Dampak UU P2SK Terhadap Praktik Kepailitan & PKPU

Oleh M. Lazuardi Hasibuan*

Kamis, 13 April 2023 – 19:15 WIB
M. Lazuardi Hasibuan. Ilustrasi: Sultan Amanda/JPNN

jpnn.com - Indonesia kini memiliki omnibus law sektor keuangan. Namanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau UU P2SK.

UU baru itu disebut sebagai regulasi sapu jagat karena merevisi puluhan undang-undang terkait keuangan yang sudah lama berlaku. Memang UU P2SK tidak merevisi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

BACA JUGA: UU P2SK Bakal Bikin Pinjol Ilegal Makin Sekarat, Siap-Siap Saja!

Namun, keberadaan UU P2SK telah berdampak signifikan kepada perubahan norma tentang praktik kepailitan dan PKPU. Hal itu merupakan imbas atas perubahan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diatur UU P2SK.

Perluasan Kewenangan OJK Sebagai Pemohon Kepailitan/PKPU Terhadap Debitor LJK.

BACA JUGA: UU P2SK Bisa Memperkuat Kemampuan Pelaku Industri Jasa Keuangan Menghadapi Krisis

OJK merupakan salah satu lembaga yang mendapat porsi kewenangan sangat luas sejak UU P2SK diberlakukan. Beleid tersebut menjadikan OJK sebagai institusi sentral dengan segudang kewenangan, mulai dari pengawasan, pengaturan, sampai penindakan terhadap lembaga jasa keuangan (LJK).

Ketentuan dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 Tentang OJK juncto UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang PKPU menyebutkan pemohon pernyataan pailit pada bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dan dana pensiun hanya dapat diajukan oleh OJK.

BACA JUGA: Sri Mulyani Ungkap UU P2SK Ubah Nama BPR, Fungsinya Jadi Lebih Luas

Namun, sejak UU P2SK berlaku, kewenangan OJK mengajukan pailit tidak terbatas pada LJK.

Pasal 8B UU P2SK memperluas kewenangan OJK mengajukan permohonan pailit terhadap debitor LJK lainnya, di antaranya ialah penyelenggara dana perlindungan pemodal, lembaga pendanaan efek, lembaga penilaian harga efek, dan perusahaan asuransi.

Kemudian terhadap perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, dana pensiun, lembaga penjamin, lembaga pembiayaan, lembaga keuangan mikro, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran efek, penyelenggara layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi, atau LJK lainnya yang terdaftar dan diawasi oleh OJK sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan undang-undang lainnya.

Norma tersebut nyaris mengambil alih seluruh kewenangan permohonan pernyataan pailit pada LJK. Pendek kata, setiap perusahaan -baik sekadar penyelenggaraan keuangan maupun yang bersifat penghimpunan dana, menjadi kewenangan OJK.

Kendati demikian, UU P2SK masih menyisihkan kewenangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pemohon pernyataan pailit/PKPU, yakni terhadap debitor penyelenggara jasa pembayaran, penyelenggara sistem pembayaran dan yang berkaitan dengan pasar uang, serta setiap lembaga yang diberikan izin oleh bank sentral tersebut.

Pemegang Polis Asuransi Bukan Kreditor

Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian menjelaskan pemegang polis (policy holder) atau pihak tertanggung atau peserta asuransi merupakan pihak yang berkedudukan yang lebih tinggi ketimbang pihak lainnya dalam hal pembagian harta pailit.

Dalam rezim hukum kepailitan, kedudukan yang demikian disebut sebagai kreditor preferen khusus.

UU P2SK telah mengenalkan satu lembaga baru di bidang perasuransian dengan sebutan Lembaga Penjaminan Polis (LPP) yang berfungsi sebagai lembaga pelindung terhadap perusahaan perasuransian yang mengalami gagal bayar klaim.

Perusahaan asuransi harus dilikuidasi jika mengalami kebangkrutan.

Singkatnya, fungsi yang dimaksud dalam ketentuan itu persis seperti perlindungan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terhadap nasabah perbankan. Memang LPP nantinya akan dibentuk oleh LPS sebagaimana mandat dalam UU P2SK.

Dengan keberadaan LPP tersebut, kedudukan pemegang polis atau tertanggung yang tadinya sebagai pihak yang diposisikan sebagai kreditor preferen khusus menjadi tidak relevan lagi. Penyebabnya ialah pemegang polis tidak lagi harus mengikuti mekanisme kepailitan mulai pendaftaran tagihan sampai pembagian harta hasil likuidasi.

Dengan adanya LPP, para nasabah memiliki jaminan atas klaim atau kelanjutan polis asuransinya.

Kejelasan Kedudukan Pemegang Saham Publik Terhadap Kepailitan/PKPU

Belum ada definisi resmi dalam peraturan perundang-undangan atas frasa “pemegang saham publik/investor publik”. Menurut beberapa literatur, pemegang saham publik adalah setiap pihak yang membeli saham emiten atau perusahaan publik di pasar modal melalui pasar perdana atau pasar sekunder dengan porsi kepemilikan saham minoritas.

Dalam konteks kepailitan/PKPU tidak dikenal istilah urutan kedudukan pemegang saham pada perseroan. Yang jelas, nomenklatur yang dipakai adalah pemegang saham, sehingga yang melekat adalah hak dan kewajiban pemegang saham sebagaimana diatur dalam UU Perseroan Terbatas.

Artinya, pemegang saham dalam label apa pun akan mendapatkan porsi hasil likuidasi perseroan pailit paling akhir setelah dibagi untuk biaya kepailitan dan para kreditur.

Namun, Pasal 87A Ayat (1) UU P2SK telah memberikan tempat tersendiri kepada pemegang saham publik. Kini pemegang saham publik berada satu tingkat dari kreditur konkuren dan berhak didahulukan dari pemegang saham yang bukan merupakan pemegang saham publik.

Meski demikian, Pasal 87A Ayat (2) UU P2SK memberikan mandat kepada OJK untuk menjelaskan lebih lanjut tentang siapa pihak yang dapat dikatakan sebagai pemegang saham publik.

Sejatinya masih terdapat beberapa hal yang dalam UU P2SK yang berkaitan dengan kepailitan dan PKPU.

Namun, secara fundamental ketiga aturan tersebut secara otomatis mengubah praktik penanganan kepailitan dan PKPU bagi praktisi.

Oleh karena itu, OJK dan lembaga lain yang menerima mandat dari UU P2SK diharapkan bisa segera membuat peraturan pelaksana agar tidak terjadi kesimpangsiuran terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. (***)

*Penulis adalah managing partner pada Firma Hukum LHP dan pengurus Asosisasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
UU P2SK   PKPU   Lazuardi Hasibuan   OJK  

Terpopuler