jpnn.com - Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi bahan pangan pokok yang tertuang dalam revisi Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Sebagaimana yang kita ketahui, PPN merupakan pungutan yang dibebankan atas transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan pihak yang membayar PPN adalah konsumen akhir.
BACA JUGA: Soal PPN Sembako, Andi Arief: Rakyat Terjepit Pemerintah Beraliran Mandra
Atas rencana ini patut disayangkan karena pengenaan PPN pada bahan pangan pokok akan menyasar seluruh lapisan masyarakat di Indonesia karena pangan merupakan kebutuhan dasar dan asasi bagi seluruh penduduk Indonesia yang saat ini angka kemiskinan telah meningkat 2,76 juta disbanding tahun sebelumnya (BPS, 2020).
Alih-alih menekan angka kemiskinan, rencana kebijakan ini malah berdampak serius memburuknya ketahanan pangan nasional.
BACA JUGA: Soal PPN Sembako, Amin AK: Pemerintah Menghambat Pemulihan Ekonomi Rakyat
Dampak PPN Sembako
Pemerintah semestinya harus menyadari dampak serius terhadap pengenaan PPN bagi bahan pangan pokok atau sembako akan mengakibatkan naiknya persentase proporsi pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran bagi rumah tangga di Indonesia.
BACA JUGA: Soal PPN Sembako, Rizal Ramli: Masyarakat Makin Tercekik
Teori Engel menyatakan makin tinggi tingkat pendapatan maka persentase pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi pangan akan mengalami penurunan, pengeluaran pangan selalu dijadikan indikator untuk mengukur kesejahteraan dan ketahanan pangan (Suhardjo, 1996).
Dengan teori ini, penulis melihat pengenaan PPN bahan pangan akan makin memukul kerentanan pangan bagi jutaan rumah tangga yang saat ini mengalami kondisi rawan pangan akibat daya beli yang makin lemah, tingginya pengangguran dan krisis ekonomi akibat pandemi berkepanjangan.
Pemberlakuan PPN sembako akan menimbulkan masalah kerawanan pangan bagi rumah tangga karena akan berpengaruh signifikan terhadap rata-rata agregat konsumsi pangan dan rata-rata pangsa pengeluaran pangan bagi setiap rumah tangga secara nasional.
Di sisi lain, jika akses pangan makin lemah maka akan berdampak buruk dalam hal pemanfaatan pangan yang mengakibatkan banyak kasus seperti banyaknya kasus gizi buruk, prevalansi stunting meningkat, anemia dan rendahnya asupan kalori dari penduduk yang hal ini akan berdampak pada kelemahan generasi jangka panjang.
Pemerintah harus mewaspadai semua dampak buruk dari rencana pengenaan PPN ini yang akan semakin meningkatkan angka kerentanan pangan dan kemiskinan secara nasional, apakah tidak ada solusi lain untuk pemulihan ekonomi nasional?
Jangan Main-Main untuk Urusan Pangan
Ketahanan pangan merupakan isu penting yang harus menjadi perhatian pemerintah dan secara ekonomi akan berpengaruh signifikan terhadap pembentukan iklim makroekonomi yang kondusif, karena itu hendaknya “jangan main-main” untuk urusan pangan sebab menyangkut hidup dan matinya negara ini.
Perlu diingat bahwa saat ini persentase pengeluaran pangan dari masyarakat kita lebih besar daripada pengeluaran nonpangan maka ketika pengenaan PPN bahan pangan ini berlaku dan berakibat fluktuasi harga yang tidak terkendali serta inflasi yang banyak dipengaruhi oleh kelompok bahan makanan, khususnya komoditas pangan pokok seperti beras maka yang terjadi adalah makroekonomi yang tidak kondusif dan banyaknya rumah tangga yang mengalami rentan pangan.
Rencana pengenaan PPN untuk bahan pangan wajib ditolak karena komoditas pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat, dan negara harus hadir menjamin seluruh penduduk setiap saat memiliki akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif.
Penulis tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi ketahanan pangan rumah tangga Indonesia jika PPN bahan pangan pokok diterapkan, sebagai gambaran saat ini saja terdapat 71 kabupaten atau 17,1% dari 416 kabupaten yang memiliki skor indeks ketahanan pangan yang rendah.
Banyaknya kabupaten yang masuk kelompok rentan pangan karena diindikasikan oleh tingginya rasio konsumsi per kapita terhadap produksi bersih per kapita, tingginya prevalansi balita stunting, serta tingginya penduduk miskin.
Besarnya persentase pengeluaran pangan penduduk kita akan selalu menimbulkan masalah kurang pangan sehingga memerlukan perhatian pemerintah. Rencana PPN bahan pangan akan berdampak buruk karena semakin membebani pangsa pengeluaran pangan dan menjadi beban berat bagi penduduk berpendapatan sedang dan rendah.
Penulis berharap pemerintah segera membatalkan rencana pengenaan PPN untuk bahan pangan pokok dan berfokus memperbaiki indeks ketahanan pangan rumah tangga di seluruh wilayah nusantara dengan pendekatan memperluas akses individu atau rumah tangga terhadap pangan serta menerapkan prinsip ketahanan pangan berkelanjutan dengan cara menjamin dan melindungi semua rakyat untuk memperoleh pangan yang memadai.
Ketahanan pangan selalu terkait dengan stabilitas harga pangan maka diperlukan kebijakan harga dasar komoditi pangan yang terjangkau oleh rakyat karena semakin tinggi akses rumah tangga terhadap pangan maka makin kuat ketahanan pangan nasional.
Wallahu a’lam..
Redaktur & Reporter : Friederich