Di tengah pandemi COVID-19, tidak sedikit warga Indonesia yang tinggal dan bekerja sebagai staf internasional di negara lain terpaksa menyesuaikan diri sesuai keadaaan negara tempat mereka bekerja.

Ada yang masih bertahan di negara tempat mereka bekerja, ada pula yang pernah mengungsi ke Indonesia, atau baru bisa kembali tahun depan.

BACA JUGA: Pramugari Malindo Air Selundupkan Narkoba ke Australia

Bekti Andari asal Indonesia sekarang bekerja untuk Program Nyamuk Dunia, atau World Mosquito Program (WMP) sedang ditugaskan di Vietnam sebagai staf bagian komunikasi.

Tugasnya adalah memberikan asistensi teknis kepada mitra WMP di berbagai negara antara lain di India, Sri Lanka dan Vietnam.

BACA JUGA: Disuarakan Penolak UU Cipta Kerja, Aksi Pembangkangan Sipil Pernah Berhasil di Berbagai Negara

WMP saat ini sedang menjalankan proyek untuk memberantas nyamuk dengue dengan melepas nyamuk yang sudah ditulari bakteri Wolbachia, yang pada gilirannya akan membuat nyamuk tidak lagi memiliki dengue.

"Saya kembali ke Indonesia awal Maret ketika outbreak mulai. Kembali ke Vietnam akhir September setelah 7 bulan di Indonesia, bisa kembali karena Pemerintah Vietnam mulai membuka border untuk Indonesia dan beberapa negara lainnya," kata Bekti Andari kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya hari Kamis (8/10/2020).

BACA JUGA: Australia Mengurangi Penerimaan Pengungsi di Tengah Pandemi COVID-19

Ia mengatakan di bulan Maret, kantornya memberikan pilihan kepada staf untuk tetap berada di Vietnam atau pulang ke negara asal.

"Waktu itu bila hendak pulang [ke Indonesia], harus dilakukan secepatnya, sebelum perbatasan internasional ditutup," kata Bekti yang memiliki kantor di ibukota Vietnam Hanoi sejak tahun 2018.

"Saya memilih pulang karena kedua anak saya yang berusia 6 dan 11 tahun serta suami sudah pulang duluan di bulan Februari. Saya berhitung, jika 'terdampar' di Vietnam, dan terjadi apa-apa di salah satu dari kami, pasti akan sulit situasinya." Merasa aman kembali ke Vietnam

Sekarang Bekti dan keluarganya sudah tiba kembali lagi di Hanoi dan mulai berkegiatan seperti biasa, karena situasi COVID-19 di Vietnam sejauh ini sudah terkendali.

"Vietnam masih memberlakukan protokol COVID-19 meski dalam satu bulan terakhir tidak terjadi penularan lokal atau muncul kasus baru," kata Bekti yang lulusan Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta tersebut.

Bekti mengaku merasa aman setelah tiba di Vietnam dengan apa yang sejauh ini dilihatnya.

"Ketika pas mau berangkat saya masih khawatir juga," katanya.

Bekti mengatakan dia melihat banyak yang membuatnya terkesan dengan apa yang dilakukan pemerintah dan warga Vietnam sejauh ini untuk mencegah penularan baru COVID-19.

"Ketika kami tiba, proses sterilisasi di dalam negeri Vietnam, sangat rapi. Ground handling ketika mendarat, karantina dua minggu di hotel-hotel yang ditunjuk"

"Swab test dilakukan 2-4 kali tergantung wilayahnyam untuk memastikan kita siap dilepas ke alam bebas."

"Juga kebijakan new normal dipatuhi cukup baik. Meski sudah lebih rileks, tapi warga masih menggunakan masker di tempat umum kecuali di warung," ujar Bekti. Ketatnya Pembatasan di Kamboja Photo: Warga asal Indonesia Muhi Usamah PhD (kanan), manager pada salah satu project UNDP di Kamboja. (Supplied: Muhi Usamah)

 

Muhi Usamah kini menjadi Project Manager pada salah satu program UNDP di Kamboja. Ia menangani manajemen risiko bencana dan sistem peringatan dini di negara itu.

"PBB punya contingency plan. Kantor kami di Phnom Penh akan dibuka kembali dengan ketentuan social distancing mulai 1 November mendatang," ujar Muhi ketika dihubungi wartawan ABC Farid M. Ibrahim.

Alumni S3 dari University of Melbourne, Australia, ini bekerja untuk badan PBB tersebut di Kamboja sejak September 2017.

"Pandemi ini tentunya berdampak pada pekerjaan kami," ujarnya.

Adanya kebijaan 'zero contact' yang diterapkan Pemerintah Kamboja, kata Muhi, telah berdampak kepada proses pembejalaran yang diperuntukkan bagi aparat pemerintah setempat.

"Saya bekerja di kantor PBB dan di kantor Kementerian Sumberdaya Air dan Meteorologi di sini. Proses pemberdayaan SDM aparatur jadi terhambat karena semuanya terhenti. Kantor pemerintah ditutup dan akses konsultan untuk datang ke Kamboja juga ditutup," papar Muhi.

"Semua target tercapai, meskipun dengan delay dua hingga tiga bulan," tambahnya.

Kendala akibat pembatasan COVID-19, diatasi dengan melakukan pertemuan-pertemuan secara daring.

Namun dalam mengajarkan aspek teknis sistem peringatan dini kepada masyarakat dan mitra lokal, hal ini tidak mudah berjalan.

"Dengan masyarakat lokal, online system tidak berfungsi, makanya tidak ada cara lain kecuali delay semua pekerjaan dengan masyarakat," jelasnya.

Muhi menjelaskan, promosi program tetap berjalan melalui SMS atau telepon karena sama sekali tidak membutuhkan kontak fisik.

Menurut Muhi, Pemerintah Kamboja secara ketat menerapkan pembatasan COVID-19.

"Keluar dan masuk ke Kamboja sama susahnya, karena semua penerbangan keluar dan masuk distop," jelasnya.

Dijelaskan, untuk masuk ke negara itu, sistem 'visa on arrival' saat pandemi ini sudah tidak berlaku, selain permohonan visa mesti diajukan di kedutaan negara itu dengan syarat yang lebih ketat.

"Pas masuk di Kamboja, kita pun harus karantina. Awalnya, Kamboja memberlakukan sistem karantina 72 jam di hotel yang ditetapkan pemerintah. Lalu karatina di rumah selama dua minggu," jelasnya.

"Awalnya mesti deposit AS$3000 untuk jaminan selama di karantina. Setelah satu bulan, aturan itu diganti. Sekarang hanya dua hari di hotel dan kalau semua penumpang negatif, maka bisa karantina di rumah masing-masing," tambah Muhi. Mengungsi dari Manila ke Yogyakarta Photo: Ayun Sundari bisa merayakan hari Batik 2 Oktober setelah 'mengungsi' dari Manila ke Yogyakarta. (Foto: Supplied)

 

Bila Bekti Andari sudah kembali lagi ke Vietnam dan Muhi Usamah tetap bertahan di Kamboja, Ayun Sundari yang bekerja untuk Bank Pembangunan Asia (ADB) di Manila sekarang berada di kota asalnya, yakni Yogyakarta.

Ayun dan keluarganya akan berada di Indonesia sampai setidaknya bulan Desember.

"Rencana awal kami memang sampai Desember, namun baru saja ada pengumuman dari kantor bahwa semua kemudahan untuk kerja dari rumah akan diperpanjang sampai bulan Juli 2021," kata Ayun Sundari kepada ABC Indonesia.

Menurutnya, hampir 40 persen staf internasional ADB saat ini bekerja dari luar Manila.

Ayun mengaku keputusannya untuk 'mengungsi' ke Indonesia dibandingkan tetap bertahan di Manila dilakukan atas faktor kesehatan mental.

Dari jumlah penularan COVID-19, kondisi Filipina dan Indonesia relatif sama, dengan angka korban dan penularan masih tinggi.

"Selama pandemi dari bulan Maret sampai Agustus, kami tinggal di apartemen yang relatif kecil di Manila, sehingga pergerakan kami terbatas," kata ibu dari tiga anak, yang dua diantaranya masih tinggal dengan mereka tersebut.

Dengan kembali ke Yogya, di mana mereka memiliki keluarga besar, Ayun mengaku jika anak-anaknya bisa memiliki kesempatan bersosialisasi lebih baik.

"Namun kami tetap menerapkan semua protokol kesehatan yang kami sudah lakukan di Manila," katanya.

"Jadi ini bukan liburan, kami tidak pergi ke restoran yang ramai orang, tidak leluar rumah tanpa masker, bahkan ke rumah ibu saya di sebelah kami tetap menggunakan masker."

Ia juga mengatakan jika kegiatan yang dilakukan oleh keluarganya masih tetap sama seperti di Manila, walau sekarang tinggal di Yogya.

"Yang membedakan karena ada perbedaan waktu satu jam antara Manila dan Yogya, saya dan anak-anak harus bangun satu jam lebih awal untuk persiapan melakukan kegiatan kerja dan sekolah yang semuanya dilakukan lewat internet," kata Ayun. Kondisi di Bangkok 'Terkontrol' Photo: Dewi Ratnawulan bekerja di Rapid Asia di Bangkok Thailand. (Foto: Supplied)

 

Di ibukota Thailand, Bangkok, Dewi Ratnawulan yang bekerja di lembaga konsultasi Rapid Asia mengatakan sudah kembali bekerja normal di kantor seperti sebelum pandemi, karena pemerintah Thailand dianggap berhasil menguasai keadaan dengan baik.

"Di sini orang sudah kerja kembali, sekolah sudah buka normal.di kereta sudah boleh duduk bersebelahan, tidak ada kursi kosong," kata Dewi kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

"Tapi semua harus pakai masker. Di beberapa lembaga internasional seperti UN Women, dan ILO masih belum full, staf bisa kerja dari rumah, dan hanya 3 hari seminggu ke kantor," kata Dewi yang mengatakan kantornya sudah kerja normal sejak bulan Juni.

Dewi adalah penasehat senior masalah gender dan hak asasi manusia di Rapid Asia, sebuah lembaga yang melakukan penelitian sosial untuk berbagai lembaga internasional yang membutuhkannya.

"Saya pernah kerja dari rumah selama sebulan. Dan selama ini memang ada beberapa proyek yang ditunda dan dibatalkan, karena klien masih menunggu situasi lebih membaik lagi," katanya yang sedang menyelesaikan pendidikan di Universitas Woolongong dan University of Sydney di Australia tersebut.

"Kita juga tidak bisa keluar dari Thailand sehingga beberapa workshop dan pelatihan harus dilakukan secara virtual," kata Dewi.

"Saya juga harus membatalkan beberapa perjalanan ke Ethiopia, Mongolia, Vietnam."

Menurut Dewi, beberapa staf internasional dari lembaga lain kembali ke negara masing-masing dan sampai sekarang belum bisa kembali.

Dia mengatakan tidak pernah merasa khawatir dengan keadaan pandemi di Thailand.

"Saya tidak khawatir karena di Bangkok keadaannya terkontrol," katanya.

"Masyarakat percaya dan menurut. Pemerintah juga tanggap. Hanya waktu awal-awal sekolah tutup."

"Memang ada bisnis yang tutup. Tapi sekarang bebas bepergian di Thailand bahkan kalau tidak memesan lebih awal, banyak hotel yang penuh," kata Dewi mengenai situasi di Thailand saat ini.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Australia Umumkan Anggaran Baru, Apa Artinya Bagi Diaspora Indonesia?

Berita Terkait