Seorang ekonom yang menganalisa data COVID sejak awal pandemi memperkirakan varian Omicron akan menjadi varian terakhir yang membahayakan di negara-negara yang sudah memiliki tingkat vaksinasi tinggi.

Namun beberapa pakar di Australia masih berhati-hati dengan analisa tersebut.

BACA JUGA: Kasus Covid-19 di Sulsel Kian Mengganas, 2 Orang Penting Ini Ikut Terpapar

Pendapat tersebut disampaikan oleh ekonom bank JP Morgan David Mackie yang sudah menganalisas data statistik sejak pandemi dimulai.

"Analisa kami mengenai data dari Denmark menunjukkan bahwa mengenai varian Omicron, angka vaksinasi dan penggunaan obat-obatan anti viral sudah membuat tingkat kematian COVID sekarang berada di bawah tingkat kematian flu," katanya.

BACA JUGA: Simak 3 Alasan Mengapa IBL 2022 Kembali Bergulir Awal Maret

"Ini adalah perkembangan yang signifikan dan menunjukkan bahwa dunia sudah bisa hidup dengan COVID-19 walau masih adanya tingkat penularan yang tinggi," kata David Mackie.

 

BACA JUGA: Lestari Moerdijat Minta Pemerintah Bersinergi Cari Solusi Kebangkitan Pariwisata

Mackie mengatakan Denmark yang sudah melonggarkan semua pembatasan sejak minggu lalu akan memberikan contoh bagaimana kehidupan di masa endemi COVID menyusul masa pandemi.

Dia mengatakan tingkat kematian akibat varian Omicron (strain BA.20 adalah 0,05 persen yaitu 1 kematian dalam 2000 kasus.

Mackie mengatakan ini sama dengan angka kematian global dari influenza, yang diperkirakan memakan korban antara 0,05 sampai 0,1 persen dari mereka yang terkena.

Dan dia menambahkan bahwa tingkat kematian karena Omicron BA.2 lebih rendah lagi karena semua orang yang meninggal dalam masa 30 hari setelah hasil tes positif sekarang ini dimasukkan sebagai kematian karena COVID-19.

"Penelitian yang dilakukan University of Copenhagen menghitung bahwa 40 persen kematian minggu lalu di Denmark adalah mereka yang meninggal dengan COVID, dan bukannya mereka yang meninggal karena COVID," katanya.

"Kalau kita membuat penyesuaian, maka tingkat kematian karena BA.2 adalah antara 0,045 persen sampai 0,027 persen," tambah Mackie.

 

Dengan tingkat kematian tersebut, Mackie mengatakan bahwa COVID-19 masih akan menyebabkan jutaan orang harus dirawat di rumah sakit setiap tahunnya namun pemerintah akan meningkatkan sistem layanan kesehatan untuk mengatasi dan bukannya menerapkan pembatasan seperti lockdown untuk membatasi gerak warga. Pandangan pakar di Australia

Namun tiga pakar epidemiologi di Australia masing-masing menunjukkan keraguan atas analisa data yang dilakukan ekonom David Mackie.

Secara keseluruhan Pofessor Tony Blakely dari University of Melbourne mengatakan analisa mengnenai tingkat kematian dari Omicron BA.2 dibandingkan dengan kematian karena flu 'bisa diterima'.

Namun keraguan utamanya adalah bahwa pandemi segera akan berakhir selamanya.

Dia mengatakan kesimpulan itu diambil dengan 'asumsi bahwa varian berikutnya akan mirip dengan Omicron dengan tingkat penularan dan keganasan lebih rendah."

"Pasti akan ada varian baru," katanya.

"Varian itu akan muncul dan bisa lebih menular entah karena memang secara mendasar lebih menular atau karena bisa mengelabui vaksin.

"Namun kita tidak akan bisa mengetahui apakah akan lebih atau kurang ganas karena tidak ada proses yang bisa kita ketahui."

Masalah itu sendiri diakui oleh ekonom David Mackie dalam laporannya.

"Kalau kita mengartikan sebuah varian dominan sebgaai varian yang menyebabkan 50 persen kasus di seluruh dunia maka varian Alpha dominan selama 3 bulan, sementara varian Delta dominan selama enam bulan," kata Mackai.

"Kita masih harus melihat seberapa lama varian Omicron akan dominan dan varian baru apa yang akan muncul."

Namun Professor Blakely menambahkan bahwa ada alasan untuk optimistis bahwa varian baru akan kurang ganas dibandingkan varian sebelumnya.

"Karena setiap kali varian baru muncul, kita sebagai populasi sudah memiliki banyak vaksinasi dan juga banyak kasus sehingga tingkat penularan jadi lebih rendah," katanya.

"Sebagai contoh kalau Omicron muncul 18 bulan lalu maka akan lebih menular namun tidak seburuk Delta.

"Jadi memang wajar berpendapat bahwa varian baru di masa depan akan lebih jinak karena sudah adanya tingkat kekebalan yang terbentuk sehingga kemudian akan menjadi seperti flu biasa.

"Tetapi tidak ada jaminan hal tersebut akan terjadi. Kita bisa saja tidak beruntung dan muncul varian baru yang lebih ganas sehingga diperlukan lockdown, penggunaan masker dan juga vaksin yang lebih bagus lagi." Masih ada dampak jangka panjang terkena COVID

Selain risiko penularan karena adanya varian baru, Adrian Esterman dari University of South Australia  di Adelaide mengatakan bahwa analisa JP Morgan tersebut tidak menyebut soal dampak jangka panjang dari mereka yang terkena COVID.

"Penulis laporan melupakan long COVID. Sekitar 30 persen mereka yang terkena memiliki masalah kesehatan jangka panjang," kata Professor Esterman .

"Saya berharap artikel tersebut benar dan kita bisa masuk ke masa endemi namun saya kira itu tidak akan terjadi samai adanya vaksin generik untuk menangkal semua varian  SARS-CoV-2."

Menurut Nancy Baxter dari University of Melbourne, meski varian di masa depan lebih kurang ganas, namun karena banyaknya kasus masih akan membuat warga menggunakan masker dan mengambil jarak.

"Gelombang penularan sekarang memiliki dampak terhadap jumlah yang harus dirawat di rumah sakit dan dampak terhadap kegiatan sosial," kata Professor Baxter mengacu pada terganggunya pasok makanan dan juga jasa karena berkurangnya pekerja selama gelombang Omicron di Australia.

"Yang mungkin terjadi adalah varian baru yang akan berdampak signifikan sehingga protokol kesehatan harus diterapkan lagi," ujarnya.

"Jadi daripada kita tidak berencana apapun untuk masa depan, mengembangkan pendekatan untuk bisa mengelola bila ada varian baru dan mempertahankan prokes seperti penggunaan masker dan ventilasi yang bagus merupakan cara yang terbaik untuk bisa hidup berdampingan dengan COVID," tutur David Mackie.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

Yuk, Simak Juga Video ini!
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Waduh! Sudah Tahu Positif COVID-19, Menkes Tetap Rapat di Kantor

Berita Terkait