jpnn.com - SECARA fisik tidak ada yang istimewa. Namun, gua ini punya nilai historis yang patut dikenang para generasi bangsa. Gua ini merupakan saksi kekejian penjajah Jepang.
Surya Jendry, Fika Kaesang – Manado Post
BACA JUGA: Berawal dari Menyelamatkan Anjing, Kini Jadi Klub Profesional
Ruangan berukuran 3×4 meter dengan tinggi hanya 2 meter ini menjadi saksi bisu betapa kejamnya tentara Jepang.
Darah tertumpah, terpancar di dinding dan lantai tanah. Honbu. Begitu tentara Jepang menyebut gua tempat persembunyian itu. Artinya markas.
BACA JUGA: HEBAT! Dosen Memilih Hidup di Hutan Bersama Suku Anak Dalam
Para budak dari berbagai tempat, kebanyakan warga lokal dipaksa menggali tepian bukit untuk dibuat gua. Menggali dengan peralatan seadanya dan mengangkat tanah keluar dari gua.
Bekerja dengan sistem romusha. Kerja siang-malam non stop. Hingga banyak yang meninggal.
BACA JUGA: Jenazah Itu Mengeluarkan Air Mata
Para budak hanya diberi makan sekali di awal bekerja. Sesudahnya hanya diberi minum secukupnya. Keringat dan darah bercucuran ketika bekerja. Sungguh tersiksa. Tapi, jangan coba-coba menunjukkan rasa lelah, jatuh, apalagi sakit. Nyawa jadi taruhannya.
Dulunya, gua ini sangat tersembunyi. Berada di hutan belantara dan di perbukitan. Belum ada pemukiman warga seperti sekarang. Gua yang terletak di Kecamatan Kawangkoan, Minahasa, Sulut, ini, sebenarnya tidak besar. Hanya memiliki dua bagian utama yang dipisahkan bercabang.
Lebar lorong hanya sekira dua meter saja. Ada enam pintu. Dari pintu utama di mulut gua, hanya sekira 20 meter akan ditemui persimpangan. Ke kanan menuju kamar-kamar tempat persembunyian para tentara. Ke kiri, menuju kamar pembantaian.
60 tahun lalu, para budak yang sudah tidak produktif pasti menuju ke bagian gua ini. Para budak yang tak mampu lagi menggali, mengakhiri nyawa di situ. Di dalam kegelapan, samurai Jepang melibas.
Crass! Kepala terpenggal. Darah mengucur. Sesudahnya, bagian-bagian tubuh dibiarkan saja di dalam ruangan itu. Bercampur dengan darah. Sadis dan biadab.
Sejarahwan Freddy Wowor mengatakan, warga sudah tahu hidup mereka menuju maut saat menjadi budak Jepang.
“Karena tidak mungkin juga tentara Jepang akan membiarkan budak tetap hidup. Mereka kan sudah tahu tempat persembunyian Jepang. Takutnya dibocorkan ke musuh,” jelasnya.
Sejarahnya, sejak tahun 1939, Jepang punya ambisi menguasai Asia Pasifik. Maka, disebarlah para pengintai. Tahun 1942, di Indonesia, Jepang menemukan lokasi tepat dijadikan honbu. Digalilah gua-gua. Karena letaknya di bibir pasifik, tak heran Jepang memilih Sulawesi Utara sebagai honbu
Sedangkan di sisi kanan gua, terdapat delapan kamar berukuran lebih kecil dari kamar pembantaian. Hanya berukuran 2×2 meter. Itu ruangan khusus bagi tentara Jepang. Gua ini rupanya sudah kerap didatangi warga. Ini terlihat dari sampah-sampah yang kebanyakan botol minuman, berserakan di lorong-lorong gua.
Agak angker berada di dalam gua. Sulit menyusuri lorong bila tanpa bantuan senter atau lampu. Kini, gua ini menjadi honbu-nya burung. Sesekali, terdapat walet yang terbang. Di bagian atas gua, masih bisa dijumpai kelelawar yang bergantungan.
Bau kotoran tercium ketika berada di bagian gua lebih dalam. Dari sini, hanya berjarak sekira 5 menit menuju Kawangkoan, ternyata ada gua lain yang lebih besar. Letaknya tak jauh dari perkampungan warga di Desa Sendangan. Tapi berada di dalam hutan.
Titik awal penanda menuju gua ini adalah Rumah Kopi Toronata. Belok kanan dari rumah kopi, sekira 50 meter akan dijumpai jalan setapak. Medan menuju gua yang satu ini lebih sulit. Lebarnya hanya satu meter. Sisi kanan tebing, di kiri jurang sedalam 10 meter.
Sekira 150 meter setelah jalan sempit itu, akan dijumpai jembatan bambu. Empat bambu berdiameter sekira 8 centimeter menghubungkan jalan setapak yang terpisahkan sebuah sungai kecil. Sungai memang menjadi salah satu penentu untuk membuat gua. ***
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketua DPR Curhat: Banyak yang Marah sama Saya
Redaktur : Tim Redaksi