COP24 Sepakati Pasal Teknis Perjanjian Paris

Senin, 17 Desember 2018 – 17:30 WIB
Presiden COP24 Michal Kurtyka merayakan berakhirnya rapat panjang mengenai aturan teknis Perjanjian Paris tersebut. Foto: AFP

jpnn.com, KATOWICE - Negara peserta Conference of Party (COP) 24 berhasil melanjutkan langkah Persetujuan Paris 2015. Perjanjian untuk mencegah pemanasan global itu sudah punya buku aturan setebal 156 halaman. Dikusi untuk menuliskan pasal teknis dalam buku tersebut sangat alot.

"Terima kasih atas kesabarannya. Ini memang malam yang panjang," ujar Presiden COP24 Michal Kurtyka menurut UN News Sabtu (15/12).

BACA JUGA: Kolaborasi Trias Politika Indonesia Tangani Perubahan Iklim

Sesaat kemudian, gemuruh tawa terdengar di aula rapat. Layar besar di ruangan sedang menyorot salah seorang peserta yang sedang menguap. Bagi peserta di sana, malam tersebut memang sangat panjang.

Rapat untuk merampungkan pedoman implementasi penanggulangan perubahan iklim di kota pertambangan Polandia itu seharusnya berakhir Jumat (14/12). Namun, karena adu kengototan dari berbagai negara, mereka harus menambahkan waktu rapat selama 30 jam.

BACA JUGA: Bali Declaration Mendapat Apresiasi Global pada COP24  

"Memang tidak mudah untuk menyepakati sesuatu yang sangat spesifik. Karena itu, kita semua harus bangga," ujarnya dalam akhir rapat menurut Reuters.

Banyak masalah yang muncul dalam rangkaian negosiasi negara peserta PBB sejak 2 Desember. Terkadang, masalahnya hanya pada satu kata. Misalnya, Arab Saudi, Amerika Serikat, Rusia, dan Kuwait yang menolak frasa "menyambut baik" terkait kesimpulan peserta rapat soal temuan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

BACA JUGA: Indonesia Dorong Flexibilitas Perjanjian Paris di COP24

Pada Oktober, IPCC mengumumkan bahwa dunia butuh upaya drastis agar kenaikan suhu global bisa ditahan di angka 1,5 derajat Celsius.

Saat injury time, Brasil bertengkar dengan mayoritas peserta karena beberapa poin. Setelah 11 jam waktu tambahan, Brasil akhirnya bisa menerima poin soal pengawasan dan pelaporan kredit karbon.

Kredit karbon adalah bukti bahwa satu pihak berhasil mengurangi emisi karbon. Kredit itu bisa diperdagangkan atau ditukarkan dengan kompensasi dana dari pihak yang gagal mencapai target.

"Pedoman yang dihasilkan menunjukkan pembagian tanggung jawab yang adil untuk seluruh negara. Buku ini juga memperhitungkan aspek ekonomi dan sosial tiap negara sambil terus berusaha meningkatkan ambisi," ujar Patricia Espinosa, kepala UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang mewakili Sekjen PBB Antonio Guterres.

Meski pulang dengan capaian positif, tugas para delegasi sebenarnya belum selesai. Mereka belum menyepakati satu pasal dalam bukul tersebut. Yakni, pasal 6 tentang mekanisme perdagangan kredit karbon secara internasional.

Lagi-lagi biang keladinya adalah Brasil. Usul delegasi Brasil tentang aturan yang menguntungkan pemilik hutan luas ditolak beberapa peserta rapat. Pasal tersebut harus dibahas lagi pada COP25 yang diadakan di Cile tahun depan.

"Memang ada beberapa detail yang perlu dikerjakan. Tapi, yang paling penting adalah sistemnya sudah ada," imbuh Espinosa.

Laurence Tubiana, salah seorang pembuat Persetujuan Paris, setuju dengan pendapat peserta rapat. Menurut dia, yang paling penting adalah kerangka untuk mendorong program ramah lingkungan sudah tercipta.

"Kuncinya adalah membuat sistem yang transparan. Jadi, kepercayaan antarnegara bisa dibangun," ujar mantan Dubes Prancis untuk negosiasi perubahan iklim 2015 kepada BBC. (bil/c10/dos)

PEKERJAAN RUMAH SETELAH PARIS 2015

Sebanyak 196 negara anggota PBB menyepakati aturan main perjanjian Paris 2015. Bagimana ke depannya?

Ada aturan mekanisme perdagangan kredit emisi yang belum disepakati. Pembahasan itu akan dibawa sampai COP25 tahun depan.

Kenaikan target pengurangan emisi gas juga ikut dibahas tahun depan.

PBB masih harus merancang bagaimana pembiayaan USD 100 miliar (Rp 14 triliun) per tahun bisa didapat dan disalurkan. Dana tersebut rencananya disalurkan untuk negara berkembang dalam proyek pengurangan emisi gas.

Negara harus mulai mencatat emisi gas masing-masing, lalu melaporkan rencana mereka. Negara berkembang masih toleransi jika diprediksi tak bisa mencapai target mereka.

Sumber: ABC, BBC, The Guardian, Reuters

BACA ARTIKEL LAINNYA... Indonesia dan Norwegia Hasilkan Kerja Sama Perubahan Iklim


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler