Dampak Penurunan Pajak Terhadap Masa Depan UMKM

Senin, 11 September 2017 – 00:01 WIB
Ilustrasi UMKM. Foto: Nur Chamim/Radar Semarang/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah kembali melontarkan wacana penurunan pajak penghasilan final bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Pada Agustus lalu, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dan Kementerian Keuangan memastikan besaran pajak final akan diturunkan dari satu persen terhadap omzet tidak lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi 0,25 persen

BACA JUGA: Anak Usaha Astra Angkat UKM Naik Kelas

Kebijakan ini termasuk ke dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Selain perihal tarif, pemerintah juga akan memperjelas definisi peredaran bruto serta kemudahan peraturan terkait pajak pertambahan nilai (PPN).

BACA JUGA: 2017 Kurang 4 Bulan, Realisasi Pajak Hanya 53 Persen

Sejatinya, rencana pemerintah untuk menurunkan pajak final bagi pelaku UMKM telah lama didengungkan.

Pada tahun lalu, Menteri Koperasi dan UKM AAGN Puspayoga mengatakan, pajak final akan diturunkan sebagaimana instruksi Presiden Joko Widodo.

BACA JUGA: Tak Punya Pegawai Kuasai Teknis Minerba, Pajak Kurang Maksimal

Sebab, mayoritas pelaku UMKM menyatakan keberatan atas tarif pajak yang berlaku.

Pertanyaannya, apakah kebijakan baru ini akan efektif untuk mendongkrak kinerja pelaku UMKM di tanah air?

PP No 46/2013 diterbitkan oleh pemerintah pada 12 Juni 2013 dan kemudian berlaku sejak 1 Juli 2013.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyatakan ketentuan pajak final bagi pelaku UMKM dalam beleid tersebut bukan jenis pajak baru.

Sebab, Ditjen Pajak hanya menyederhanakan sistem pemungutan pajak. Ketentuan ini pun wajib diikuti wajib pajak yang memenuhi kriteria. Semua demi keadilan sebagai warga negara.

PP No 46/2013 juga disusun agar pelaku UMKM dapat dengan mudah menghitung pajak tanpa keharusan membuat pembukuan yang lengkap.

Perhitungannya, semua transaksi penjualan per bulan dijumlahkan kemudian dikalikan satu persen.

Pelaporan pajak final dilaporkan sekali setahun lewat SPT PPH tahunan orang pribadi atau badan.

Namun, sejak awal mula PP No 46/2013 diterbitkan, resistensi sangat terasa di kalangan pelaku UMKM. Penolakan mereka menurut penulis terasa wajar. Apalagi, beban pelaku UMKM, bahkan dalam skala mikro sekalipun sudah sangat berat.

Mulai biaya transportasi, bunga pinjaman perbankan maupun lembaga keuangan nonbank, hingga kenaikan harga BBM dan bahan kebutuhan pokok.

“Omzet yang besar, katakanlah Rp 100 juta per tahun, tidak akan berarti apa-apa. Ini karena keuntungan yang diperoleh tergerus oleh biaya-biaya yang dijelaskan di atas. Belum lagi, administrasi perpajakan masih menjadi masalah. Akarnya adalah sistem pelaporan mandiri (self assessment). Kemampuan pelaku UMKM dalam membuat NPWP hingga SPT tentu berbeda-beda,” kata Founder Indosterling Capital William Henley, Minggu (10/9).

Jika kemudian pemerintah hendak merevisi aturan ini, tentu akan menjadi angin segar bagi pelaku UMKM.

“Ini jika kita berbicara dalam konteks tarif. Sebagai contoh, jika seorang pelaku UMKM terbiasa membayar pajak final sebesar Rp 1 juta dari omzet setahun Rp 100 juta, maka berdasarkan kebijakan terbaru, nominal yang harus disetorkan pemerintah hanya Rp 250 ribu,” imbuh William.

Selain itu, dari sisi makro, kebijakan ini jelas akan memperluas basis pajak dari kalangan pelaku UMKM selepas program Pengampunan Pajak.

Jika mengacu kepada data Kemenkop dan UKM, jumlah UMKM per 2013 mencapai 57.895.721 unit.

Pada tahun ini, jumlahnya diperkirakan telah melebihi 59 juta UMKM yang dipicu semangat berwirausaha yang tumbuh hingga perkembangan pemasaran digital.

Akan tetapi, sampai saat ini, jumlah wajib pajak dari UMKM sekitar 600 ribu. Hal itu berbanding lurus dengan penerimaan pajak dari sektor ini.

Sebagai ilustrasi, sejak 2013 (saat PP No 46/2013 diterbitkan) hingga Juni 2014, kas negara dari UMKM hanya bertambah Rp 2 triliun.

Nilai ini sekitar tujuh persen dari potensi Rp 30 triliun dengan asumsi kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar Rp 3.000 triliun.   

“Apabila penurunan tarif pajak final benar-benar dieksekusi, kinerja pelaku UMKM diharapkan semakin meningkat. Khususnya dari sisi penciptaan lapangan pekerjaan. Sebab, kita ketahui bersama, tingkat pengangguran Indonesia masih sangat tinggi. Menurut laporan Badan Pusat Statistik yang dilansir pada Februari 2017, jumlah pengangguran tercatat sebanyak 7,01 juta orang,” kata William.

Harapan lain adalah penurunan pajak final bagi pelaku UMKM diikuti dengan peningkatan kapasitas.

Apalagi, di tengah persaingan global yang begitu ketat seperti sekarang, peran UMKM dalam rantai pasok global (global supply chain) merupakan sebuah keharusan.

Namun, dibutuhkan dukungan konkret dari semua pihak, termasuk pemerintah.

“Penguatan e-commerce dapat menjadi solusi. Peningkatan jumlah pelaku internet, terutama di dalam negeri, merupakan sebuah potensi. Hal ini harus ditambah dengan edukasi kepada konsumen perihal inovasi yang perlu dilakukan terkait akses pasar, misalnya. Selera pasar yang begitu dinamis adalah tantangan tersendiri yang harus ditaklukkan,” ujar William.

Aspek lain berkaitan dengan akses pembiayaan. Keterbatasan ini sebenarnya sudah coba diatasi pemerintah melalui program kredit usaha rakyat dengan tingkat bunga rendah.

Namun, besaran penyaluran KUR yang terus meningkat jangan sampai hanya dijadikan solusi UMKM untuk menutupi utang. Bukan untuk ekspansi usaha mereka.

Keberadaan fintech adalah jalan lain yang bisa ditempuh pelaku UMKM. Banyak cerita sukses yang ditorehkan selepas mereka bergabung dengan salah satu perusahaan.

Hanya saja, tingkat bunga yang jauh di atas perbankan adalah isu yang harus di-address. Tidak mudah, namun bukan tidak mungkin.

“Harapannya ikhtiar pemerintah untuk memudahkan pelaku UMKM melalui penurunan pajak final membuahkan hasil. Di tengah kesulitan yang menerpa dunia usaha beberapa tahun belakangan lantaran situasi global maupun kebijakan tak tepat, kebijakan semacam ini sangat dibutuhkan. Tinggal sosialisasi masif perlu dieksekusi agar pemahaman pelaku UMKM terhadap kebijakan ini lebih baik daripada kebijakan lalu,” tegas William. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Usung Konsep Berbeda, Otenta Sediakan Produk UMKM Lokal


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler