Cukai Tembakau Sudah Tinggi, Gappri: Tak Perlu Dinaikkan Lagi

Senin, 01 Februari 2016 – 16:29 WIB
Cukai Tembakau Sudah Tinggi, Gappri: Tak Perlu Dinaikkan Lagi

jpnn.com - JAKARTA - Ketua Umum Gabungan Perserikatan Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Sumiran memprotes alasan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau yang minta cukai rokok dinaikan.

Menurutnya, alasan itu mengada-ada dan memunculkan kesan hendak mematikan mereka para pedagang kecil di berbagai daerah yang juga bergantung pada industri hasil tembakau.

BACA JUGA: Libatkan 4 BUMN, Marzuki: Jangan Sampai Jokowi Ditelikung Bawahan

"Harusnya, kelompok antitembakau juga melihat survei seperti Ernt and Young teranyar yang menyebut harga rokok di Indonesia juga sudah tinggi dengan kontribusi cukai sangat besar," kata Ismanu, Minggu (31/1).

Sebelumnya, Komisi Nasional Pengendalian Tembakau yang minta cukai rokok dinaikan lagi untuk mengerek harga rokok dan membuat perokok usia aktif berkurang.

BACA JUGA: OJK Optimistis Ekonomi Tumbuh Di Atas 5 Persen

Ismanu menyebutkan, survei tersebut merujuk data dari AC Nielsen, Euromonitor, juga laporan keuangan perusahaan terbuka. Hasilnya. survei mencatat, di Indonesia total pajak rokok terhadap harga jual sudah mencapai 53,4 . Sementara Malaysia mencapai 46%, China 44,4%, dan Vietnam 41,6%. Paling tinggi di Thailand 73,1%.

"Survey Ernest Young menyatakan sudah clear bahwa harga rokok di Indonesia sudah cukup tinggi dengan kontribusi cukai sangat besar, itu obyektif dan faktual," tegasnya.

BACA JUGA: Marzuki Alie: Banyak Praktik Akal-akalan Menteri BUMN

Namun, survei ini selalu saja diabaikan. Maka, tak heran, jika dicermati, kata Ismanu, saat ini mulai terjadi "antitesa" atas kampanye antitembakau, mulai ada Pemda yang "mengijinkan kembali" iklan rokok. Sebab kampanye anti tembakau itu  provokatif dan memaksa.

"Mungkin mata hati dan mata jasmani mereka sudah tertutup, karena target akhir kampanye anti tembakau adalah aksesi FCTC," tandasnya.

Padahal, ketika Indonesia aksesi FCTC, maka pemerintah akan langsung terikat kewajiban yakni tidak boleh membuat peraturan tembakau sendiri. Dengan demikian hukum negara tidak diakui. Negara wajib membayar iuran ke "Otoritas FCTC" yang tidak jelas bentuknya dan dikhwatirkan hanya diisi kalangan LSM. Tak hanya itu saja, dengan aksesi FCTC akan membuka akses ke IHT dari perkebunan hingga pabrik. "Klasul pasal dan ayat aturannya terus semakin bertambah mematikan," tegas Ismanu.

Ismanu mengingatkan, mereka yang anti tembakau seharusnya tidak berpikir dan bertindak memaksakan diri seperti meminta agar para penjual rokok eceran dihilangkan. Pasalnya, Indonesia menghasilkan "budaya" yang beraneka ragam.

"Termasuk budaya jual-beli terhadap barang maupun jasa.  Budaya tidak membutuhkan legalitas. Budaya lahir dari "defacto".  Budaya jual-beli  itu ada di bagian aktivitas siklus dan sirkulasi perekonomian Nusantara.  Negara yang bermartabat adalah Negara yg menghargai budayanya," imbuh Ismanu.

Kata Ismanu, hal itu berbeda dengan negara Kapitalis apalagi liberal yang berupaya "mengkapitalisasi" semua obyek barang,jasa dan unsur budaya, dengan "kedigdayaan petro dollar". Selanjutnya, berupaya dengan segala cara mengangkat semua harga  komoditi, termasuk rokok.

Pada akhir beragam kampanye itu, Indonesia diharapkan tidak berjaya tetap menjadi negara yang terjebak utang dan "tidak boleh mandiri di bidang ekonomi".

"Maka ketika kretek berjaya, mereka berdalih demi kesehatan beralasan dramatisir sakit karena merokok, kemudian menggunakan gerakan anti tembakau  menganggu "stabilitas perekonomian kretek" dengan cara "mengenjot setingi-tinginya cukai" tegas Ismanu.

Padahal, kata Ismanu, budaya IHT di Indonesia, ada banyak "strata". Kalau pabrik besar naik harga, yang menengah siap mengisi dan yang kecil dibawahnya mengisi diatasnya. Jadi, cara menaikan cukai hanya cocok di luar negeri yang tidak punya kretek.

Ia menilai, kampanye anti tembakau sudah tidak obyektif. Selalu menggunakan kacamata kuda.  Egois, angkuh, menutup diri, merasa benar; maka ujungnya "ekstrem". Padahal kebenaran akan membuka jalannya sendiri.
 
Permintaan harga rokok harus naik lagi bukti gerakan anti tembakau tidak berjiwa nasionalis. Kalau gerakan anti tembakau nasionalis, maka seharusnya juga mau diajak duduk bersama dengan instansi terkait bermusyawarah untuk mufakat agar setiap aturan selalu sesuai dengan kepentingan negara.

"Tapi gerakan anti tembakau  selalu menolak undangan seperti ini. Terus maunya apa?" sindir Ismanu. (jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Andalkan Segmen SUV dan LSUV


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler