Corona Merajalela, Misbakhun Gagas Badan Penyehatan Ekonomi Nasional

Rabu, 08 April 2020 – 22:04 WIB
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhammad Misbakhun. Foto: Humas DPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR M Misbakhun meminta Bank Indonesia (BI) dan pemerintah memikirkan skenario untuk menghindarkan Indonesia dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19.

Legislator Partai Golkar itu lantas melontarkan idenya tentang pembentukan Badan Penyehatan Ekonomi Nasional, untuk membantu perekonomian semua warga negara, mulai kalangan jelata hingga pengusaha kelas atas yang terimbas pandemi global tersebut.

Dia mengingatkan bahwa saat krisis 1998, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kini, dia mengusulkan pembentukan badan khusus untuk menangani, tentu dengan bentuk serta fungsi yang berbeda.

"Saya mengusulkan pemerintah berpikir untuk mempunyai Badan Penyehatan Ekonomi Nasional, atau national economic agency. Untuk apa? Kegiatan BI tidak terganggu, bagaimana negara ini mempuntai asset management unit yang terpisah dari negara untuk mengatasi dampak ini," kata Misbakhun saat rapat virtual Komisi XI DPR dengan Bank Indonesia, Rabu (8/4).

Dalam rapat itu, mayoritas anggota Komisi XI DPR mengingatkan jajaran BI bahwa dampak ekonomi dari pandemi Covid-19 akan sangat besar dan lama.

Misbakhun menambahkan terlihat belum ada kesepahaman di antara berbagai lembaga negara dalam melihat permasalahan, termasuk cara mengatasinya. Misalnya soal kebijakan quantitative easing atau kelonggaran kuantitatif.

Menurut Misbakhun, jika memang pemerintah mau melakukan semacam quantitative easing seperti yang pernah dilakukan Jepang, Eropa dan AS, sebaiknya kebijakan itu dilaksanakan secara struktural demi mengelola resiko yang ada.

BACA JUGA: Saran Misbakhun untuk Pemerintah demi Lindungi Pariwisata dari Efek Corona

 

“Konsep quantitative easing yang disepakati oleh pemerintah dan BI itu seperti apa?” tanya Misbakhun.

Ia menuturkan, berdasarkan pendalamannya ke sejumlah pihak, pelaku usaha hanya punya modal untuk bertahan tiga bulan. Di sisi lain, tak satu pun yang bisa memprediksi berapa lama pandemi berlangsung.

BACA JUGA: Pemerintah Terbitkan Surat Utang, Hergun: Jangan Berlindung di Balik Corona

Makin lama pandemi terjadi, maka akan kian parah dampak terhadap ekonomi. "Masalahnya, kalau kita kehilangan momentumnya, dampaknya bisa jadi sudah terlanjur parah," kata Misbakhun.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu menegaskan, semua pihak sudah sepakat bahwa krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 berbeda dengan krisis 1998 dan krisis global 2008.

 

BACA JUGA: Hidayat MPR: Alhamdulillah, Responsnya Positif

Saat krisis 1998, tuturnya, Indonesia masih tertopang oleh usaha mikro, kecil dan nenengah (UMKM) yang masih bisa berproduksi di tengah sektor finansial yang kala itu sekarat.

Sementara saat krisis global 2008, Indonesia justru kebanjiran likuiditas dari negara lain, utamanya Amerika Serikat (AS). Namun, kini suasananya jauh berbeda.

“Pandemi ini yang diserang adalah rantai produksi dan konsumsi. Semua me-lockdown supply and demand-nya, dampaknya ke semua. Bukan hanya usaha besar, UMKM juga terkena karena produksi dan konsumsi diganggu," ujar Misbakhun.

“Karena ini unusual case, maka kita harus berpikir unusual way out. Mohon maaf, kita tak bisa mengerjakannya dengan kebijakan yang normal,” tambahnya.

Misbakhun lalu memberi contoh, ketika sektor riil di bidang pariwisata seperti perhotelan terganggu,  perbankan pun pasti terdampak. Jika sebuah hotel tak bisa membayar cicilan utang ke bank, akan ada peringatan I sampai III yang dilakukan.

"Nah ini kan terkait pencadangan, struktur modal, dan sebagainya," kata Misbakhun.

Contoh lainnya adalah sejumlah BUMN seperti Garuda Indonesia, PT Pelni, dan PT KAI yang akan sangat terdampak oleh kondisi ekonomi yang ada. Ketika  tidak adanya pemasukan, perusahaan itu harus tetap membayar berbagai kewajiban rutin.

"Dampaknya hingga ke perbankan, dan hingga ke supllier di bawah. Maka saat ini, negara harus memikirkan semuanya. Semua harus kita tolong. Tidak ada perbedaan antara si miskin, jelata, atau yang kaya. Tinggal siapa yang akan terkena pertama, dan siapa yang menerima pelampung penyelamat dari negara," urainya.

Misbakhun melanjutkan, bisa jadi Indonesia tak punya pengalaman menghadapi krisis besar seperti sekarang. Namun, justru dalam krisis itulah semua pihak diuji.

“Kinilah saatnya kita tunjukkan leadership kita saat kondisi seperti ini. Leadership kita ditentukan pada saat menghadapi situasi tidak normal dan krisis seperti ini," pungkasnya.(boy/jpnn) 


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler