HEBAT! Dosen Memilih Hidup di Hutan Bersama Suku Anak Dalam

Sabtu, 02 April 2016 – 08:15 WIB
Jusiah Ari Abdi bersama Suku Anak Dalam. Foto: Jambi Independent/JPG

jpnn.com - JUSIAH Ari Abdi, 38, memilih hidup di belantara hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) bersama Warga Suku Anak Dalam (SAD). Seperti apa?

MUAWWIN,Jambi

BACA JUGA: Jenazah Itu Mengeluarkan Air Mata

Abdi hidup sudah cukup lama, sekitar 10 tahun mengembara di belantara Hutan Taman Nasional Bukit Dua BElas (TNBD) bersama warga Suku Anak Dalam (SAD). 

Selama itu pula, suka dan duka dijalaninya bersama orang-orang rimba di pendalam hutan. Abdi adalah seorang sarjana. 

BACA JUGA: Ketua DPR Curhat: Banyak yang Marah sama Saya

Ya, dia seorang sarjana Antroplogi jebolan Universitas Sam Ratulangi Manado tahun 2000.

Menariknya, sebelum memutuskan hidup di hutan, rupanya dia pernah menjadi dosen honorer di Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang. Perkenalannya dengan KKI Warsi pertengahan tahun 2005 lalu telah mengubah hidup dan mengantarkannya menjalani profesi sebagai antropolog sejati - hidup di hutan bersama orang Rimba.

BACA JUGA: Pilih jadi Nelayan Dibanding PNS, Sekali Melaut Raup Ratusan Juta

Dia pun berterima kasih dengan Warsi. Bagi dia, inilah profesi yang ingin dijalaninya sejak duduk dibangku kuliah dulu.

Karena itu, Jangan pernah coba-coba meragukan kemampuannya bertahan hidup di belantara hutan. Waktu tujuh tahun tidak hanya menempa dirinya hingga paham teknik bertahan di hutan, melainkan juga telah memberikan dia pemahaman yang mendalam tentang budaya dan adat istiadat orang Rimba. 

Jangan heran, jika Abdi sangat meguasai sejarah,perilaku, bahasa, serta budaya orang-orang rimba ini. 

Jambi Independent (Jawa Pos Group) sempat bertemu dan bertatap langsung dengan Abdi saat ia masih menjadi pendamping warga SAD di bukit 12 beberapa waktu lalu.

Di antara teman-teman seangkatannya, hanya dia yang berhasil menjadi antropolog sejati. Kepada Jambi Independent, Abdi mengisahkan awal mulanya dia bisa sampai di Jambi dan menjalan hidup di belantar hutan TNBD.

“Siang itu istri saya pulang ke rumah dan bawa koran. Saya lihat ada lowongan yang di buka oleh Warsi. Saya kirim lamaran, lalu diterima dan saya berangkat ke Jambi,” ujarnya beberapa saat lalu di hutan TNBD tempat dia bermukim sekarang.

Suami Hotna Rosalina Sihotang  ini menuturkan, ketertarikannya terhadap seluk beluk etnis di Indonesia sudah tertanam sejak duduk di bangku kuliah. Rupanya, istrinya turut mensuppor.

Makanya, istrinya tak keberatan ketika dia memutuskan untuk meninggalkan profesi dosen dan kemudian tinggal di belantara hutan bersama orang rimba. Tujuannya cuma satu, mempelajari budaya orang rimba.

Dia bercerita, tidak gampang seperti membalikkan telapak tangan untuk bisa diterima oleh orang rimba. Butuh perjuangan ekstr keras, mental yang tinggi dan kesabaran agar bisa menjadi bagian dari kelompok orang rimba ini.

Menurut Abdi, sempat terjadi penolakan ketika dia kali pertama masuk kedalam kelompok orang rimba kawasan sungai terab, TNBD. Meski dia sudah memberi penjelasan, tetap saja mereka menolak. 

Bahkan, tidak sedikit diantara mereka yang lari begitu berpapasan dengan Abdi. Apalagi ketika itu dia belum menguasai bahasa orang rimba. Ini yang justru menyulitkan dia.

Meski begitu, Abdi tak patah arang. Segala macam cara dia coba. Akhirnya, dia bertemua Mangku Humbalai, salah satu orang rimba dari kelompok sungai terab. Lewat mangku humbalai dia belajar bahasa orang rimba.

“Setiap ada satu kata saya tulis dan terjemahkan,”ceritanya.

Namaun sayang, perkenalannya dengan mangku humbalai tidak banyak membantu. Meski sudah menguasai bahasa orang rimba, tetap saja dia tak mampu menembus dinding “pertahanan” orang rimba.

“”Di kelompok dia kurang punya pengaruh, akhirnya saya kenal menti. Sya lihat dia cukup punya pengaruh apalagi dengan orang luar dia terbuka,” katanya.

Rupanya, perkenalannya dengan menti juga tak banyak membantu. Sepertinya, menti sulit mengkondisikan warganya untuk bisa menerima Abdi sebagai bagian dari kelompoknya. 

Apalagi, mobilitas kelompok Sungai Terab ini cukup tinggi. Mereka selalu berpindah-pindah tempat tiap bulannya. Akibatnya, Abdi tidak punya banyak banyak untuk bisa berinteraksi dan terpaksa harus turut mengikuti kemana mereka pergi. 

Selain lelah, dia juga harus bisa beradaptasi dengan kehidupan mereka dengan segala macam ragam dan perilaku. Sampai akhirnya orang rimba ini mau menerima abdi dan percaya setelah enam bulan dia membuntuti.

“Saya senang ketika nama saya sudah dikenal,”singkatnya.

Abdi mengaku bukan motif uang yang mendorong dia menjalani kehidupan seperti ini. Gajinya sebagai pengajar di Unsri terbilang wah, ketimbang jadi anggota Warsi. 

Tapi, keputusannya ini bukan karena iming-iming uang. Sebagai sarjana Antroplogi, Abdi mengaku hanya ingin mendalami budaya dan ternyata dia banyak belajar dari kebudayaan orang rimba.

“Saya berkesimpulan, cerminan orang luar itu ya ada di orang rimba. Diluar ada pengadilan, disini juga ada. Bedanya disini terbuka dan tidak ada aturan normatife khusus,”katanya.

“Nah, kita yang mengaku orang modern sepantasnya banyak belajar dengan mereka. Masalahnya, maukah kita belajar dengan mereka?” tanyanya.

Abdi mengaku banyak hal yang bisa dicontoh orang kebanyakan. Dalam dunia orang rimba, ternyata mereka tidak mengenal adanya jenjang dalam kehidupan. Selain itu, cara orang rimba mendidik anak juga patut diancungi jempol dan harus dicontoh.

“Ternyata orang rimba tidak pernah memukul anak. Meski marah, itu hanya diucapan, dan tidak sampai main tangan,” ujarnya.

Orang rimba juga sangat menjunjjung tinggi sifat kebersamaan. Meski ada semacam egoism kelompok, kata Abdi, secara umum mereka sangat kompak. Andaikan ada teman mereka kecelakaan, maka orang rimba lainnya berbondong-bondong datang memberi pertolongan.

Ketimbang orang kebanyakan, orang rimba justru sangat memegang teguh adat. Jika kasus perkosaan tergolong kerap terjadi pada orang kebanyakan, justru hampir tidak ada terjadi pada orang-orang rimba. “Mereka yang ketahuan memperkosa akan dibunuh,” katanya.

Abdi mengaku tidak sedikit orang yang mencibir profesinya. Apalagi, banyak yang mempertanyakan mau dibina seperti apa orang rimba itu. Memang sulit baginya untuk menjawab beragam pertanyaan yang terlontar. 

“Yang jelas, kita jangan sampai melihat suatu etnis dari sudat pandang kita sendiri. Kalau orang rimba ingin memilih hidup seoperti itu, ya dibiarkan saja. Kalau pun merka ingin berubah, ya silahkan. Intinya adalah jangan memakasa. Kebanyakan orang luar justru cenderung memaksa agar mereka menjadi orang modern,” jelasnya. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wendi, Pemuda Ganteng yang Disandera Abu Sayyaf Itu...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler