jpnn.com, JAKARTA - Pimpinan MPR diiingatkan jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan atas permintaan pergantian Wakil Ketua MPR dari unsur Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD).
Pasalnya, ada dua pimpinan DPD RI yang menarik dukungan terhadap surat keputusan (SK) pemberhentian Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR RI, yaitu Sultan Baktiar Najamudin dan Nono Sampono.
BACA JUGA: Diberhentikan Dari Wakil Ketua MPR, Fadel Muhammad: La Nyalla Menzalimi Saya
Selain itu, ada juga dua gugatan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan Bareskrim Polri.
Hal itu disampaikan Koordinator Tim Hukum Fadel Muhammad, Dahlan Pido dalam keterangan tertulis pada Jumat (16/9).
BACA JUGA: Fadel Muhammad Sebut Kerja Sama Pemerintah Pusat dan Daerah Harus Berbasis Data
Dahlan menilai permintaan agar Pimpinan MPR RI segera memproses pengajuan pergantian Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR dari unsur Dewan Perwakil Daerah (DPD) tidak tepat.
Sebab, Sidang Paripurna DPD RI pada tanggal 18 Agustus 2022 itu yang berujung kepada agenda mosi tidak percaya adalah proses dan tindakan yang salah dan cacat hukum serta inkonstitusional karena melalui penyeludupan agenda.
BACA JUGA: Kehilangan Jabatan di MPR, Fadel Muhammad Mengadu ke Kantor Komjen Agus
“Tadinya hanya satu agenda, yakni penetapan keanggotaan alat kelengkapan, namun diseludupkan agenda mosi tidak percaya pada tanggal 18 Agustus 2022 itu. Jadi, ini agenda selundupan ilegal,” ujar Dahlan.
Dahlan menjelaskan instrumen mosi tidak percaya tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial.
Sedangkan, instrumen mosi tidak percaya adalah satu mekanisme ketatanegaraan dalam sistem pemerintahan parlementer di mana kekuasaan eksekutif bersumber dari parlemen.
"Yang menjadi hukum tertinggi adalah konstitusi (supreme of constitution) dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya sebagai regulasi pelaksana, dalam hal ini perkara a quo adalah Undang-Undang MD3, Tatib MPR, dan Tatib DPD RI,” kata Dahlan.
Karena secara prosedur sudah cacat hukum, Dahlan menyebut keputusan yang dihasilkan dalam Sidang Paripurna DPD RI itu tidak sah dan tidak bisa dijadikan sebagai produk hukum.
Terlebih, kata Dahlan keputusan penggantian Wakil Ketua MPR RI harus disahkan dan ditandatangani oleh empat pimpinan DPD RI, tetapi faktanya ada dua Pimpinan yang menarik diri yaitu, Sultan Baktiar Najamudin dan Nono Sampono.
“Jadi, yang dinamakan kolektif kolegial tidak terjadi karena hanya dua dari empat pimpinan yang setuju,” kata Dahlan.
Selain itu, kata Dahlan sesuai Pasal 22 Peraturan MPR RI Nomor 1 tahun 2019 tentang Tata Tertib (tatib) MPR RI bahwa masa jabatan keanggotaan MPR sebagaimana Pasal 8 ayat 2 adalah 5 tahun.
"Jadi, Fadel Muhammad tidak dapat diganti di tengah masa jabatannya karena tidak memenuhi unsur yang dipersyaratkan undang-undang,” tegas Dahlan.
Tidak hanya itu, kata Dahlan dalam Pasal 29 ayat (1) huruf (e) Tatib MPR proses pergantian Wakil Ketua MPR harus ada permintaan dari Pimpinan MPR RI kepada Pimpinan DPD terlebih dahulu untuk mengisi jabatan yang kosong.
“Jadi, gagasan pengisian itu harus lahir dari MPR RI bukan dari DPD RI. Hal ini sesuai dengan Tatib MPR,” tegas Dahlan.
Dengan beberapa fakta tersebut, Dahlan meminta kepada Pimpinan MPR agar menyerahkan kembali permintaan pimpinan DPD RI untuk mengganti Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR karena cacat hukum.
Apalagi, kata Dahlan, saat ini sedang ada gugatan hukum di Pengadilan Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan juga Bareskrim Polri kepada Pimpinan DPD RI.
“Kalau mau mengganti harus ada putusan tetap (ikkrah) dari pengadilan,” pungkas Dahlan.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari