Cukai Rokok Akan Dinaikkan, Industri Keberatan

Jumat, 20 Oktober 2017 – 17:35 WIB
Petani tembakau. Ilustrasi Foto: Radar Solo/dok.JPNN.com

jpnn.com, SURABAYA - Rencana pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2018 sekitar 8,9 persen mendapat tanggapan Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Jawa Timur Sulami Bahar.

Dia mengaku keberatan dan meminta pemerintah menimbang kembali rencana tersebut. ”Kami sangat keberatan dengan rencana kebijakan pemerintah yang akan dikeluarkan pada tahun 2018,” ujarnya seperti diberitakan Jawa Pos.

BACA JUGA: Struktur Tarif Cukai Rokok Harus Diubah

Sulami mengatakan, ada beberapa hal yang membuat para pengusaha rokok gelisah selain rencana kenaikan tarif cukai.

”Produksi rokok turun dalam tiga tahun terakhir akibat perpindahan pola belanja konsumen dan turunnya daya beli masyarakat," ujarnya.

BACA JUGA: Desak Pemerintah Pertimbangkan Tarif Cukai Hasil Tembakau

Sejak 2013, produksi rokok turun sekitar 1 persen dari rata-rata produksi yang mencapai 340 miliar batang. Dikatakan Sulami, menurunnya produksi rokok itu karena dampak berbagai hal.

Seperti naiknya target penerimaan cukai, kurang memadainya ruang konsumsi rokok, dan stagnannya pertumbuhan ekonomi.

Di samping itu, juga maraknya peredaran rokok ilegal hingga munculnya berbagai peraturan yang membebani industri rokok.

”Jadi di bawah kita berhadapan dengan rokok ilegal, sedangkan di atas berhadapan dengan rokok yang diakusisi asing tapi mereka menikmati fasilitas dari negara,” terangnya.

Kata dia, kenaikan cukai dibarengi dengan menurunnya daya beli masyarakat. Jika daya beli turun, konsumen akan menyiasati dengan mencari rokok murah.

Dengan begitu, target pendapatan cukai nakal tidak mecapai target. Kenaikan cukai yang berlebihan justru menyuburkan pertumbuhan rokok ilegal.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti menyatakan hal yang serupa.

Menurutnya, kenaikan tarif cukai yang terjadi selama 3 tahun berturut-turut sangat memukul industri rokok.

Seperti diwartakan, pemerintah memasang target penerimaan cukai rokok Rp 148,2 triliun dalam RAPBN 2018. Angka itu melonjak 4,8 persen dibandingkan target penerimaan cukai hasil tembakau pada APBN-P 2017 senilai Rp141,3 triliun.

“Kenaikan target 4,8 persen berat, ditambah lagi di tengah kondisi penurunan industri dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya.

Pihaknya berharap pemerintah tetap mempertimbangkan kembali rencana kenaikan tarif cukai. Volume produksi pabrikan rokok domestik bahkan terkoreksi hampir 6 persen pada semester pertama tahun ini dibandingkan dengan 2016.

Kenaikan tarif cukai 2018 akan semakin menekan pertumbuhan industri. ”Jangan lagi ada beban tambahan bagi industri,” ujarnya.

Gaprindo mencatat jumlah rokok ilegal di Indonesia mencapai 14 persen atau 30 miliar batang dari total produksi rokok. Jumlah tersebut naik dari catatan sebelumnya, yaitu sepuluh persen.

”Salah satu cara untuk bisa meredam produksi dan konsumsi rokok ilegal adalah menjaga agar cukai rokok tidak naik tinggi,” pungkas Moefti.

Head of Media Center Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia Hananto Wibisono mengatakan, kenaikan cukai rata-rata tertimbang 10,04 persen tersebut dinilai memberatkan.

Terutama dalam kondisi seperti sekarang di mana industri hasil tembakau selama tiga tahun terakhir stagnan.

''Dampaknya tidak hanya dirasakan pabrikan, tapi juga pekerja di pabrik rokok, petani cengkeh, dan petani tembakau yang totalnya mencapai 6 juta orang,'' tandasnya.

Berkaca dari sebelumnya, beban cukai yang ditanggung terlalu tinggi, seperti 2016 yang mencapai 15 persen. Saat ini beban pajak sudah 60 persen dari harga rokok, termasuk pajak rokok dan PPN hasil tembakau.

''Bila memungkinkan, kebijakan cukai bersifat jangka panjang,'' katanya. Dengan demikian, kepastian usaha lebih terjamin dan tidak waswas ketika menjelang kenaikan cukai.

Sekjen Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI) I Ketut Budiman mengatakan, kenaikan cukai bisa mengganggu kelangsungan pabrik rokok.

Akibatnya produksi rokok keretek turun. Itu berimbas pada penurunan penggunaan bahan baku utama, salah satunya cengkih.

Dalam kondisi normal, kebutuhan cengkih di pabrik rokok disuplai dari dalam negeri. ''Kalau produksi rokok keretek turun, bisa terjadi kelebihan pasokan cengkih,'' paparnya.

Bila sampai terjadi kelebihan suplai, pengaruh harga bakal signifikan. Harga akan tertekan dan itu merugikan petani cengkeh. (car/res/oki)

 


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler