Dana Pusat ke Papua Hanya Memperkaya Elite dan Birokrat

Rabu, 11 September 2019 – 16:15 WIB
Ferdy Hasiman, Peneliti Alpha Research Database dan Penulis Buku 'Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara'. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Alokasi dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di Papua sangatlah besar. Dana itu mencakup dana perimbangan (Dana Alokasi Umum dan Alokasi Khusus) dan dana otonomi khusus (Otsus).

Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Keuangan Negara (BPK/2017), total dana perimbangan untuk provinsi Papua sebesar Rp3,7 triliun dan dana otonomi khusus sebesar Rp8.2 triliun. Dengan demikian, total pendapatan pemerintah provinsi Papua dari transfer pusat tahun 2017 sebesar Rp11.9 triliun. Namun, dana sebesar itu gagal mengangkat kesejahteraan rakyat Papua.

BACA JUGA: Mendagri: Kami Sudah Membuat Evaluasi Otsus Papua

“Namun, dana sebesar itu ternyata tak bisa membantu warga Papua sejahtera. Yang menikmati keuangan dari dana perimbangan dan otsus, hanya elite-elite dan birokrat Papua,” Ferdy Hasiman, Peneliti Alpha Research Database dan Penulis Buku “Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara” saat diskusi di Jakarta, Rabu (11/9/2019).

Menurut Ferdy Hasiman, angka kemiskinan Papua dalam lima (5) tahun belakangan tidak pernah beranjak naik. Per September 2016 sebesar 28.54, tahun 2017 turun sedikit sebesar 27, 62 persen dan tahun 2018 sebesar 27.74 persen (BPS: 2019).

BACA JUGA: Pernyataan Keras Lenis Kogoya terkait Penggunaan Dana Otsus Papua

Data-data itu menunjukan bahwa angka kemiskinan di provinsi Papua paling tinggi dari 34 provinsi di Indonesia, di belakang Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur. Angka kemiskinan itu sejajar dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua.

Terhitung sejak tahun 2013-2019, IPM Papua tidak bergerak dan selalu konsisten di angka 34. Angka IPM ini berbanding lurus dengan buruknya angka kesahatan, pendidikan, buta huruf dan standar hidup. Ketimpangan itu bisa dilihat dari Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) per septermber 2017 sebesar 1.93 persen dan 2018 sebesar 1.82 persen dari rata-rata nasional sebesar 0.43 (2017) dan 0,41 persen (2018).

BACA JUGA: DKI Berpeluang jadi Daerah Otsus Jika Ibu Kota Dipindah

“Hal itu terjadi karena dana dari Jakarta ke Papua hanya memperkaya segelintir elite dan birokrat Papua dan hanya porsi terkecil dana diperuntukkan bagi rakyat miskin,” kata Fredy.

Berdasarkan laporan Audit BPK 2017 misalnya, dari dana sebesar Rp11.7 triliun total pendapatan pemerintah provinsi Papua, hanya sebesar Rp1.2 triliun untuk pembangunan jalan, irigasi dan jaringan (gas, listrik) atau hanya sebesar 10.2 persen dari total transfer pusat ke Papua. Padahal, infrastruktur publik, irigasi untuk sektor pertanian Papua memerlukan anggaran yang besar.

Padahal, dana operasional pemerintahan provinsi sangatlah besar mencapai Rp 5.59 triliun atau 53.6 persen dari total transfer pusat ke daerah.

Prilaku elite Papua yang hilir-mudik Jakarta-Papua, Papua-Luar Negeri, pun bisa kelihatan dari beban perjalan pemerintah provinsi Papua. Beban perjalan dinas sebesar Rp374.4 miliar tahun 2017. Perjalan ke luar daerah sebesar Rp 189 miliar, perjalan ke luar negeri Rp 7.1 miliar dan dalam daerah Rp176.5 miliar.

Sementara realisasi anggaran pendidikan hanya Rp 269 miliar dan beasiswa pendidikan untuk non-PNS hanya sebesar Rp 235 juta. Data neraca pendidikan daerah tahun 2017 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudaya mengokonfirmasi alokasi anggaran pendidikan Papua. Berdasarkan data Kemendikbud, APBD untuk pendidikan di Papua hanya sebesar 1.4 persen, paling rendah untuk seluruh Indonesia. Padahal, UU N0.20/2003, mengamantkan alokasi dana untuk pendidikan dari APBN/APBD sebesar 20 persen.

Menurut Ferdy, alokasi anggaran memang dinilai efisien, tetapi tidak tepat sasaran. Salah satu contohnya adalah dana hibah yang dikeluarkan pemerintah provinsi tidak produktif. Dana hibah yang dikeluarkan pemerintah provinsi Papua tahun 2017 memang besar mencapai Rp 1.038 triliun. Namun, dana hibah terbesar bukan untuk masyarakat Papua, tetapi untuk organisasi kemasyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mencapai angka Rp 247.159 miliar. Sementara untuk kelompok masyarakat hanya sebesar Rp 7.655 miliar dan untuk hibah kepada pemerintah sebesar Rp 128,21 miliar.

“Betapa pelitnya pemerintah provinsi Papua mengeluarkan dana hibah untuk kepentingan masyarakat kecil. Sangatlah wajar jika banyak sekali LSM yang mau bekerja untuk Papua,” katanya.

Menurut Ferdy, masih ada lagi yang aneh. Belanja jasa kantor tahun 2017 sebesar Rp 223 miliar, belanja sewa sarana mobilitas Rp 100 miliar (tiket, penginapan, hotel), makan dan minuman Rp 697 miliar dan belanja kepada pihak ketiga Rp733 miliar. Masih banyak deretan kejanggalan lain yang harus diperikasa dalam laporan keuangan Provinsi Papua.

“Coba dibayangkan anggaran untuk rakyat kecil dan warga Papua sangatlah rendah. Pemerintah provinsi Papua sangat tidak peduli terhadap rakyat Papua. Lalu tokoh masyarakat Papua meminta kepada presiden untuk melakukan pemekaran menjadi 5 provinsi di Papua. Ini menurut kami tuntutan yang tidak realistis, karena pemerintah daerah di Papua tidak becus mengolah anggaran daerah. Dana alokasi pusat, hanya membuat elit Papua menjadi kaya, sementara rakyat kecil tetap miskin,” tegas Ferdy.

Data-data di atas cukup memprihatinkan dan sudah sangat terang bahwa dana perimbangan dan otsus kebanyak dialamatkan kepada elit-elit birokrasi dan elite-elite partai politik di Papua. Sementara dana untuk rakyat kecil di Papua sangatlah kecil.

Itulah sebabnya mengapa Otonomi Khusus (otsus) yang telah di-amanat-kan UU No. 21/2001 gagal. Kebijakan khusus untuk melindungi dan memberdayakan warga asli, miskin implementatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Papua. Pemerintah juga sudah lama gagal mendesain pendidikan bagi anak Papua, sehingga Otsus gagal memberi peluang kerja bagi putra-putri daerah.

Hal itu, kata dia, yang menyebabkan intervensi pemerintah pusat melalui dana perimbangan dan dana Otonomi Khusus tak pernah menyentuh rakyat kecil. Jadi seberapapun besarnya alokasi dana dari pusat ke daerah, tak tidak akan berfaedah banyak di tengah amburadulnya manajemen otonomi daerah dan korupsi yang menggurita di Papua.

Ferdy menegaskan pemerintah pusat wajib membangun struktur otoritas birokrasi yang sehat di Papua agar uang rakyat tidak dihabiskan dalam perjalanan menuju Papua agar masalah kemiskinan dan penderitaan di Papua teratasi.

“Elite-elite Papua jangan menunjuk-tunjuk ke pusat, seolah-olah hanya pusat yang bertanggung jawab terhadap masalah Papua. Padahal, masalah yang sangat besar di Papua adalah gagalnya pemerintah daerah membangun struktur pemerintah kuat dan struktur birokrasi yang bersih di Papua,” ujar Ferdy Hasiman.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler