jpnn.com - Berbekal koper berisi keperluan seadanya, Ginan (vokal), Andre (gitar), Icad (gitar), Pengex (bas), Sani (drum), dan Vincent (manajer) terbang ke Benua Biru untuk menjalani tur Eropa.
Jangan bayangkan tur mereka seperti tur band-band besar. Tur mereka jauh dari kemewahan. Mereka ke mana-mana menggunakan mobil van.
BACA JUGA: Heboh Pemuda Desa Nikahi Dua Wanita Sekaligus
ANDRA NUR OKTAVIANI, Jakarta
Jeruji, band hardcore punk asal Bandung, tur di 20 kota di 7 negara nonstop selama 25 hari, pada 7 April–1 Mei lalu.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Salat di Musala Kecil Ini, 2 x 3 Meter
Tujuh negara tersebut adalah Prancis, Belgia, Hungaria, Republik Ceko, Austria, Jerman, dan Polandia. Kota-kota yang mereka singgahi dalam tur itu, antara lain, Paris, Mons, Nantes, Budapest, Esztergom, Veszprem, Ostrava, Brno, Chojonice, Gdynia, Karlovy Vary, Jirkov, Dresden, Prague, Vienna, Plzen, Liberec, Leper, dan Bailleul.
Perjalanan berkeliling Eropa dalam 25 hari itu bukanlah perjalanan singkat. Terlebih karena mereka menjalani tur Eropa dengan road trip.
BACA JUGA: Pernah jadi Ajudan Prabowo, AKP Nanda Diana Ceritaâ¦
Untuk transportasi keliling Eropa, mereka tidak menggunakan pesawat, kereta, atau bus. Tetapi van sewaan yang dikendarai sendiri.
Kendaraan yang mereka sewa pun termasuk van yang paling murah. Harga sewanya EUR 60 atau sekitar Rp 875 ribu per hari. Mereka mendapatkannya di Slovakia.
Setidaknya, mereka melakukan perjalanan sejauh 8.900 kilometer untuk konser dari satu kota ke kota lain. Dari satu negara ke negara lain.
Karena itu, mereka harus melakukan persiapan jauh-jauh hari sebelum terbang ke Eropa agar tur bisa berjalan dengan lancar.
Memang, kata Ginan, mereka sempat browsing mengenai lokasi-lokasi manggung. Namun belum detail.
’’Kami tahu akan berangkat itu 12 jam sebelum terbang. Ah, sudah enggak tahu itu mau ngapain. Packing saja asal yang terlihat. Enggak mikirin yang lain,’’ kata Ginan kepada Jawa Pos saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (16/5).
Dia bercerita, kepastian untuk tur Eropa memang baru mereka dapatkan secara tiba-tiba. Sebelumnya, mereka malah sempat ragu apakah jadi berangkat atau tidak.
’’Jam 9 malam, kami dikabari besok harus berangkat. Pesawat jam 9 pagi. Kami seperti bermimpi,’’ ungkapnya.
Untung, dokumen yang dibutuhkan sudah mereka siapkan jauh-jauh hari. Misalnya, visa Schengen dan SIM internasional. Selain visa, SIM internasional jadi penting karena mereka mengendarai kendaraan sendiri selama tur.
Ginan menyatakan, tur Jeruji kali ini bisa dibilang tur penuh perjuangan. Perjuangan untuk bertahan hidup di negeri yang sangat asing bagi mereka.
Promotor yang mengundang Jeruji untuk manggung di Eropa, Deathnoise Production asal Republik Ceko, memang memberikan fasilitas. Namun terbatas.
’’Kami dikasih tempat untuk manggung, fee manggung dari tiket, tempat untuk tidur di rumah promotor atau hostel, dan makan. Selebihnya, kami yang menyiapkan sendiri. Termasuk transportasinya,’’ ungkap Ginan.
Mereka memilih mobil van karena harga sewanya paling murah jika dibandingkan dengan menggunakan pesawat, kereta, atau bus. Untuk moving juga lebih praktis.
Hanya, Jeruji harus extra-effort untuk mengendarai van melintasi kota-kota antarnegara yang sama sekali belum dikenal. Mereka kendarai sendiri. Mereka tidak punya dana untuk menyewa sopir.
Vincent menambahkan, untuk mencapai jarak sekitar 8.900 km itu, para personel Jeruji harus bergantian menyetir.
’’Paling sering sih Sani dan Ginan yang memang kuat menyetir lama. Pengex spesialis nyetir malam. Sedangkan Icad khusus dalam kota karena tidak tahan nyetir lama,’’ jelas Vincent.
Menyetir jauh, kata Ginan, bukan tanpa tantangan. Di Eropa, jalanan lurus dan panjang adalah hal biasa. Bisa 30–40 kilometer sendiri. Dan itu menjadi tantangan bagi para personel Jeruji. Selain harus bisa membaca peta (GPS), mereka harus tahan kantuk.
’’Ada satu rute yang mesti kami tempuh selama 24 jam sejauh 1.800 kilometer. Dari Nantes di Prancis ke Budapest, Hungaria. Kami melewati Belgia, Jerman, Austria. Edan teuing (gila banget, Red),’’ kata Ginan.
Tantangan lain adalah rute perjalanan yang harus dilalui. Karena sama sekali tidak tahu jalan, global positioning system (GPS) menjadi satu-satunya andalan mereka. Pernah sekali waktu GPS mereka mati di tengah jalan karena kehabisan baterai.
’’Kami panik banget. Sama sekali enggak tahu jalan. Jadi, selama GPS di-charge biar nyala lagi, kami memilih untuk berhenti. Daripada nyasar dan malah makin bingung,’’ ungkap Ginan.
Kepanikan karena GPS mati bukan satu-satunya pengalaman kurang mengenakkan sepanjang perjalanan Jeruji. Mereka juga hampir ditahan polisi Polandia karena tidak bisa membayar bensin.
Ginan menceritakan, saat itu mereka harus mengisi bensin untuk melanjutkan perjalanan. Sesampai di pom bensin, mereka mengisinya secara swalayan. Namun, mereka dibuat kaget karena saat membayar, euro yang mereka bayarkan tidak diterima.
Alhasil, Ginan dan Sani harus berkendara keliling kota untuk mencari tempat penukaran uang lebih dahulu. Sementara itu, personel lainnya ditinggal di pom bensin sebagai jaminan.
Sesampai Ginan dan Sani di pom bensin lagi, teman-teman mereka sudah ’’ditemani’’ polisi. Tidak mengherankan mengingat penampilan mereka layak dicurigai.
’’Kami membawa mobil Slovakia, berada di Polandia, dan isinya orang Asia. Kalau bukan karena faktor luck (keberuntungan, Red), kami belum tentu bisa selamat. Ini kejadian yang paling berkesan bagi kami,’’ ungkap Ginan, lalu tertawa.
Dia menambahkan, selama 25 hari berada di Eropa, dirinya dan teman-teman sangat jarang bisa makan nikmat. Mereka lebih sering makan kenyang untuk menjaga stamina.
Sehari-hari, roti menjadi makanan pokok mereka. Kadang, kalau sudah bosan dengan roti tanpa rasa, para personel Jeruji mengeluarkan senjata andalan mereka. Yakni abon.
’’Kadang makanan di sana tidak sesuai dengan penampakannya. Seperti steak yang ternyata enggak ada rasanya. Jadi, kami campur abon. Apa saja kami campur abon biar ada rasanya,’’ tutur Sani, sang drumer, yang sengaja membawa bekal abon dari rumah.
Di beberapa kota di Eropa memang sudah ada restoran Indonesia. Sayang, restoran-restoran Indonesia itu hanya ada di kota-kota besar. Sementara itu, Jeruji kebanyakan tur di kota-kota kecil. Jika sudah kangen berat masakan Indonesia, Ginan cs punya trik.
’’Kami biasanya datang ke KBRI. Pura-pura minta air panas buat bikin popmi. Orang KBRI biasanya langsung trenyuh dan malah menyiapkan nasi untuk kami. Alhamdulillah, nasi,’’ ungkap Ginan, lalu tertawa.
Bisa manggung di Eropa sudah pasti menjadi kebanggaan tersendiri bagi Jeruji. Namun, ternyata ada hal lain yang membuat mereka lebih bangga.
Ginan menyatakan, jika kebanyakan penonton penyanyi pop Indonesia yang manggung di luar negeri adalah WNI yang bermukim di negara tersebut, Jeruji berbeda. Penonton mereka umumnya warga setempat yang gemar musik hardcore.
Menurut Ginan, sambutan penggemar musik hardcore Eropa begitu meriah. Bukan panggung besar memang. Hanya panggung kecil di bar yang jadi tempat mereka perform.
Penontonnya pun secara jumlah tidak banyak, hanya 20–60 orang. Tapi, itu sudah memenuhi seantero bar. Jeruji selalu mendapat kehormatan main terakhir setelah band-band hardcore punk Eropa tampil.
’’Kami biasanya dapat giliran tampil jam 10 malam. Kami bawain 8–10 lagu seperti Bandung Pride, Lawan, Salam Pebebasan, dan Revolusi Sunyi. Biasanya lagu Bless The Punk jadi lagu penutup kami,’’ kata Vincent.
Para penonton tidak sungkan untuk ikut bernyanyi, berteriak, dan bahkan bergoyang bersama Jeruji. ’’Padahal, kebanyakan lagu kami berbahasa Indonesia. Beberapa bahasa Inggris. Tapi, mereka juga tidak mengerti liriknya,’’ ungkap Ginan yang mengaku masih terheran-heran dengan sambutan penonton yang luar biasa itu.
Jika dibandingkan dengan band hardcore punk Eropa, Jeruji boleh diadu. Buktinya, banyak orang yang awalnya memandang sebelah mata Jeruji, tapi malah terkagum-kagum setelah melihat performance mereka.
’’Mereka malah bilang kami enggak cocok manggung di bar. Kami kelasnya sudah festival. Bukan bar lagi,’’ cerita Vincent.
Setelah Jeruji selesai manggung, crowd ternyata tidak bubar begitu saja. Mereka menunggu Jeruji untuk bisa menyapa, berkenalan, dan mengobrol dengan bahasa Inggris seadanya. Tidak sedikit juga yang meminta tanda tangan dan kenang-kenangan dari Jeruji.
’’Katanya untuk bukti kalau nanti kami main di festival, mereka akan dengan bangga bilang sudah pernah menonton pertunjukan kami di bar,’’ tutur Vincent.
Menurut Ginan, apresiasi penggemar musik di Eropa patut diacungi jempol. Tidak hanya datang untuk menikmati musik, mereka juga menginginkan merchandise dari Jeruji.
Andre, sang gitaris, mengakui hal tersebut. Menurut dia, hal itu tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dari 100 keping CD, 100 T-shirt, dan 20 topi, semua ludes di kota keempat. Yang tersisa hanya stiker yang memang sengaja mereka bagikan gratis.
’’Mereka kalau sudah suka performance satu band, mereka harus mendapatkan merchandise dari band tersebut. Bahkan, ketika merchandise kita habis, song list kita saja sampai diambil,’’ jelas Andre, lantas terbahak. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bukan Mak Erot tapi Mak Erat, Tambah Satu Sentimeter Rp 700 Ribu
Redaktur : Tim Redaksi