jpnn.com - JAKARTA - Pakar Tata Kota dari Institut Teknologi Bandung Hesti D. Nawangsidi yakin berbagai isu tentang dampak rencana reklamasi pantai utara Jakarta sudah diantisipasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pemilik proyek. Isu yang sempat dihembuskan itu antara lain soal lingkungan dan pipa serta kabel bawah laut. Namun, Hesti mengatakan, persoalan ini semuanya telah dikaji.
"Di dalam studi-studi dan kajian-kajian mengenai teknik dan perekayasaan reklamasi hal itu sudah dipertimbangkan," kata Hestikepada wartawan, Minggu (5/4).
BACA JUGA: Ini Pesan Paskah Djarot untuk Ahok dan Masyarakat
Karena keberadaan pipa dan kabel bawah laut tersebut, ungkap Hesti, maka dalam re-planing itu didesain bentuk-bentuk pulau yang seperti sekarang ini.
"Yang bentuknya terpisah dan ada kanal dalam jarak tertentu, itu karena memperhatikan pipa dan kabel bawah laut," jelas Hesti.
BACA JUGA: Wow, Sopir Taksi Gagalkan Aksi Tiga Perampok Bersenjata
Dia mengatakan, melalui studi analisis masalah dan dampak lingkungan serta kajian teknis lainnya, pemerintah daerah juga mencari solusi supaya reklamasi tidak mengganggu yang lain. Objek vital di utara menjadi salah satu pertimbangan dalam merencanakan bentuk-bentuk pulau dan juga hal-hallain yang perlu diperhatikan.
"Itu semua dituliskan dalam izin prinsip gubernurapa yang harus diperhatikan untuk setiap pulau karena setiap pulaunya berbeda. Jadi DKI sangat memperhatikan hal itu," jelas Hesti.
BACA JUGA: Ahok Tetap Larang PNS DKI Rapat di Hotel dan Dinas ke Luar Negeri
Menurut Hesti, dampak reklamasi itu hampir mengena pada segala aspek, secara teknis dan secara fisik terkait dengan hidroceanografi, hidrodinamika dan secara sosial ekonomi. Namun, itu juga sudah diantisipasi.
"Karena di sana ada pusat kegiatan masyarakat perikanan. Kemudian juga secara hayati, karena di sana ada suaka margasatwa Angke, kemudian di bagian barat ada bagian-bagian yang masih memiliki budidaya mangrove," jelasnya.
Pemerintah DKI, ucap Hesti, juga sangat memperhitungkan semua aspek yang dikhawatirkan akan menderita jika dilakukan reklamasi. Oleh karena itu, Pemprov DKI dengan sangat hati-hati menyiapkan prosedur yang sangat ketat dan bertahap untuk bisa melakukan reklamasi. Menurut Hesti, dengan perizinan-perizinan terkait, banyak yang bisa ditertibkan secara prosedural.
"Jadi saya kira DKI bisa menjadi contoh untuk itu. Ada izin prinsip, izin membangun prasarana, kemudian ada studi-studi tematik seperti studi hidroceanografi, hidrodinamika dan studi perubahan iklim semua harus dilakukan dan kemudian baru izin reklamasi," tambah Hesti.
Hal-hal yang dikhawatirkan, kata Hesti, kemungkinan besar tidak akan terjadi karena perkembangan proyek reklamasi selalu dimonitor setiap tiga bulan sekali.
"Saya juga selalu ikut dalam proses monitoring, sehingga bisa menjadi saksi untuk hal itu," papar Hesti lagi.
Dicontohkan, hal-hal yang dikhawatirkan misalnya tentang perubahan air laut yang menjadi keruh nantinya kalau reklamasi telah dibangun.
"Hal itu tidak akan terjadi karena pada saat monitoring juga dilakukan pengukuran tingkat kekeruhan air laut," ungkap Hesti.
Dia juga mengatakan contoh mengenai hutan lindung mangrove di bagian selatan di sekitar Angke yang dikhawatirkan nantinya akan mengalami kerusakan. "Nah, tempat seperti ini tidak mungkin dirusak. Karena penting dan dilindungi undang-undang," ujar Hesti.
Hesti yakin pihak DKI akan selalu melakukan monitoring yang tepat, termasuk jika reklamasi itu akan mengganggu pelayaran. Hasil studi juga memperlihatkan hasil bahwa pelaksanaan reklamasi tidak menyebabkan kenaikan muka air yang bisa menyebabkan banjir.
Hesti menjelaskan, bahwa di tahun 1994, rencananya tidak semua pulau akan dibangun terpisah dari darat. Ada juga pulau yang dibuat menempel dengan darat, sebagian pulau di timur, yang dibuat dengan sistem gravitasi untuk mengalirkan air dari darat.
"Kemudian kita juga melakukan berbagai kajian-kajian terhadap persoalan utama yaitu banjir. Lalu diadakan studi prediksi untuk melihat kemungkinan itu," jelas Hesti.
Hasil studi, tambah Hesti, mengatakan bahwa laut itu dinamis, mengalami pasang surut dan sebagainya. Jika dilihat dari segi hidrodinamika, dibuktikan bahwa nantinya bisa ada kenaikan muka laut dengan memperhitungkan semua yang ekstrem, seperti perubahan iklim. Maka diperkirakan akan terjadi kenaikan muka air sekitar 2-3 cm pada jarak tiga kilometer.
"Berdasarkan studi konsultan dari Belanda, kekhawatiran itu tak beralasan," tutupnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Libur Panjang, Lebih 100 Ribu Mobil Masuk Bogor
Redaktur : Tim Redaksi