Dana Pendidikan Naik 200 Persen tetapi Indonesia Kok Masih Tertinggal

Senin, 16 November 2020 – 18:07 WIB
Ilustrasi anak sekolah. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat dan Praktisi Pendidkan Muhammad Nur Rizal, PhD mengatakan dana pendidikan di APBN mengalami kenaikan 200 persen sejak 2002 hingga 2018.

Namun, hasil belajar siswa tetap rendah, dan ketidaksetaraan pendidikan semakin meningkat. 

BACA JUGA: Dana Otsus Tingkatkan Pendidikan di Papua

Hal ini, kata dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut, bisa dilihat dari survei PISA (Program International Student Assessment) pada 2019 lalu.

Kemampuan penguasaan literasi, berpikir analitis dan kemampuan memecahkan persoalan siswa, masih di bawah 19 poin dari perkiraan bank dunia.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Panglima TNI Muncul, Suasana Tegang, Rizieq Harus Bayar Denda Rp 50 juta, Perawat Cantik Tertawa

Bahkan tertinggal 50 tahun bagi Indonesia untuk mengejarnya, dibandingkan rerata negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) lainnya.

Karena itu perlu perubahan arah kebijakan politik pendidikan dan narasi bersama antara pemerintah pusat dan daerah untuk bergerak bersama meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaan di bidang pendidikan ini. 

BACA JUGA: Jokowi Janji Gandakan Dana Abadi Pendidikan dan Penelitian Rp 100 Triliun

"Kami melihat langkah Direktorat Jendral Pendidikan Vokasi Kemendikbud menggandeng Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) adalah dalam rangka untuk itu. Meningkatkan kualitas belajar siswa SMK melalui penciptaan ekosistem sekolah yang menyenangkan agar siswa termotivasi belajar terus menerus dan percaya diri," beber Rizal, Senin (16/11).

Pendiri GSM ini menambahkan, bersama Kemendikbud, pihaknya memberikan pelatihan ekosistem sekolah yang menyenangkan pada 500 kepala SMK terpilih dalam program Kepsek CEO agar memiliki mindset yang baru di dalam memimpin dan mengelola SMK di era ke depan yang penuh perubahan tak menentu ini.

Lulusan S3 Monash University ini menjelaskan, paradigma berpikir pejabat dan birokrasinya tidak boleh terpaku pada laporan monitoring yang diterima melalui Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Standar Pendidikan Nasional (SPN), yang tidak berkorelasi erat dengan pembelajaran siswa. Sebab, banyak data yang dilaporkan tidak akurat atau bukan berdasarkan pengamatan langsung di lapangan.

"Pendekatan pemenuhan administrasi itu harus diubah secara fundamental. Fokus Kemendikbud dan pemerintah daerah lebih pada aspek terukur dan teramati dari pembelajaran," ujarnya. 

Dia menyebutkan, ada lima hal yang ditekankan kepada 500 kepsek CEO dalam menciptakan ekosistem belajar yang menyenangkan.

Pertama,  ruang otonomi bagi siswa untuk mengembangkan dirinya, membuat target belajarnya sendiri serta mampu mengelola waktu dan membuat keputusan dalam menyiapkan masa depannya di sekolah.

Kedua, pembelajaran lebih relevan atau (otentik) yang bertujuan pada penguasaan strategi belajar aktif dan teknologi untuk mengasah kemampuan memecahkan masalah nyata.

Ketiga, adanya ruang bagi passion dan talenta untuk berkembang. "Guru yang selalu menanyakan kebutuhan siswa, mengamati dan mendampingi siswanya dalam mengembangkan bakat dan passionnya. Bukan lagi budaya standarisasi yang memaksa anak harus sama," terangnya.

Keempat, ada banyak pilihan dalam strategi belajar untuk membangun pembelajaran yang berpusat pada individu. Kelima, ekosistem belajar yang berhamba pada anak, di mana pembelajaran berdasarkan perkembangan usia, mental dan talenta mereka yang berbeda.

"Melalui ekosistem ini, diharapkan dapat memenuhi janji Presiden Jokowi pada periode kedua pemerintahannya, di mana ingin menitikberatkan pada pembangunan manusia Indonesia yang adaptif, kompetitif, inovatif dan produktif," pungkasnya. (esy/jpnn)

 

 


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler