Dapat Rekomendasi Kades, Boleh Masuk Malaysia Tanpa Paspor

Jumat, 22 November 2013 – 02:20 WIB
Pos Lintas Batas Imigrassi di Sambas. Foto: Ruslan Ramli/JPNN.com

jpnn.com - SENGKETA perbatasan Indonesia-Malaysia tak membuat hubungan antarwarga beda negara itu ikut memanas. Negara boleh emosional merespons sengketa yang melibatkan petinggi Jakarta dan Kuala Lumpur, tetapi kehidupan warga di lintas batas tetap adem ayem. Seperti apa hubungan dua kampung bertetangga itu?

Ruslan Ramli, Camar Bulan

BACA JUGA: Mau Telepon, Silakan ke Desa Seberang

Jangan tanya hubungan sosiologis warga Camar Bulan dan Teluk Melano. Beda bendera tak memutus tali persaudaraan. Apalagi berpredikat saudara serumpun, berlainan negara tentu bukan halangan bagi warga untuk hidup berdampingan di pengujung wilayah. “Tak perlu  tanya soal hubungan kami dengan orang-orang Teluk Melano. Sangat dekat seperti layaknya bersaudara. Kami saling menghormati,” kata Mulyadi, Kepala Desa Temajuk.

Saking eratnya, acara-acara sosial keagamaan selalu melibatkan warga dua desa. Perayaan Agustusan misalnya, mereka akan berduyun-duyun meramaikan pesta ulang tahun kemerdekaan RI itu. Asal mereka tahu, mereka akan berdatangan ke Camar Bulan. Sama halnya kemerdekaan Malaysia yang turut menyertakan warga Camar Bulan.

BACA JUGA: Butuh Lima Jam Naik Motor dari Sambas

“Perkawinan juga begitu, kami saling mengunjungi. Ada pengajian atau  yasinan. Siapa yang ditimpa musibah kematian, dia akan dikunjungi. Kita bersilaturahmi tanpa melihat asal-usul. Yang penting ada pemberitahuan, kami datang,” sebut Mulyadi.

Dekatnya hubungan warga Camar Bulan dan Teluk Melano juga dibuktikan dengan pernikahan silang. Kalau sudah saling mencintai,  remaja beda kampung ini tidak segan-segan naik ke pelaminan. Pria Teluk Melano meminang gadis Camar Bulan, atau sebaliknya. “Sudah banyak kejadian seperti itu. Gadis-gadis kita dipersunting pemuda seberang,” urai Mulyadi.

BACA JUGA: Siapkan Stok Pantun, Ingin Kunjungi Istana Siak

Selain itu, rapatnya komunikasi  warga beda desa ini juga dijumpai  lewat perdagangan. Faktor harga yang membuat keduanya membangun perdagangan. Warga Camar Bulan membeli kebutuhan dapur seperti telur, gula, beras, milo, minyak goreng. Sedangkan warga Teluk Melano membeli hasil laut, ikan maupun lobster.

“Kalau hasil kebun, tergantung nilai jualnya saat itu. Bila harga lada atau karet lagi tinggi di Malaysia, warga Camar Bulan menjualnya di sana. Begitu juga sebaliknya. Jadi harganya dicek dulu sebelum dijual,” tambah Asman.

Pada hari-hari tertentu, orang-orang Teluk Melano nongkrong di warung desa. Makan-minum bersama  warga Camar Bulan. “Mereka sangat suka gorengan. Rebus pisang atau ubi jarang dijual di sana. Makanya mereka kemari sambil bersilaturahmi,” papar Asman.

Untuk menghindari terjadinya gesekan, setiap lomba tidak mengatasnamakan negara. Warga disatukan dulu, setelah itu dibagi per kelompok.  “Jadi  tidak ada yang membawa nama negara. Mereka berlomba atas nama kelompok,” kata Mulyadi.

Buat warga Camar Bulan, menyeberang ke Teluk Melano adalah perkara gampang. Kurang lima menit naik motor, kita sudah sampai di pusat kampung. Dari rumah Mulyadi, jaraknya cuma 2km.  Bandingkan dengan Sambas yang memakan waktu sekitar lima jam.

Untuk membedakan tapal batas negara, boleh dilihat dari tatanan perkebunan karet.  Kalau tanaman karetnya berjejer teratur, maka itu berarti sudah di wilayah Malaysia. Jarak antarpohon karet diatur rapi, sekitar satu-dua meter. Mereka merawat baik tanamannya. Sedangkan Indonesia, karet ditanam dan dibiarkan tumbuh apa adanya.

Setiap orang sebenarnya bisa langsung mengetahui batas akhir tanah Indonesia-Malaysia.  Dari kejauhan sudah nampak kibaran bendera merah-putih. Di mana tiang-tiang bendera merah-putih berdiri, maka di situlah bumi pertiwi.

Bukti fisik perbatasan ditemukan di patok A54.  Letaknya sekitar 200 meter dari jalan utama yang menghubungan Camar Bulan-Teluk Melano. Patok ini tersembunyi di tengah semak-semak dan pepohonan. Diameternya 10 cm dan tingginya 40cm. Patok ini terbuat dari semen. Di bagian atasnya dicat merah-putih.

Semula penulis bersama Obay berusaha menemukan sendiri patok tersebut. Berkali-kali keluar-masuk semak setinggi perut orang dewasa dilewati namun patoknya tak nampak. Tak kehabisan akal, kami pun bergerak ke rumah warga terdekat.  Berkat bantuan penduduk setempat, barulah patok ditemukan di antara rimbunan semak. Posisinya tak jauh dari lahan perkebunan milik warga  Indonesia.

“Kalau orang baru memang agak sulit menemukannya,” ucap Suryadi alias Bujang.
Khusus di Maludin yang menjadi dusun terdepan di Temajuk, dua rumah batu menandai batas akhir lahan Indonesia. Kedua rumah itu bahkan berada 50 meter lebih luar dari pos lintas batas TNI. Dari garis perbatasan, jarak rumahnya hanya 30 meter.

Suryadi adalah salah satu dari pemilik rumah terakhir tersebut. Sehari-hari dia bekerja di kebun miliknya. Pria dewasa ini merasa biasa-biasa saja menetap di pengujung Indonesia. Tak ada yang istimewa karena  dia sudah terbiasa tinggal di rumah yang jaraknya saling berjauhan.

Penulis penasaran melihat dari dekat kehidupan warga Teluk Melano. Meskipun membawa paspor, penulis ingin membuktikan “kesaktian” rekomendasi kepala desa. Apakah boleh masuk wilayah Malaysia tanpa paspor atau cukup dengan “surat izin” lisan kepala kampung?

Semula penulis deg-degan memasuki zona terlarang. Terbayang ketatnya pemeriksaan petugas imigrasi di bandara Kuala Lumpur International Airport.  Petugas  imigrasi Malaysia bersikap tegas dengan WNI. Tatapannya tajam, suaranya berat, dan bertanya detail kepada siapapun yang berada di counter pemeriksaan.

Keraguan penulis sirna karena ternyata di pos jaga lintas batas, tak seorang pun Polisi Diraja Malaysia (PDM) yang stand by  di dekat tiang melintang di sisi jalan. Mereka hanya beraktivitas di ruang pos jaga. Tak ada PDM yang mengawasi penulis saat melintas di depannya. Mungkin saja mereka menyangka bahwa kami adalah warga desa yang sedang punya keperluan penting di Teluk Melano.

Yang mengejutkan adalah sambutan kepala kampung, Muhammad Pani. Ternyata dia sudah mengetahui keberadaan penulis. “Encik pasti mahasiswa yang melakukan penyelidikan di sempadan. Saya sudah diberitahu kepala kampung sebelah tentang rancangan encik,” kata Pani menerima kami di kediamannya.

Pani mengakui eratnya hubungan emosional kampung Teluk Melano dan Camar Bulan. Saking dekatnya, warga kedua kampung boleh keluar-masuk di perbatasan tanpa pemeriksaan dokumen. Ketika warga asing Indonesia melintas di Teluk Melano, PDM akan menginterogasinya. Begitu pula sebaliknya di Camar Bulan.

Maka, khusus warga kedua kampung dibebaskan dari pemeriksaan. “Tak perlu diperiksa karena kami tahulah warga desa sebelah. Cukup kepala kampung yang beritahu saya, insya Allah tak perlu diperiksa. Petugas juga mengerti,” kata Pani.

Sekilas suasana Teluk Melano tidak berbeda dengan kampung di nusantara. Setiap rumah saling berdekatan. Hanya model rumahnya yang khas Melayu, berlantai dua dengan pusat  keluarga di lantai atas. Penduduknya sekitar 300 orang dengan pekerjaan berkebun dan melaut.

Energinya memakai tenaga surya. Tak salah bila tiang-tiang tinggi dijumpai di tiap sudut rumah warga. Untuk mendukung informasi warga, pemerintah menyiapkan satu unit internet gratis di rumah kepala kampung. Dari situlah, warga boleh mengakses informasi dari luar.

Meskipun jauh dari Lundu, salah satu ibukota kabupaten di Serawak, kebutuhan utama Teluk Melano terpenuhi. Setiap bulan, pemerintah Serawak mengirim logistik ke Teluk Melano melalui laut dan udara. “Biasa pakai helikopter membawa kebutuhan kami,” papar Pani. (*)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Paling Enak Menginap di Camping Ground


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler