Corona Merajalela, Kok Birokrasi Tes COVID-19 Masih Berbelit?

Senin, 13 April 2020 – 07:07 WIB
Ilustrasi. Sampel virus corona yang diperlihatkan oleh salah seorang dokter. Foto: ANTARA

jpnn.com, JAKARTA - Ekonom senior Dradjad H Wibowo mengingatkan pemerintah segera memotong birokrasi dalam pelaksanaan tes COVID-19 seiring pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Menurut dia, sebaiknya pemerintah pusat mendesentralisasikan pelaksanaan tes COVID-19 kepada pemda demi mempercepat penanggulangan pandemi global itu di tanah air.

Dradjad mengatakan, kunci penting dalam penanggulangan wabah adalah deteksi dini dan memutus mata rantai penularannya. “Jadi langkah awalnya memang deteksi dini. Tes, tes dan tes sebanyak dan secepat mungkin,” ujarnya melalui layanan pesan, Minggu (12/4).

BACA JUGA: Saran Mantan Petinggi BIN untuk Pemerintah soal Corona: Sebaiknya Meniru Singapura

Peraih gelar M.Ec dari University of Queensland dengan tesis soal ekonomi kesehatan pencegahan penyakit menular itu menjelaskan, pemda justru mengeluhkan tes COVID-19 yang minim dan berjalan lamban. Menurut Dradjad, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil jelas-jelas sudah mengeluhkan soal itu.

“Jangan dikira tes korona yang terlalu sedikit dan lambat tidak berdampak besar terhadap perekonomian. Justru dampaknya sangat besar. Dia menjadi pintu pertama, apakah wabah akan terkendali atau meledak,” kata Dradjad.

BACA JUGA: Tes Covid-19 Bisa Dilakukan di Puskesmas


Dradjad H Wibowo. Foto: arsip JPNN.Com

Mantan legislator PAN di DPR itu menambahkan, tes yang cepat juga sangat penting bagi perawatan pasien. Menurut Dradjad, tingkat fatalitas kasus COVID-19 di Indonesia tergolong tinggi.

BACA JUGA: Andi Arief Kabarkan Hasil Tes Covid-19 Pak SBY

“Kita sudah kehilangan banyak SDM unggul. Mulai dokter, perawat, akademisi, pilot, birokrat senior hingga pengusaha sukses seperti di Semarang. Kerugian ekonominya tidak terhitung,” sebutnya.

Sayangnya, sambung Dradjad, Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. HK.01.07/Menkes/182/2020 tentang Jejaring Laboratorium Pemeriksaan COVID-19 cenderung sentralistis dan birokratis. Sebab, keputusan apakah spesimen negatif atau positif COVID-19 ada di tangan Badan Litbang Kesehatan bersama Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes.

Dengan demikian spesimen harus melalui rute panjang. Dari rumah sakit rujukan, spesimen dibawa ke laboratorium pemeriksa, berlanjut ke Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Prof.dr. Sri Oemijati, lantas ke Balitbangkes dan Ditjen P2P.

Selanjutnya hasil pemeriksaan itu baru dikembalikan kembali ke dinas kesehatan di daerah untuk diteruskan ke rumah sakit rujukan. “Jika spesimen berasal dari RS nonrujukan, apalagi puskesmas, jalurnya lebih panjang lagi,” kata Dradjad.

Lebih lanjut Dradjad mengatakan, memang Kementerian BUMN baru saja mendatangkan 18 unit Roche LightCycler dan 2 unit MagNa Pure LC. Roche LightCycler dan MagNa Pure LC merupakan alat reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) berstandar dunia.

Dradjad pun mengapresiasi langkah pemerintah mendatangkan peralatan yang didistribusikan ke RS BUMN di berbagai provinsi itu. Namun demikian, peran peralatan itu kurang maksimal jika spesimen dan keputusannya terhambat oleh birokrasi.

“Oleh karena itu, potong birokrasi tes RT-PCR COVID-19 ini. Jika perlu, lakukan desentralisasi pemeriksaan. Kemenkes mengoordinasikan dan mengontrol kualitas pemeriksaan. Kita perlu cepat. Jangan birokratis di tengah ancaman wabah,” cetusnya.

Dradjad mendambahkan, pemda juga harus diberi anggaran cukup untuk penanggulangan COVID-19. “Jangan beban PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar, red) ditimpakan ke daerah, tetapi anggaran COVID-19 tersentralisasi,” katanya.(ara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler