jpnn.com, JAKARTA - Analis politik dari Universitas Diponegoro Teguh Yuwono menilai hanya Presiden Jokowi yang bisa menghentikan gerakan massa di sejumlah daerah yang menolak Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Bisa dengan berbagai cara, misalnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian menghentikan pembahasan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang dipermasalahkan mereka," kata Teguh seperti dikutip dari Antara.
BACA JUGA: 3 Kasus Besar jadi Amunisi Menggoyang Presiden Jokowi
Menurut Teguh, kalau gerakan massa tidak berakhir, bisa berbahaya karena menimbulkan banyak korban. Bahkan, tidak menutup kemungkinan ekonomi bisa hancur karena kekhawatiran dari masyarakat global.
Selanjutnya, kata alumnus Flinders University Australia itu, rupiah bisa makin terpuruk jika demo tidak segera berhenti karena menimbulkan keresahan pihak luar negeri.
BACA JUGA: Sang Putri Mengadu ke Ibunya, Sudah Tak Tahan Lagi Jadi Korban Kebejatan Ayah
Terkait dengan pelantikan pasangan calon terpilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019, Teguh mengatakan bahwa target mereka tidak mengarah pada pembatalan pelantikan Joko Widodo dan K.H. Ma'ruf Amin sebagai Presiden/Wakil Presiden RI periode 2019—2024.
"Mahasiswa itu rasional dan cerdas. Targetnya adalah negara yang baik dan maju," kata Teguh yang juga Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang.
BACA JUGA: Info Terbaru dari Istana Soal Wacana Perppu KPK
Karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diusik, kemudian diikuti dengan RUU KUHP, gerakan mahasiswa ini melebar tidak hanya persoalan KPK. "Jadi, target mereka sesungguhnya membela KPK karena lembaga antirasuah ini salah satu lembaga yang paling dipercaya masyarakat," kata Teguh. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adek