, mengubah bahan-bahan tersebut menjadi bumbu sebagai persiapan untuk dimasak.
Dengung suara sepeda motor melintas saat saya mengaduk wajan besar rendang. Angin sepoi-sepoi dari dapur yang terbuka memberikan sedikit ketenangan dari rasa panas, saat saya menghirup aroma bumbu berempah yang juga berkaramel, mata berair karena kepulan uap dan pedasnya cabai.
Beberapa jam kemudian hidangan siap disantap, minyak kelapa yang terlihat mengkilap dan pinggiran daging yang sudah mengeras, sementara sisa endapan bumbu lainnya menempel pada daging sapi yang renyah.
Dengan ratusan tahun sejarah, diwariskan dari generasi ke generasi, membutuhkan waktu berjam-jam untuk memasak, tapi hanya beberapa saat untuk dimakan.Bijaksana, sabar, tekun
Saya masih suka membuat rendang untuk orang-orang tersayang. Dan seperti orang Minangkabau, saya juga memasaknya untuk acara-acara khusus.
Waktu yang dihabiskan untuk membuatnya menjadi pengingat akan kebijaksanaan, kesabaran, dan ketekunan dari filosofi rendang.
Sajian yang tak pernah gagal membangkitkan kenangan akan tradisi keluarga yang dibanggakan Nenek, Sri dan Pak Budi, setiap kali cita rasa rendang menari di lidah saya.
Artikel ini diproduksi dari ABC Everyday
BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Bakal Menggelar Referendum di Bulan Oktober Mendatang