Dari Belajar Mengenal Kayu, Listyo Bramantyo Jadi Pembuat Bumerang

Bukan untuk Senjata, Peminatnya Justru Banyak dari Australia

Jumat, 28 November 2014 – 17:17 WIB
Listyo Bramantyo dan bumerang buatannya.Karena serat dan lekukan yang alami, bumerang buatan Listyo pernah ditaksir Rp 1,4 juta. Foto: Dewi Sarmudyahsari/Radar Jogja/JPNN

jpnn.com - Bentuk bumerang yang unik pun membuat Listyo Bramantyo kepincut. Lelaki asal Kotagede, Jogja itu lantas mempelajari seluk beluk kayu untuk mendapatkan formulasi pas membuat bumerang. Kini, bumerang buatan Listyo bukan lagi sebagai senjata, namun handycraft buatan Jogja.

DEWI SARMUDYAHSARI, Jogja

BACA JUGA: Reynaldi Saela Hakim, Penjaga Gawang Terbaik Danone Nations Cup 2014

MELEWATI jalan kecil, terletak di pojok dekat benteng peninggalan kerajaan Mataram, kediaman Listyo tak berbeda jauh dengan rumah-rumah di sekitarnya. Di rumah asri inilah bertahun-tahun dirinya memproduksi bumerang yang kini jumlahnya sudah ribuan.

Jatuh cinta pada pandangan pertama menjadi pengalaman nyata yang dialami Listyo. Dari bentuk dan juga gerakannya yang unik -karena ketika dilempar akan balik kembali ke pelemparnya- jadi tanda tanya besar bagi Listyo hingga secara perlahan menemukan jawabannya satu per satu.

BACA JUGA: Kenangan Capt Sumarwoto Menjadi Test Pilot dalam First Flight N250

“Waktu itu masih kecil. Saya cuma lihat gambarnya saja, pas sudah gede baru semakin penasaran, kok bisa benda yang sudah dilempar bisa balik lagi,” ujar Listyo di rumahnya yang terletak di Dalem RT 42 RW 10, Kotagede, Jogjakarta.

Rasa penasaran tidak hanya menjadikannya mahir main bumerang, namun juga memberikan gagasan untuk membuatnya. Terlebih, pada awal tahun 1990-an masih jarang yang menjual apalagi memproduksi bumerang di Indonesia.

BACA JUGA: Suasana Skuat Garuda setelah Dipermalukan Filipina

Karena keterbatasan bumerang untuk bisa dimiliki, Listyo yang kini memimpin Komunitas Bumerang Jogja itu akhirnya mulai membuat sendiri. Dari fase coba-coba dan gagal, hingga menemukan formulasi dan bahan yang pas.

Saat itu, tidak banyak sumber yang bisa dijadikan referensi. Listyo pun hanya mengikuti naluri dan teori. Setelah berbulan-bulan ia bisa membuat boomerang sendiri.

“Itu baru bentuk dan bisa terbang. Tapi kalau memilih kayu, saya sampai sekarang juga masih belajar, karena kontur kayu jadi dasar pembuatan bumerang. Jadi paling tidak kita harus tahu karakter tanaman,” paparnya.

Kini, kolektor tidak hanya memburu bumerang dari bahan pabrikan, tapi juga berbahan baku alami. Tapi memang tidak semua jenis kayu bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan bumerang.

Kayu kemuning, akasia, sawo, walikukun, sono-keling, dan beberapa jenis pohon yang akar maupun batang bercabangnya bisa digunakan sebagai bahan baku. Kayu solid seperti jati pun bisa. Namun, hanya akarnya yang mumpuni untuk digunakan.

Menurutnya, pohon yang biasanya tumbuh lambat dan lama biasanya bisa dimanfaatkan untuk pembuatan bumerang. Namun dari bahan baku itu, hasilnya juga bermacam-macam. Misalnya, kayu jati biasanya jadi bahan baku bumerang yang dimainkan untuk fun.

Sedangkan yang medium biasanya menggunakan akasia. Namun untuk profesional yang membutuhkan lemparan jauh, biasanya menggunakan kayu sonokeling ataupun walikukun.

“Karakter dan serat kayu sam-pai sekarang saya pelajari. Untungnya di Jogja tidak sulit menemukan bahan. Saya juga sudah memiliki kenalan di daerah Dlingo, Bantul, yang mau mencarikan kayu. Kalau cocok, ya saya beli untuk produksi,” ujar salah seorang pencetus Asosiasi Bumerang Indonesia ini.

Soal bahan baku memang tidak sulit. Untuk itu, Listyo berani menawarkan bumerang buatannya tidak hanya ke sesama teman komunitas, namun juga lewat jejaring sosial.

Masuk tahun 2008, dirinya mulai memproduksi bumerang secara intens. Setidaknya dalam sebulan ia bisa membuat 16 bumerang dari kayu, dan puluhan bumerang dari bahan pabrikan. “Kalau pembuatannya sehari jadi, apalagi yang bahan pabrikan, sehari juga bisa buat lima bumerang,” ujarnya

Namun, katanya, membuat bumerang dari bahan kayu tentu saja lebih menantang. Sebab tidak hanya harus memiliki kesabaran menunggu kayu itu kering hingga kurang lebih dua bulan, tapi juga harus teliti melihat serat. Pasalnya, semakin muncul serat maka bumerang yang jadi akan semakin indah. Apalagi bumerang dari kayu memiliki kelekukan yang alami yang terkadang membuat nilai jualnya menjadi tinggi.

Semakin hari Listyo mengaku semakin menikmati dunia bumerang ini. Apalagi, banyak orang dari negara lain yang melirik bumerang buatannya. Belum lama ini dia mengirim bumerang pesanan kenalannya di Jerman, serta negara lain seperti Jepang, Brazil, dan bahkan dari negeri asalnya, Australia.

Bumerang kayu buatannya dijual mulai dari Rp 100.000. Namun karena serat dan lekukannya yang alami, bumerang buatan Listyo pernah ditaksir hingga Rp 1,4 juta.

“Kalau pengiriman ke luar memang agak sulit, terkait pajak. Makanya saya selalu menuliskan di pengirimannya kalau ini handycraft, karena pada kenyataannya ini buat mainan dan koleksi,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini bumerang semakin diminati masyarakat, entah hanya untuk sekadar hobi melempar maupun koleksi. Imej bumerang sebagai senjata lama kelamaan telah terkikis. Tak jarang rumahnya dikunjungi mereka yang tertarik untuk belajar membuat bumerang.

“Sampai sekarang saya ber-sama asosiasi juga masih berju-ang untuk diakui KONI, karena di asosiasi dunia saja ini sudah diakui. Itu yang saya dan teman-teman sedang perjuangkan,” ungkap Listyo. (*/laz/ong/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dosen Gizi UI Ciptakan Biskuit untuk Bantu Balita Gizi Buruk


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler