Christina Ikut Berkomentar soal Jet Pribadi Kaesang Pangarep

Rabu, 04 September 2024 – 15:17 WIB
Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep di kantor DPP PSI, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (4/6). Foto: Ryana Aryadita/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Christina Clarissa Intania ikut menanggapi dugaan gratifikasi penggunaan fasilitas pesawat jet pribadi oleh Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep.

Christina yang merupakan Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute (TII) itu mengatakan bahwa dugaan gratifikasi terhadap pejabat negara harus mendapat perhatian yang sama agar praktik tersebut tidak menjadi sebuah kewajaran.

BACA JUGA: Pernyataan Ketua KPK soal Kaesang dan Bobby terkait Jet Pribadi Tegas, Begini Kalimatnya

"Perlu menjadi keresahan bahwa praktik gratifikasi yang sedemikian rupa tetap umum dilakukan jika tidak dinormalisasi oleh pejabat atau bahkan sampai ke aparat penegak hukum dari sumber yang berbagai macam," kata Christina saat dihubungi di Jakarta, Rabu (4/9).

Christina mengatakan, gratifikasi merupakan penyebab birokrasi maupun penegakan hukum tidak berjalan sesuai dengan muruah.

BACA JUGA: Mendadak Menghilang, Kaesang Ternyata Sudah di Kota Ini

Pasalnya, gratifikasi menciptakan konflik kepentingan di antara pihak yang terlibat.

"Pemberian gratifikasi juga membuat penentuan keputusan oleh penerimanya menjadi terganggu dan bias kepentingan. Ada utang balas budi yang mengiringinya," ujar dia.

BACA JUGA: Kaesang Tak Bisa Mengelak soal Jet Pribadi, Ketua KPK: Kaitannya ke Situ

Christina mengatakan bahwa dugaan gratifikasi penggunaan jet pribadi oleh Kaesang Pangarep yang mendapat sorotan publik, seharusnya menjadi peringatan bagi pejabat publik lainnya.

Di sisi lain, aspek penegakan hukum juga harus ditelusuri agar isu tersebut tidak sekadar menjadi pembicaraan hangat.

Bagaimanapun gratifikasi menunjukkan adanya permasalahan integritas, profesionalisme, dan etika pada pejabat publik.

"Penelusurannya inilah yang menjadi tantangan," imbuh Christina.

Dia menilai KPK mengalami pelemahan setelah revisi undang-undang pada tahun 2019.

Menurut Christina, KPK bisa mengusut informasi, tetapi pimpinan komisi antirasuah itu tidak bisa menjadi penyidik atau penuntut umum.

"Hal ini membuat KPK tidak bisa seproaktif sebelumnya. Apalagi, dengan adanya Dewan Pengawas yang membuat gerakan KPK makin terbatas," ujar dia.

Oleh karena itu, Christina menyarankan agar mekanisme pencegahan dan tindak lanjut gratifikasi di instansi negara harus lebih ketat ditegakkan.

Ia menilai penegakan hukum terkait dengan gratifikasi bersifat darurat dan mendesak, terlebih kasus-kasus korupsi juga tidak terlepas dari gratifikasi yang melibatkan pejabat publik.

"Untuk itu, penerimaan gratifikasi harus dilaporkan sesuai dengan aturan yang berlaku," kata dia.

Selain penegakan hukum, menurut Christina, budaya gratifikasi juga harus tegas ditolak oleh instansi pemerintah dan individu di dalamnya.

"Jika individunya masih senang hati menerima gratifikasi dan dibantu dengan lemahnya penegakan hukum, pasti gratifikasi akan tetap subur dan mengakar, dan dianggap normal, termasuk di sektor publik di Indonesia," ucap dia. (antara/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler