Bagi Daniel Gibuma, Australia merupakan satu-satunya tempat yang dianggapnya sebagai tanah air.
Pria keturunan warga Kepulauan Selat Torres (Torres Strait Islander) ini sejak kecil sudah tinggal di wilayah itu.
BACA JUGA: Jutaan Pemegang Visa Permanen Memengaruhi Pilihan WN Australia Dalam Pemilu
Dia menganggap Kepulauan Selat Torres sebagai tanah leluhurnya, sejak ribuan tahun silam.
Anak-anak dan cucunya pun tinggal di sana.
BACA JUGA: Perbatasan Australia Sudah Dibuka, Kapan Perjalanan Internasional Kembali Normal?
Namun sekarang Daniel sangat cemas. Dia terancam dideportasi dari Australia untuk kedua kalinya dalam dua tahun.
"Saya berasal dari negara ini, penduduk Pribumi di negara ini," ujarnya kepada ABC News.
BACA JUGA: ABK Tiongkok Terluka Parah di Tengah Laut, Basarnas Sulsel Langsung Bergerak
"Keluarga saya semuanya adalah penduduk Kepulauan Selat Torres. Itu satu-satunya hal yang saya pahami sejak kecil," katanya.
Daniel adalah satu dari 10 penduduk Pribumi yang telah dibebaskan dari tahanan imigrasi sejak tahun 2020.
Saat itu, Mahkamah Agung (High Court) memutuskan bahwa orang Aborigin dan penduduk Kepulauan Selat Torres tidak boleh dideportasi dari Australia.
Keputusan pengadilan tertinggi itu juga berlaku untuk orang Aborigin dan penduduk Kepulauan Selat Torres yang statusnya bukan warga negara Australia akibat lahir di negara lain.
Tapi Pemerintah Australia kini berusaha untuk membatalkan keputusan bersejarah tersebut.
Jika upaya pemerintah berhasil, maka Daniel Gibuma dan penduduk Pribumi non warga negara lainnya sangat rentan untuk dideportasi.
"Upaya pemerintah itu sangat mengejutkan. Saya merasa ditinggalkan sendirian oleh negara saya sendiri," ucapnya. 'Nama saya masuk daftar'
Daniel Gibuma lahir di Papua Nugini, hanya beberapa kilometer dari wilayah perbatasan Australia.
Dia kemudian pindah ke Pulau Boigu di Selat Torres saat berusia enam tahun.
Nenek moyangnya adalah penduduk Kepulauan Selat Torres. Daniel bahkan memiliki gelar penduduk asli yang diakui.
Namun selama ini dia hanya memegang visa tinggal permanen, yang dibatalkan pada 2018 ketika dia didakwa melakukan tindak pidana dan dihukum penjara.
Sejak itu pemerintah berusaha mendeportasi Daniel ke Papua Nugini, sesuai aturan UU Imigrasi yang memungkinkan non-warga negara dideportasi jika melakukan kejahatan serius.
Daniel ditahan dalam fasilitas penahanan imigrasi selama dua tahun.
"Saya tak bisa tidur. Terus mengalami mimpi buruk karena mereka menjemput orang di tengah malam, menaikkan mereka di pesawat. Nama saya masuk dalam daftar," katanya.
Dia mengaku takut dikirim ke Papua Nugini.
"Saya tidak punya apa-apa di Papua Nugini. Tidak ada pekerjaan, tempat tinggal," katanya.
Lalu pada Februari 2020, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan bersejarahnya itu. Kategori yang sama sekali baru
Keputusan MA itu lahir dari kasus dua penduduk Pribumi lainnya, Daniel Love dan Brendan Thoms.
Keduanya lahir di negara lain dan statusnya bukan warga negara Australia. Tapi mereka bisa membuktikan diri sebagai keturunan Aborigin.
Dalam interpretasi yang sangat kontroversial terhadap Konstitusi Australia, para hakim MA memutuskan bahwa penduduk asli non-warga negara tidak boleh dikategorikan sebagai "orang asing".
Artinya, mereka tidak dapat dideportasi berdasarkan UU Imigrasi.
Claire Gibbs, pengacara yang mendampingi Daniel Love dan Brendan Thoms menyebut keputusan ini sebagai kemenangan bagi penduduk asli.
"Keputusan ini mengakui kedudukan yang sangat khusus dari penduduk asli dalam komunitas politik dan konstitusional Australia," ujarnya.
Namun keputusan itu mengganggu kalangan pejabat pemerintah.
Jaksa Agung saat itu, Christian Porter, menyebut keputusan MA menciptakan "kategori orang yang sama sekali baru" yang harus "diperlakukan secara berbeda dari semua orang lain dalam situasi yang sama".
Sekarang, pemerintah mengajukan upaya peninjauan kembali ke MA, dalam kasus seorang pria yang mengaku keturunan penduduk Pribumi non-warga negara bernama Shayne Montgomery.
Dalam pengajuan peninjauan kembali, pemerintah berpendapat alasan majelis hakim dalam kasus Daniel Love dan Brendan Thoms tidak konsisten.
Mereka menilai keputusan itu telah memberikan "kedaulatan politik yang keliru" kepada orang Aborigin dan Penduduk Kepulauan Selat Torres dengan memberi mereka kewenangan untuk memutuskan siapa yang boleh dan tidak boleh tinggal di Australia.
Untuk membuktikan bahwa mereka penduduk Pribumi, seseorang harus diakui oleh suatu suku pemilik tanah tradisional di Australia.
Hal itu, menurut pemerintah, memberi masyarakat adat "kapasitas konstitusional yang lebih besar daripada yang diberikan pada parlemen negara bagian mana pun". Menghina penduduk asli
Menurut Gibbs, upaya peninjauan kembali yang dilakukan telah menghina penduduk asli Australia.
"Sulit untuk memahami mengapa pemerintah sangat terpaku pada upaya mendeportasi orang Aborigin," kata Gibbs.
"Mereka menolak untuk mengakui bahwa mereka salah," tambahnya.
Sementara itu, nasib keturunan penduduk Pribumi dengan status non-warga negara di Australia seperti Daniel Gibuma kini terkatung-katung.
Tanpa visa tinggal atau kewarganegaraan, secara hukum dia tidak dapat bekerja dan tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan tunjangan kesejahteraan dan asuransi kesehatan dari pemerintah.
Kini Daniel hanya mengandalkan bantuan uang dari anak-anaknya.
"Saya ingin mendapatkan hak sebagai manusia untuk kembali lagi ke masyarakat," katanya.
"Agar saya bisa mendapatkan pekerjaan, membayar pajak dan memberikan sesuatu untuk negara ini," tambahnya.
Penduduk non-warga negara keturunan Pribumi lainnya, Dunder Koiget, kini menjadi tunawisma sejak dibebaskan dari tahanan imigrasi pada April tahun lalu.
Dia ditahan karena terlibat dalam perdagangan narkoba.
Dunder mengaku sangat malu dan stres untuk menumpang di rumah kerabatnya.
Dia juga takut dideportasi kembali ke Papua Nugini, tempatnya dilahirkan.
"Jika kembali ke PNG, saya akan dibunuh karena saya pernah diancam pembunuhan di PNG," katanya.
Dia mengakui kesalahannya di masa lalu tapi kini ingin mengubah hidupnya.
"Saya ingin menjadi warga negara Australia. Ini tempat yang bagus," katanya. Reformasi kebijakan
Pakar hukum adat dari University of NSW Dr Dani Larkin menjelaskan perlunya reformasi kebijakan untuk mengakui hak-hak keturunan pribumi non-warga negara untuk tinggal dan bekerja di Australia.
"Ada perampasan akses terhadap kelompok orang ini untuk menjalankan kebebasan sipil mereka," jelasnya.
"Kerangka hukum imigrasi seharusnya dapat mengakui kelompok orang yang sebelumnya tidak dikenal ini, yang bukan warga negara, namun bukan pula orang asing," kata Dr Larkin.
Juru bicara Kejaksaan Agung berdalih bahwa pemerintah menghormati keputusan MA dalam kasus Love dan Thoms.
Sementara pihak imigrasi di bawah Departemen Dalam Negeri saat ini memeriksa kasus 22 orang yang berada dalam tahanan imigrasi yang mungkin keturunan Pribumi dan sama kasusnya dengan Love dan Thoms.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Diwajibkan Pakai Masker, Warga Melbourne Sudah Boleh Masuk Kantor Lagi Minggu Depan