CPO Indonesia-Malaysia Capai 80 Persen Produksi Dunia

Selasa, 11 April 2017 – 19:42 WIB
Amran Sulaiman (putih). Foto: Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Pertanian Amran Sulaiman meminta Uni Eropa tak mengkritisi standar proproduk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia.

Pernyataan itu menanggapi keluarnya resolusi parlemen Uni Eropa terkait sertifikasi produk sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit.

BACA JUGA: Regulasi Pemerintah Bikin Industri Mebel Menjerit

Menurut parlemen Uni Eropa, sawit masih menciptakan banyak masalah.

Mulai deforestasi, korupsi, pekerja anak-anak, sampai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

BACA JUGA: Jokowi Minta Sultra Garap Sektor Industri Pengolahan

”Selama ini, Indonesia memiliki standar sertifikasi sendiri untuk produk sawit dan turunannya, yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO),” terang Amran saat ditemui di Balai Kartini, Senin (10/4).

Dia melanjutkan, Indonesia telah memiliki standar yang sama dengan Malaysia melalui roundtable on sustainable palm oil (RSPO).

BACA JUGA: Quarto Beri Solusi Cerdas bagi Industri Kelapa Sawit

Menurut Amran, jika digabung, jumlah CPO Indonesia dan Malaysia bisa mencapai 80 persen dari total produksi CPO di dunia.

”Kami punya standar untuk pertanian yang berkelanjutan. Silakan kalau negara lain mau urus standarnya sendiri,” ucapnya.

Jika Uni Eropa terus mempermasalahkan hal itu, dampak yang lebih buruk dikhawatirkan terjadi.

Misalnya, poin yang menyebutkan bahwa perluasan perkebunan sawit dapat merusak lahan hutan.

Dampak yang lebih parah justru akan terjadi jika produk CPO dihambat masuk ke negara-negara Eropa.

Sebab, jika produk tersebut tidak terserap, petani sawit bakal mencari sumber pendapatan lain. Salah satunya dari hutan.

”Artinya, merusak dan merambah hutan karena mencari kehidupan baru. Siapa yang bisa halangi kalau 30 juta orang itu bergerak?” tutur Arman.

Kementerian Pertanian telah bertemu dengan beberapa menteri dari negara-negara Eropa. Yakni, Jerman, Spanyol, dan Denmark. N

egara-negara itu memahami ketergantungan petani sawit di Indonesia terhadap keberlanjutan ekspor produk CPO.

”Kami sudah sampaikan, ada community di bawah CPO. Ada pedagang dan petani. Ini jauh lebih penting,” katanya.

Dia menambahkan, pendekatan yang perlu dipertimbangkan bukan lagi deforestasi, melainkan community welfare.

’’Kalau harga CPO turun karena black campaign, hutan malah makin rusak karena mereka tinggalkan sawit. Tidak mungkin sawitnya ditebang. Pasti bergerak ke hutan mencari sumber pendapatan baru,” jelasnya.

Amran mengimbau eksportir yang melakukan pengiriman ke negara-negara dan mengganggu kebijakan Indonesia soal CPO mengurangi volume ekspornya.

”Hitung-hitungan, ke Eropa berapa pasarnya. Yang Prancis itu 200 ribu ton, nggak berpengaruh,” tuturnya. (agf/c18/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebentar Lagi Ramadan, Insyaallah Stok Pangan Aman


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler