Ada jutaan pemegang visa permanen yang tinggal di Australia, yang tidak berhak memberikan suara. Namun, sebagian mereka tetap memengaruhi pilihan partai politik dalam pemilu di Australia.
Anna Koetz sudah tinggal di Australia hampir 25 tahun. Itu berarti ia sudah mengalami beberapa kali pemilihan umum federal dan pergantian pemerintahan.
BACA JUGA: Perbatasan Australia Sudah Dibuka, Kapan Perjalanan Internasional Kembali Normal?
"Rasanya agak kesal [tidak bisa memberi suara] karena saya tertarik dengan apa yang terjadi di Australia," katanya.
"Saya punya pendapat. Dan semakin lama tinggal di sini, semakin ingin saya memberikan suara di pemilu."
BACA JUGA: Tak Diwajibkan Pakai Masker, Warga Melbourne Sudah Boleh Masuk Kantor Lagi Minggu Depan
Sebagai warga asal Jerman dengan status pemegang visa permanen di Australia, Anna tidak bisa memberikan suara di pemilu namun itu tidak menghentikan usahanya memberikan pengaruh.
Dia sangat tertarik dengan masalah-masalah seperti perubahan iklim dan vaksinasi COVID-19.
BACA JUGA: Salah Satu Peternak Ayam Terbaik di Dunia Memecahkan Misteri Genetik Tubuhnya di Usia 50 Tahunan
Bila ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, dia akan membicarakannya dengan suaminya.
"Saya membawa masalah itu ke rumah dan kami membicarakannya," katanya.
"Saya kira pembicaraan kami pasti akan memengaruhi pemikirannya."
Suaminya Lachland adalah warga negara negara Australia dan mengatakan dia tidak pernah serius memikirkan apakah pembicaraan dengan Anna memengaruhi keputusannya di pemilu.
"Saya kira mestinya berpengaruh karena apa yang saya ketahui sebagian besar berasal dari Anna," katanya.
Dan ketika Lachlan mengisi kertas suara, dia sadar betul bagaimana kebijakan politik berpengaruh terhadap istrinya.
"Salah satu hal yang mempengaruhi Anna adalah pemerintah mengurangi pendanaan bagi penelitian ilmiah di universitas selama beberapa tahun terakhir," katanya.
"Ini yang akhirnya menyebabkan Anna meninggalkan kampus dan menjadi guru sekolah. Dan meski guru bidang sains dibutuhkan, sekolah tidak memiliki posisi permanen, sehingga dia meninggalkan sektor itu juga."
"Hal-hal seperti ini memengaruhi pilihan saya." Pengaruh terhadap keputusan memilih
Anna adalah satu dari jutaan mereka yang memiliki visa sementara atau visa permanen untuk tinggal di Australia yang jumlahnya sekitar 10 persen dari keseluruhan populasi sebanyak 27 juta saat ini.
Pemegang visa ini tidak bisa memberikan suara di pemilu, namun pasangan, sanak keluarga, teman kerja atau teman-teman mereka yang berstatus warga negara bisa.
Jill Sheppard pakar politik Australia dari Australian National University mengatakan pengaruh mereka yang bukan warga negara ini tidak bisa diremehkan begitu saja dalam pemilu.
"Banyak orang yang mengenal mereka yang bukan warga negara,"katanya.
"Banyak di antara kita bekerja dengan mereka, mungkin juga ada anggota keluarga kita yang sudah tinggal di sini namun belum menjadi warga negara.
Sementara itu sekitar 30 persen dari jumlah penduduk Australia - yaitu sekitar 7 juta orang - lahir di luar Australia, jumlah yang meliputi warga negara maupun bukan warga negara.
Dr Sheppard mengatakan pilihan politik yang dilakukan warga berhubungan erat dengan identitas mereka.
"Bila kita melihat pemerintah atau partai yang menjalankan kebijakan yang memengaruhi orang-orang yang kita sayangi, misalnya keluarga yang tidak masuk ke Australia selama lockdown, atau pasangan kita tidak bisa mendapatkan visa untuk masuk, jelas saja ini akan menjadi bagian dari pertimbangan ketika memilih," katanya.
Inilah yang sangat dirasakan oleh warga negara Australia asal Tiongkok, Ivy.
Perempuan berusia 39 tahun yang tidak mau nama keluarganya disebut ini mengatakan di masa lalu dia memilih partai Liberal namun di pemilu mendatang dia akan memilih Partai Buruh.
Ini disebabkan karena kesulitan yang dialami orangtuanya yang lansia untuk masuk ke Australia dari Tiongkok.
Ivy mengatakan orang tuanya tidak memenuhi syarat masuk ke Australia karena mereka mendapatkan vaksin Sinopharm, yang tidak diakui di Australia bagi mereka yang berusia di atas 60 tahun.
"Saya sangat, sangat kecewa," katanya.
"Dan saya kira kinerja pemerintah federal tidaklah bagus dalam menangani pandemi ini, semuanya tidak terkontrol dengan baik." Banyak yang kemudian juga menjadi WN Australia
Dr Sheppard menambahkan bahwa banyak di antara mereka yang sebelumnya memegang visa tinggal permanen ini akhirnya menjadi warga negara Australia.
"Bila mereka kecewa dengan perlakuan pemerintah terhadap mereka, kemudian mereka akan berpengaruh dalam pemilu ketika mereka akhirnya berhak memilih," kata Dr Sheppard.
Inilah yang dilakukan pemegang visa permanen asal Inggris Pierre Araman yang sudah tinggal di Australia dan Inggris berselang-seling sejak usia 14 tahun.
Menjalankan bisnis wisata outbound, pandemi COVID-19 menjadi masa-masa sulit bagi bisnisnya.
"Kami pada dasarnya tidak bisa mendapatkan penghasilan sama sekali," katanya.
"Kami tidak bisa melayani bahkan tur domestik sekali pun, dan syarat untuk masuk juga sangat susah."
Pierre mengatakan bantuan sosial pemerintah lewat program JobKeeper cukup membantu, tetapi sekarang sudah dihentikan.
"Kalau kita bandingkan dengan Inggris misalnya mereka juga memiliki sistem bantuan seperti Jobkeeper yang diberikan sampai bulan Oktober kemarin sementara di sini berakhir bulan Maret," katanya.
Dalam waktu dekat, Pierre berhak untuk mengajukan diri menjadi warga negara Australia.
"Saya kira pengalaman saya selama beberapa tahun terakhir akan memengaruhi bagaimana saya memilih partai di pemilu."
Dr Sheppard mengatakan dalam beberapa hal, mereka yang bukan warga negara sebenarnya memiliki hubungan lebih dekat dengan politisi dibandingkan yang jadi warga negara.
"Banyak kerja yang dilakukan para politisi di daerah konstituen mereka berkenaan dengan masalah-masalah imigrasi," katanya.
"Salah seorang kontak pertama yang dilakukan para migran adalah dengan politisi lokal mereka." Beberapa negara mengizinkan pemegang visa permanen tetap ikut pemilu
David Fili adalah warga negara Selandia Baru keturunan Samoa yang tinggal di Brisbane Utara mengatakan dia menikmati pertemuan dengan para politisi di daerahnya guna membicarakan isu-isu penting.
"Pertemuan itu melibatkan orang-orang yang berhak memilih dan juga orang yang tidak bisa memilih seperti saya,"katanya.
Baginya, keamanan kerja dan meningkatkan kemampuan manufaktur lokal adalah masalah penting.
Dia juga suka mengobrol dengan anggota keluarganya yang memiliki hak memilih di Australia karena sudah jadi warga negara.
"Kami berdiskusi mengenai siapa akan memilih partai apa, dan alasan mereka menentukan pilihan tersebut dan sebagainya," katanya.
"Saya pendukung Partai Buruh. Terutama karena mendukung populasi kelas menengah di negeri ini.
"Saya selalu melihatnya seperti itu."
Dalam beberapa tahun terakhir muncul desakan agar pemegang visa permanen yang sudah lama tinggal di Australia diberi hak untuk memilih di pemilu.
Namun sampai saat ini baru mereka yang berstatus warga negara saja yang harus memberikan suara, sama seperti di negara Persemakmuran lain seperti Kanada dan Afrika Selatan.
Pemegang visa permanen bisa mengajukan diri menjadi warga negara Australia setelah tinggal di sini sekurangnya empat tahun, namun menjadi warga negara bagi sebagian orang berakibat harus melepas warga negara sebelumnya.
David berencana untuk mengajukan lamaran menjadi warga negara Australia dan akan memberikan suara ketika ia sudah sah menyandang status itu.
Namun menurut Dr Sheppard, seharusnya mereka yang sudah memiliki status permanen boleh memilih.
"Saya kira hal yang aneh bahwa mereka yang bukan warga negara tidak diizinkan memilih," katanya.
"Selandia Baru mengizinkan pemegang visa permanen untuk ikut pemilu.
"Kalau menurut saya bahkan akan lebih jauh lagi, bahwa mereka yang tinggal di Australia lebih dari 12 bulan, setelah mereka melaporkan pajak tahunan, seharusnya bisa berpartisipasi memberikan suara dalam demokrasi kita."
"Sepanjang kita tidak melakukan hal ini, kita tidak mendengar suara begitu banyak orang yang sudah berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat Australia."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Buka Gerbang Internasional, Bagaimana Wabah Covid-19 di Negeri Kanguru?