Dakwaan KPK terhadap Syafruddin Temenggung Perkara Perdata

Selasa, 15 Mei 2018 – 23:56 WIB
Mantan Kepala BPPN Syafruddin A Temenggung dan penasihat hukumnya, Yusril Ihza Mahendra. Foto: Fedrik Tarigan/Jawa Pos

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat hukum Dodi Abdulkadir menilai dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung tentang terjadinya misrepresentasi dalam penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bukan perkara pidana. Menurut Dodi, kasus tersebut merupakan ranah perkara perdata.

KPK sendiri dalam dakwaan yang dibacakan dalam persidangan perdana pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dengan terdakwa Syafruddin menyebutkan bahwa pendahulunya di BPPN Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya atas misrepresentasi mengenai piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) terhadap petambak yang diserahkan kepada BPPN.

BACA JUGA: Sidang Kasus BLBI: Yusril Sebut Dakwaan Jaksa KPK Prematur

Dalam dakwaannya, KPK merujuk pada surat Glenn selaku Kepala BPPN tertanggal 1 November 1999, yang pada pokoknya menyatakan telah melakukan misrepresentasi atas keadaan kredit petambak sebesar Rp 4,8 triliun.

KPK menganggap Syafruddin mengetahui misrepresentasi tersebut, namun tetap menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham tertanggal 26 April 2004, yang dikenal juga sebagai surat keterangan lunas (SKL). Dalam dakwaan dikemukakan juga bahwa Syafruddin tidak menyetujui surat Glenn tersebut.

BACA JUGA: Memperkaya Sjamsul Nursalim, Eks Kepala BPPN Didakwa Korupsi

“KPK dalam dakwaannya menganggap klaim misrepresentasi yang disampaikan Glenn Yusuf adalah sebagai suatu kebenaran. Padahal dalam dakwaan juga disebutkan Syafruddin menolak isi surat Glenn tersebut," kata dia saat dikonfirmasi, Selasa (15/5).

Menurut Dodi, hal ini menyangkut perselisihan terhadap persoalan misrepresentasi atas Master Settlement and Acquisition Agreement (Perjanjian MSAA). "Maka seharusnya klaim tersebut dibuktikan terlebih dahulu melalui pengadilan perdata. Tanpa adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, berarti misrepresentasi itu tidak ada,” kata Dodi.

BACA JUGA: Syafruddin Temenggung Siap Jalani Sidang Kasus BLBI

Mengamati dakwaan KPK, maka Dodi menilai perkara tersebut sebenarnya salah alamat. Meskipun KPK dalam dakwaannya menyatakan Syafruddin belum memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian MSAA, pemerintah justru berpendapat sebaliknya.

Dalam jawaban pemerintah tertanggal 3 April 2018 dalam perkara gugatan perdata Syafruddin terhadap pemerintah yang sedang berlangsung, pemerintah menyatakan Syafruddin telah memenuhi seluruh kewajibannya.

Atas hal tersebut, Dodi mengaku heran karena pemerintah sebagai pihak dalam perjanjian MSAA tidak mengklaim kliennya melakukan misrepresentasi, tetapi KPK yang bukan pihak dalam perjanjian MSAA justru mempermasalahkan hal tersebut.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017, KPK dinyatakan sebagai lembaga eksekutif, sehingga seharusnya komisi antirasuah itu tunduk pada kebijakan Pemerintah dalam penyelesaian masalah BLBI BDNI melalui jalur perdata yang telah disepakati dalam perjanjian MSAA.

Dodi pun merujuk pada pernyataan Taufik Mappaenre Maroef, mantan Deputi Kepala BPPN bidang Asset Management Investasi, yang menegaskan bahwa Syafruddin tidak melakukan misrepresentasi karena yang bersangkutan sudah menyampaikan informasi tentang utang petambak plasmakepada BPPN sebagaimana tercatat dalam Disclosure Agreement Perjanjian MSAA. (tan/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengaku Anggota KPK, Oknum Wartawan Dibekuk Polisi


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler