Nora Amath memiliki dua gelar pendidikan, gelar S3, dan sudah tinggal di Australia sejak 23 tahun yang lalu.

Namun, masih ada orang yang memakai bahasa Inggris seadanya ketika berbicara dengannya, atau berasumsi ia tidak berpendidikan.

BACA JUGA: Pegawai Perusahaan Australia Libur Setengah Hari untuk Melakukan Vaksinasi

Ada juga yang menganggap Nora tidak mampu bekerja atau selalu "diperintah oleh suaminya".

Kenyataannya, dr Nora berasal dari keluarga dengan garis keturunan matriarki Muslim Chams, kelompok minoritas di Asia Tenggara.

BACA JUGA: Indonesia Belum Putuskan Kelanjutan PPKM Darurat, Padahal Jumlah Kematian COVID-19 Mencapai Rekor Tertinggi

Ia telah mengajarkan tentang kewenangan pada anak perempuannya, sama seperti yang dilakukan sang ibu padanya.

Walau mengenakan hijab sebagai "ekspresi kepercayaan" dan simbol pemberdayaan, stereotip dan diskriminasi masih dialaminya.

BACA JUGA: Keluarkan Biaya Puluhan Juta Lebih, Warga Indonesia Berlibur Sekaligus Vaksinasi Gratis di Amerika Serikat

"Perempuan Muslim yang dapat dikenali sebagai Muslim seperti saya ini mengalami paling banyak peristiwa Islamofobia."

Dr Nora pernah mengalami situasi menantang ketika menjabat sebagai staf senior di IWAA, komunitas dalam negeri dan organisasi pendukung pengungsi yang dipimpin oleh perempuan Muslim.

Pernah sekali ia diberhentikan pengunjuk rasa ketika berbicara di acara lintas agama dan disoraki "kata-kata kasar".

Ia juga pernah diberhentikan ketika sedang memberikan pelatihan kepada pengungsi yang baru pindah ke daerah baru tentang kepercayaan dan kebiasaan Islam.

"Mereka menghambat pergerakan saya untuk mengajar karena saya terus dihina dan dikata-katai. Sampai harus didampingi polisi," katanya.

Dalam Survei Australia Talks Nasional oleh ABC, 80 persen dari 60.000 warga Australia mengatakan diskriminasi merupakan masalah umum di Australia.

Sisanya mengatakan diskriminasi merupakan masalah yang pernah dialami mereka sendiri.

Orang yang berlatarbelakang ras non-Eropa lebih banyak menerima penghinaan berbau ras, sementara 79 persen lainnya mengaku mengalami diskriminasi yang lebih "halus", seperti stereotip yang dialami dr Nora dan banyak perempuan Muslim lainnya.

"Sedikit menjengkelkan ketika orang-orang hanya berasumsi tentang kita karena stereotip tertentu yang sering digemborkan di politik ataupun media," katanya.

Walau dua pertiga populasi Muslim berasal dari Asia, dr Nora mengatakan Islam sering disalahpahami sebagai agama yang "monolitis" atau agama Timur Tengah.

Di Australia, komunitas Muslim datang dari segala penjuru bumi, dengan etnis, kebudayaan, bahasa, dan kepercayaan yang berbeda-beda.

Keberagaman ini hadir dalam dua cabang pengajaran Islam, Sunni dan Shia, yang memiliki kebiasaan dan tradisi berbeda.

Ada juga lahir dalam keluarga Islam, namun ada juga yang pindah agama karena pilihan pribadi. Muslim Aborigin di Australia

Salah satu kelompok Muslim pertama yang menetap secara permanen di Australia adalah penunggang unta dari Afghanistan di tahun 1800-an.

Mereka bekerja di daerah pedalaman dan bergaul dengan warga Aborigin.

Salah satu dari mereka adalah kakek Shahnaz Rind, perempuan Yamatji Aborigin berusia 28 tahun yang lahir sebagai seorang Muslim.

Kakek moyangnya membantu membangun salah satu masjid di Perth.

"Kadang, tidak mudah jadi Muslim Aborigin. Masih suka didiskriminasi," katanya.

Ketika pertama kali memberitahu pada teman kerjanya bahwa ia adalah seorang Muslim, "mereka semua terkejut".

"Orang Aborigin yang beragama Islam jarang terdengar ... Islam adalah agama, sama halnya dengan Kristen. Sama halnya dengan keturunan Yahudi, Aborigin mengalir dalam darah dan adalah siapa kita sebenarnya," katanya.

"Aborigin adalah siapa saya dan Islam adalah agama saya. Iman dan kepercayaan."

Menurut sensus Australia tahun 2011, 1.140 warga menyatakan dirinya sebagai Muslim Aborigin. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dari sensus tahun 2001.

Ayah Shahnaz merupakan keturunan Yamatji di Australia Barat, sementara ibunya merupakan keturunan Balochi, etnis minoritas di perbatasan antara Pakistan, Iran, dan Afghanistan.

Ia mengatakan kebudayaan Aboriginnya kadang "sejalan" denagn kepercayaan Islamnya. Perpecahan Sunni dan Shia

Halim Rane, suami dr Nora Amath, adalah profesor Studi Islam di Griffith University, yang khusus mempelajari pemikiran Islam kontemporer dan komunitas Muslim di daerah Barat.

Ia mengatakan pemberitaan media yang terfokus pada pemikiran radikal dan ekstremis, serta wacana politik seringkali memperdalam stereotip Muslim.

Namun bahkan dalam komunitas Muslim sendiri, ketegangan akibat konflik etnis dan agama dari negara asal masih menghantui.

Walau perpecahan antara Sunni dan Shia menurut catatan sejarah telah menimbulkan banyak konflik, dr Halim mengatakan keduanya "tidak jauh berbeda dalam hal kepercayaan atau ibadah".

"Ada perbedaan di kalangan Sunni yang sama besarnya dengan perbedaan antara Sunni dan Syiah," katanya.

Menurutnya, perpecahan Sunni-Shia terjadi akibat perdebatan pemimpin pengganti nabi Muhammad setelah meninggal dunia. Inilah mengapa alasannya lebih bersifat politik daripada agama.

Muslim Shia percaya bahwa nabi Muhammad memilih Ali, menantu dan sepupunya serta keturunannya dipilih sebagai penerus, sementara Sunni percaya bahwa sahabat nabi Muhammad adalah penerus yang sah. 

Walau pengajaran ini berdasarkan pada kitab suci Al Quran, interpretasi yang berbeda kadang menimbulkan konflik.

Di Afghanistan, etnis minoritas Hazara, yang didominasi kalangan Shia, sering dianiaya oleh Taliban, yang adalah Muslim Sunni.

Banyak pengikut dua aliran ini pindah ke Australia sejak tahun 2001 ketika penyerbuan Amerika Serikat di Afghanistan terjadi.

Kebanyakan anggota komunitas Hazara menempati daerah pedalaman Australia.

Zahra Haydar Big, pemimpin terkemuka di komunitas Hazara di Shepparton mengatakan ayahnya "mengorbankan hidupnya" untuk membawa keluarganya ke Australia.

Di tahun 2000, setelah akhirnya tiba dari Afghanistan dengan naik perahu,  istri dan anaknya menyusul di tahun 2008. Namun setelah hanya beberapa tahun bersama, ia meninggal dunia karena kanker usus.

"Ia membawa kami ke Australia, mempertaruhkan nyawanya, namun bersyukur bisa tiba di Australia dan tidak meninggal di laut," katanya.

Zahra mengatakan di Shepparton terdapat setidaknya 400 keluarga Hazara.

Dibantu layanan lokal yang ada, ia berniat untuk meruntuhkan stigma tentang kesehatan mental dan memenangkan hak perempuan. Persatuan dalam komunitas Islam

Walau beberapa masjid di Australia pengajarannya termasuk kaku, Dr Halim mengatakan kebanyakan "sangat terbuka pada keberagaman".

"Pria Muslim mungkin bisa pergi ke masjid manapun dan tidak mengalami hambatan ... tapi kadang perempuan Muslim yang pergi ke masjid tidak dapat tempat, atau tidak disambut dengan baik," katanya.

"Banyak usaha yang harus dilakukan untuk mengubah hal ini, namun masalahnya masih ada."

Salah satu masjid yang anggotanya paling beragam di Australia adalah Masjid Afghan di Alice Springs.

Masjid yang dibangun oleh imigran Afghanistan dan Pakistan di Australia sejak tahun 1800-an tersebut sempat tutup waktu Perang Dunia II dan dibangun kembali tahun 1993.

Di sana, terdapat banyak jemaat dengan etnis berbeda, seperti dari Pakistan, India, Sudan, Mesir, Tanzania, Indonesia, dan Malaysia. Termasuk Aborigin, kata Imam Hamdullah Bin Ataullah.

"Jemaat berdoa dengan caranya masing-masing," katanya.

""Doa dipanjatkan menurut fikih tertentu. Jika seseorang mengikuti yurisprudensi Islam dalam doanya, pria atau perempuan, dipersilakan beribadah di sini." Pengalaman perempuan 'rambut pirang, mata biru' menjadi Islam

Dalam kalangan Sunni, Sufisme seringkali didefinisikan sebagai "jantung" pengajaran Islam, namun Sufi adalah kelompok minoritas yang sering disalahpahami.

Di Australia, paling tidak tercatat 5.000 penganut Sufi dari latar belakang kebudayaan berbeda.

Bagi Jessica Swann, warga Australia yang mualaf, ajaran Sufi adalah yang paling cocok.

Jessica yang adalah lulusan S3 menyebut dirinya "pencari kebenaran" dan mengatakan bahwa dengan mengikuti kepercayaan Muslim, ia "masih Jess yang seperti dulu", dengan "kepercayaan yang berkembang".

Jessica yang berusia 47 tahun mualaf 17 tahun yang lalu setelah pindah ke Bahrain untuk urusan pekerjaan.

Ia tertarik untuk mendalami ajaran Islam setelah muncul serangan media terhadap Muslim setelah kejadian 11 September.

Jessica meninggalkan kehidupannya di Australia, berpisah dengan tunangannya, dan mulai "mencari Tuhan".

Ia tidak pernah mempertanyakan keberadaan Tuhan, namun rindu memahami apa arti keberadaan Tuhan baginya, dan Islam, khususnya pengajaran Sufi, adalah yang paling masuk akal baginya.

"Saya tidak lari dari apapun, tidak mualaf ataupun kembali. Saya berkembang dalam sebuah perjalanan kerohanian yang menuntun pada Islam," katanya.

Walau demikian, perjalanannya sebagai seorang Muslim kian berbatu, bagaikan "keluar dari cangkang" menuju dunia luar.

"Rambut saya pirang, mata biru. Saya tidak pernah mengalami marginalisasi karena ras di negara ini," katanya.

"Salah satu tantangan terbesar sebagai Muslim Australia adalah melawan hak milik kebudayaan yang dipaksakan terhadap Islam."

Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan ABC News dalam bahasa Inggris

BACA ARTIKEL LAINNYA... Akankah Australia Terbebas dari Lockdown?

Berita Terkait