Dari Gedung Penuh Polisi Khusus, Tiongkok Tepis Isu Penindasan Muslim Uighur

Selasa, 29 Desember 2020 – 05:01 WIB
Pelajar dari etnis Uighur mempelajari Alquran dan Hadis di Institut Islam Xinjiang, Kamis (03/01/2019). Lembaga tersebut difasilitasi pemerintah Tiongkok untuk mencetak para imam yang bebas dari pengaruh radikalisme dan ektremisme. Foto: ANTARA/M. Irfan Ilmie

jpnn.com, BEIJING - Sepanjang tahun 2020, Pemerintah Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR) menggelar sedikitnya 20 kali konferensi pers, baik dengan media lokal maupun media asing.

Dua bulan hingga berakhirnya tahun 2020, jumpa awak media lokal di Urumqi, Ibu Kota Xinjiang, dan perwakilan media asing di Beijing secara virtual makin diintensifkan.

BACA JUGA: Amerika Haramkan Impor Kapas dari Perusahaan yang Mempekerjakan Muslim Uighur

Meskipun digelar secara terbuka, konferensi pers tersebut terkesan eksklusif karena di setiap kegiatan virtual jumlah perwakilan media asing dibatasi.

Tempatnya pun tidak di Pusat Pers Internasional (IPC) seperti konferensi pers reguler yang digelar setiap sore, melainkan di gedung utama Kementerian Luar Negeri China (MFA) yang setiap pintu gerbangnya dijaga ketat dua sampai tiga personel Wujing, semacam polisi khusus.

BACA JUGA: Diserang soal Muslim Uighur, Tiongkok Ungkit Dosa Tentara Australia di Afghanistan

Oleh karena tempat acara yang tidak seperti biasanya, maka ANTARA sempat kecele setelah tidak mendapati aktivitas apa pun di IPC pada 18 November 2020.

Setelah mendapatkan laporan dari petugas penjagaan, staf khusus IPC akhirnya menjemput ANTARA dari IPC menuju gedung utama MFA yang bejarak sekitar 350 meter.

BACA JUGA: Tokoh Muslim Uighur Buka-bukaan kepada Media Asing, Ada Pengakuan Mengejutkan

Terlihat di layar kaca berukuran lebar beberapa pejabat XUAR sudah duduk di tempat yang disediakan di Urumqi sana.

Beberapa detik setelah ANTARA menempati kursi yang disediakan di salah satu ruang rapat kecil di MFA, Deputi Direktur Jenderal Publikasi Partai Komunis China (CPC) Daerah Otonomi Xinjiang Xu Guixiang membuka konferensi pers dari Urumqi pada petang hari itu.

Demikian pula dengan konferensi pers pada 27 November dan 9 Desember digelar di tempat yang sama.

Hanya konferensi pers terakhir yang digelar pada 21 Desember 2020 tempatnya kembali ke IPC karena media asing yang hadir jumlahnya puluhan tidak seperti tiga kali konferensi pers sebelumnya yang hanya mengundang tiga perwakilan media asing di Beijing.

Pada kesempatan yang terakhir, tidak saja pejabat XUAR, melainkan juga ada tokoh agama Islam, warga etnis minoritas Muslim Uighur, para lulusan kamp vokasi, dan masyarakat biasa turut memberikan pernyataan pers.

Mereka menempuh perjalanan lebih dari 3.000 kilometer dari daerahnya menuju Beijing untuk bertatap muka secara langsung dengan pewarta dari berbagai negara di Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.

Padahal saat itu sedang ada temuan kasus baru COVID-19 di Turban, salah satu daerah tingkat II di Xinjiang.

Mereka yang berasal dari berbagai kota di Xinjiang tersebut memberikan testimoni mengenai situasi terkini di daerahnya didukung dengan potongan gambar video yang disiapkan sebelumnya.

Tentu saja mereka dalam memberikan testimoninya dengan menggunakan bahasa Uighur dan Kazakh itu didampingi oleh Xu Guixiang dan Ilijan Anayat selaku juru bicara XUAR sekaligus Deputi Direktur Jenderal Front Serikat Kerja CPC Xinjiang.

Hampir semua topik yang disuguhkan dalam konferensi pers berkala tersebut bertujuan untuk menangkal berbagai tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia, mulai dari pembatasan aktivitas harian masyarakat Xinjiang, khususnya etnis Uighur, kamp vokasi, genosida, hingga kerja paksa di berbagai sektor industri.

Tidak ada yang baru terkait isu-isu tersebut, apalagi dalam berbagai kesempatan XUAR dan jubir MFA di Beijing juga beberapa kali menyampaikan bantahan dan tanggapan.

Yang terlihat berbeda adalah cara XUAR menyajikan jawaban dan tanggapan atas isu-isu yang berkembang tersebut.

Hampir setiap sanggahan disertai dengan tayangan video yang durasinya bervariasi, antara 2 hingga 5 menit.

Salah satunya adalah tanggapan mengenai pembongkaran sejumlah masjid dan aktivitas ibadah umat Islam di daerah paling barat daratan China yang berbatasan langsung dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kirgizstan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan itu.

Beberapa tayangan video menunjukkan pembongkaran bagunan masjid lama untuk direnovasi secara total hingga menjadi bangunan baru di Kota Urumqi dan beberapa daerah tingkat II lainnya, seperti Kashgar dan Hotan.

"Masjid ini pertama kali dibangun pada tahun 1848 di atas lahan seluas 4.816 meter persegi dan luas bangunan 2.376 meter persegi. Masjid ini dua kali direnovasi pada 1997 dan 2019 atas bantuan pemerintah. Sekarang masjid ini menjadi terang-benderang, luas, bersih, dan nyaman. Juga dilengkapi AC, penghangat ruangan, dan pemanas air," kata Abulhasan Tursunniyaz, khatib Masjid Jamik Kota Hotan, memberikan narasi tayangan suasana masjidnya pada konferensi pers 9 Desember 2020.

Suara azan, aktivitas jamaah shalat di sejumlah masjid di Xinjiang ditingkahi seruan takbir imam juga sudah bukan hal yang tabu lagi untuk ditayangkan.

Setidaknya China di bawah rezim Xi Jinping juga mulai sadar bahwa Xinjiang bukan lagi sekadar halaman belakang, melainkan beranda terdepan yang harus dirawat agar terlihat ramah bagi siapa pun.

Xinjiang harus didesain sedemikian rupa agar menjadi etalase kerukunan antar-umat beragama dan antar-etnis di China agar sejarah kelam terkait konflik horisontal, kemiskinan, diskriminasi, dan pelanggaran HAM tidak terulang.

Perbaikan taraf hidup masyarakat Xinjiang juga tidak boleh diabaikan untuk menjawab tuduhan-tuduhan mengenai kerja paksa.

Retorika saja tidak cukup meyakinkan tanpa dibarengi bukti nyata bahwa memang taraf hidup beberapa suku minoritas di Xinjiang membaik agar program kamp vokasi selama periode 2017-2019 benar-benar memberikan nilai manfaat bagi penghuninya.

XUAR menyajikannya secara visual kesibukan beberapa mantan penghuni kamp di dunia kerjanya yang baru, seperti menjadi pedagang daring, pramuniaga perusahaan otomotif, pelayan hotel, petani, peternak, dan lain-lain.

Model penyajian seperti itu menunjukkan adanya kemajuan, namun bukan berarti pekerjaan rumah bagi Beijing dan Urumqi akan tuntas.

Isu-isu HAM di Xinjiang dipastikan akan terus menjadi sorotan dunia internasional. Perang dagang China-Amerika Serikat boleh saja mereda, namun isu-isu Xinjiang, Tibet, Hong Kong, Selat Taiwan, dan Laut China Selatan masih akan terus mengemuka.

Tentu saja isu-isu tersebut mempertaruhkan reputasi China sebagai anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa periode 2021-2023.

Inilah salah satu alasan, kenapa XUAR sangat defensif atau malah lebih agresif dalam menghadapi isu-isu miring tentang HAM di daerah yang mayoritas penduduknya beretnis Muslim Uighur itu.

"Itulah sebabnya kami mengadakan 20 konferensi pers sepanjang tahun ini dengan mengutip banyak fakta, data kasus, dan video untuk mengungkapkan kebohongan pasukan anti-China terkait pembangunan kamp dengan tuduhan untuk menganiaya satu juta etnis minoritas, menghancurkan masjid, melembagakan kerja paksa, dan genosida secara besar-besaran," kata Xu Guixiang yang memandu jalannya setiap acara konferensi pers, baik di Urumqi maupun di Beijing. (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler