jpnn.com - Penelitian Dr Fatmah tentang makanan alternatif untuk anak kurang gizi tidak berakhir di laci meja kerja saja. Dia melanjutkan penelitian itu dengan menciptakan biskuit kurma yang diyakini bisa membantu balita kurus dan pendek.
Laporan M. Hilmi Setiawan, Jakarta
BACA JUGA: Ratu Tisha Destria, Alumnus FIFA Master 2013 dan Co-Founder LabBola
SELAIN berprofesi dosen ilmu gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Dr Fatmah kini punya kesibukan yang cukup menyita waktu. Dia sekarang punya ’’perusahaan’’ biskuit hasil pengembangan lebih lanjut penelitiannya tentang kurma.
Maka, Fatmah pun mulai dikenal sebagai pengusaha UKM (usaha kecil dan menengah) di bidang makanan alternatif. Khususnya untuk konsumsi anak-anak di bawah lima tahun (balita) yang kekurangan gizi. Dia juga aktif mengikuti berbagai aktivitas yang terkait dengan pengembangan UKM di Jakarta.
BACA JUGA: Perjalanan Ockto Ryanto Parlaungan Mengejar Cita-Cita Jadi Komikus
Misalnya, yang dia ikuti di Carrefour Cempaka Putih, Jakarta, Kamis (20/11). Dengan bersemangat, Fatmah mengikuti pelatihan tentang pengawasan obat dan makanan serta pelatihan pemasaran online seharian penuh itu.
’’Pesertanya para pelaku UKM di Jakarta dan sekitarnya,’’ ujarnya ketika ditemui saat break pelatihan yang diprakarsai Pemerintah Provinsi DKI tersebut.
BACA JUGA: Si Anak itu Memeluk dan Berbisik, Ibu Guru Sayang
Fatmah mengaku senang mengikuti pelatihan-pelatihan pengembangan UKM agar usahanya di bidang biskuit kurma cepat berkembang. ’’Dengan biskuit ini, saya ingin membantu masyarakat yang memiliki balita kurang gizi. Sebab, biskuit ini baik untuk balita yang kurus dan pertumbuhannya lambat,’’ jelas perempuan kelahiran Jakarta, 23 November 1969, itu.
Fatmah lantas mengeluarkan empat varian biskuit kurma yang diproduksi masal sejak tahun lalu itu. Empat varian tersebut adalah Biskuit Temma (tempe dan kurma); Biskuit Catemma (tepung mocaf, tempe, dan kurma); Biskuti Bisma (tepung terigu dan kurma); serta Biskuit Caromma (tepung mocaf, tepung kacang koro pedang, dan kurma). Di stannya, dia menyertakan brosur-brosur promosi tentang keunggulan biskuit produknya itu. Yakni, selain mengandung gizi tinggi, jika dimakan secara rutin, biskuit kurma bisa menjadi makanan alternatif bagi anak balita.
’’Stok produksi saya di rumah sedang habis. Jadi, ini tadi saya beli kembali di Carrefour,’’ kata istri Yusran Nasution itu.
Fatmah terpaksa membeli kembali biskuit yang telanjur dipajang di pasar swalayan karena beberapa pekan terakhir permintaan pelanggan dari luar kota terus bertambah. Karena itu, dalam waktu dekat, ibu Fahran dan Reyhan tersebut meningkatkan produksi biskuit penuh gizi itu. Selama ini, sekali produksi, hasilnya mencapai 1.000 bungkus untuk masing-masing varian biskuit. Produksi masal terakhir dilakukannya Agustus lalu.
’’Modal awal saya hanya sekitar Rp 10 juta. Sekarang omzetnya terus bertambah,’’ tuturnya.
Dia memang belum bisa memproduksi rutin setiap hari karena kesibukan lain sebagai dosen dan peneliti. Yang bisa dilakukannya adalah memproduksi dalam jumlah banyak sekalian, lalu menjualnya sampai habis. Untungnya, masa kedaluwarsa biskuit kurma tersebut sampai setahun. Karena itu, Fatmah tidak begitu khawatir produknya akan cepat basi atau tidak layak makan.
Doktor ahli gizi lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menjelaskan, ide membuat biskuit bergizi dengan kandungan kurma dan tempe tersebut muncul pada 2010. Saat itu, Fatmah mendapat dana hibah proyek penelitian dari Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Nilai bantuan penelitian tersebut lumayan besar, yakni Rp 50 juta.
Ide penelitian itu muncul ketika dia mengetahui bahwa di kota tempatnya tinggal, Depok, Jawa Barat, ternyata angka bayi kurang gizi masih cukup banyak. Dia kemudian mencari solusi agar bisa membantu masyarakat setempat. Dari situlah, Fatmah lalu melakukan penelitian makanan alternatif yang bisa membantu bayi dan anak balita yang kekurangan gizi.
Fatmah lalu mengambil sampel 50 anak balita di Kelurahan Mampang, Kecamatan Pancoran Mas, kawasan dengan anak balita gizi buruk paling banyak. Sampel itu dibagi menjadi dua kelompok dengan penanganan yang berbeda-beda. Yaitu, penanganan kontrol dan penanganan intervensi.
’’Penelitian kepada balita kurang gizi itu saya lakukan selama tiga bulan,’’ kata alumnus S-1 dan S-2 UI tersebut.
Anak balita yang masuk kelompok penanganan kontrol diberi Biskuit Temma. Anak balita yang masuk kelompok pananganan intervensi mendapat varian Biskuit Catemma. Hasilnya, berat badan anak balita yang masuk kelompok intervensi bertambah lebih besar daripada kelompok kontrol.
’’Pertambahan berat badannya bisa sampai 0,4 kg. Jadi, untuk efek peningkatan berat badan, Biskuit Catemma memiliki efek lebih besar ketimbang Biskuit Temma,’’ jelasnya.
Pengukuran juga dilakukan untuk efek peningkatan tinggi badan. Menurut perempuan yang menjadi dosen sejak 1995 itu, tinggi badan anak balita kelompok kontrol lebih cepat meningkat daripada kelompok intervensi. Pertambahan tingginya bisa sampai 1,7 cm lebih cepat jika dibandingkan balita kelompok intervensi. Dengan kata lain, untuk tujuan menggenjot peningkatan tinggi balita, Biskuit Temma lebih efektif.
Sebagai ahli gizi, Fatmah menjelaskan, gabungan kandungan gizi di tempe dan kurma efektif untuk merangsang peningkatan tinggi badan. Sebab, tempe mengandung protein dan zat besi, sedangkan kurma kaya akan kandungan kalori dan lemak.
Selama penelitian, Fatmah perlu blusukan ke beberapa posyandu untuk memeriksa anak-anak balita sampelnya. Selain itu, dia berkunjung ke beberapa rumah warga yang anaknya belum rutin diikutkan kegiatan di posyandu. ’’Awalnya, tidak semua balita mau makan biskuit ini. Jadi, ada yang dilumatkan dulu dengan air atau susu,’’ ujarnya.
Setelah mengetahui efek biskuitnya cukup signifikan terhadap perbaikan gizi balita, Fatmah berkomitmen memproduksinya secara masal. ”Saya ingin membantu negara,” katanya.
Pada awal usahanya, Fatmah berkongsi dengan supplier selai kurma. Tetapi, perlahan dia mengupayakan selai kurmanya sendiri. Akhirnya, pada 15 Januari lalu dia mulai memproduksi dengan bendera UKM sendiri. Hal itu juga dimaksudkan agar dia bisa memasarkan biskuit tersebut secara luas.
Memang sebelumnya dia terpaksa memasarkan biskuit itu dengan menggunakan sistem penjualan tradisional. Misalnya dengan menitipkan ke warung-warung maupun toko-toko kecil di sekitar kampungnya.
Tetapi, kini biskuit buatan Fatmah sudah merambah minimarket dan supermarket di kawasan Jakarta. Antara lain Carrefour Lebak Bulus, M.T. Haryono, dan Cempaka Putih serta Mal Kota Kasablanka. Selain itu, biskuit bergizi tinggi tersebut dijual di gerai 7-Eleven Tugu Tani dan gedung Smesco di Jalan Gatot Subroto.
Selain di toko-toko, biskuit kurma yang diklaim pertama di Indonesia itu juga menjadi langganan beberapa pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Salah satunya Puskesmas Depok Jaya. ”Puskesmas ini memesan rutin 40 bungkus Biskuit Temma setiap bulan,” jelas peneliti terbaik kedua se-UI pada 2012 itu.
Secara rutin, Fatma juga menggali respons balik dari puskesmas. Sebagian respons bersifat positif. Misalnya, ada dampak kenaikan berat dan tinggi badan balita yang diintervensi.
Menurut dia, kasus kurang gizi di Indonesia lebih disebabkan faktor ekonomi keluarga. Misalnya, kurangnya asupan gizi selama ibu mengandung. Juga pemberian ASI eksklusif yang tidak sesuai anjuran serta makanan pendamping ASI (MPA) yang tidak cukup gizi. ”Jadi, dengan harga biskuit yang terjangkau, saya ingin membantu peningkatan gizi masyarakat,” jelasnya. (*/c11/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kegigihan Edi Priyanto, Demi Cita-Cita Setiap Hari Tempuh 12 Km dengan Kursi Roda
Redaktur : Tim Redaksi