jpnn.com - jpnn.com - Upaya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mendorong pemerintah daerah (pemda) untuk meningkatkan serapan anggaran cukup berhasil.
Hingga akhir Desember 2016, dana simpanan pemda di perbankan tinggal Rp 83,3 triliun.
BACA JUGA: Suku Bunga Fleksibel, Kredit Tumbuh 12 Persen
Jumlah lebih kecil bila dibandingkan dengan Desember 2015 sebesar Rp 99,68 triliun.
Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Boediarso Teguh Widodo menuturkan, dana menganggur di perbankan itu telah sesuai dengan target, yakni kurang dari Rp 85 triliun.
BACA JUGA: OJK Dorong Perbankan Miliki Digital Branch
Menurut Boediarso, posisi dana pemda di perbankan pada Desember 2016 juga lebih rendah Rp 114,94 triliun jika dibandingkan dengan November 2016 yang mencapai Rp 198,79 triliun.
Di antara total angka tersebut, simpanan pemerintah provinsi (pemprov) mencapai Rp 28,16 triliun.
BACA JUGA: OJK Dorong Perbankan Miliki Digital Branch
Jumlah itu lebih rendah Rp 32,44 triliun dari posisi November 2016 sebesar Rp 60,61 triliun.
Sementara itu, lanjut Boediarso, saldo simpanan pemerintah kabupaten (pemkab) di perbankan pada akhir Desember 2016 mencapai Rp 41,47 triliun.
Jumlah tersebut lebih rendah Rp 64,27 triliun dari posisinya pada akhir November 2016 sebesar Rp105,74 triliun.
Hingga akhir Desember 2016, posisi simpanan pemerintah kota (pemkot) tercatat menganggur Rp 14,21 triliun.
Angka itu lebih rendah Rp 18,23 triliun dibandingkan dengan akhir November 2016 sebesar Rp 32,44 triliun.
Pemprov dengan jumlah dana tidak terserap tertinggi adalah DKI Jakarta Rp 10,70 triliun.
Setelah itu ialah Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 3,05 triliun dan Papua (Rp 2,14 triliun).
Pemkab dengan dana idle terbesar adalah Kabupaten Badung sebesar Rp 1,12 triliun.
Dari jajaran pemkot, ada Kota Medan yang memiliki dana idle Rp 1,37 triliun.
Untuk mengurangi dana tidak terserap di perbankan, Kemenkeu telah menetapkan sanksi berupa konversi dana tunai ke surat berharga negara (SBN) berbentuk surat perbendaharaan negara (SPN) dan surat perbendaharaan syariah (SPS).
Konversi itu diterapkan bagi daerah yang mempunyai uang kas atau simpanan di rekening kas umum daerah (RKUD) dalam jumlah yang tidak wajar.
Kriteria tidak wajar yang dimaksud adalah posisi simpanan melebihi perkiraan kebutuhan belanja operasi dan belanja modal tiga bulan berikutnya serta besarannya di atas rata-rata nasional.
Boediarso mencontohkan, posisi kas suatu daerah pada Februari adalah Rp 100. Rencana pengeluaran operasi dan belanja modal tiga bulan berikutnya Rp 75. Artinya, terdapat jumlah kas yang tidak wajar Rp 25.
Bila rata-rata nasional Rp 23, berarti jumlah kas yang tidak wajar itu melebihi rata-rata nasional.
’’Nah, sisa yang tidak wajar itulah (Rp 25) yang penyalurannya dikonversi dalam bentuk SPN,’’ paparnya. (ken/c14/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Total Aset BPD Mencapai Rp 525 Triliun
Redaktur & Reporter : Ragil