Daya Tahan Demokrasi Melemah di Era Presiden Jokowi

Oleh Pangi Syarwi Chaniago

Sabtu, 27 Februari 2021 – 22:50 WIB
Pangi Syarwi Chaniago. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pada era Presiden Jokowi, kualitas demokrasi menurun. Daya tahan demokrasi melemah (freedom of spech, freedom of ekspresion).

Indeks Demokrasi Indonesia di tahun 2020 mengalami penurunan versi The Economist Intelligence Unit (EIU).

BACA JUGA: Pembentukan Komponen Cadangan Berpotensi Mengancam Demokrasi dan Langgar HAM

Dalam laporan ini, Indonesia tercatat mendapatkan skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme; 7,50 untuk fungsi dan kinerja pemerintah; 6,11 untuk partipasi politik; 4,38 untuk budaya politik; dan skor 5,59 untuk kebebasan sipil.

Kita sangat berharap wacana presiden merevisi UU ITE tidak hanya sekadar basa-basi politik semata, bisa segera presiden intervensi, ditindaklanjuti partai politik keinginan presiden di DPR, sebagaimana presiden bisa intervensi pilkada ditunda 2024 lewat kaki tangan tokoh sentral ketua umum partai politik.

BACA JUGA: Wacana Masa Jabatan Presiden 3 Periode, Pengamat: Merusak Nilai-Nilai Demokrasi

Logikanya revisi UU ITE semestinya juga bisa, kalau ada yang menolak, presiden seharusnya bisa mengatasi masalah tersebut.

Sebab presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang punya legitimasi, kekuasaan dan pengaruh yang cukup kuat dalam desain sistem presidensial Indonesia.

BACA JUGA: Pangi Heran, Saat Situasi Kacau, Jokowi di Pulang Pisau

Betapa pentingnya negara menghormati hak rakyat untuk menyatakan pandangan, pikiran dan kata-katanya pada ruang ekspresi media online maupun media offline. Bahkan Freedom House dijadikan sebagai parameter pemenuhan kebebasan hak sipil dan demokrasi.

Penghormatan pada kebebasan sipil dan termasuk di dalamnya adalah kebebasan bagi kaum minoritas. Freedom House bisa memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang demokrasi dalam persimpangan jalan karena mulai tersumbatnya kanal kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan mengadakan perkumpulan.

Sistem otoriter adalah sistem yang selalu curiga pada manusia dan kebebasannya. Kalau sistem demokrasi sebaliknya negara yang terus dicurigai dan diawasi ketat oleh manusia dan kebebasannya.

Pada era presiden Jokowi yang terjadi adalah fenomena negara over dosis curiga dengan pikiran-pikiran kebebasan rakyatnya.

Presiden menjelma bagai dewa yang anti-kritik, menjadi feodal seutuhnya, masyarakat dibungkam dan kebebasan berekspresi dikebiri.

Syukur presiden sudah siuman sehingga ada niat untuk revisi UU ITE ini, tetapi apakah ini hanya sebatas dagelan politik atau panggung sandiwara belaka?

Dari awal kita sudah khawatir dengan pasal karet UU ITE yang bernafsu membungkam kebebasan berpendapat (freedom of speech) ujungnya memenjarakan pikiran sehat yang terkenal vokal mengkiritik pemerintah, sudah terlalu banyak jatuh korban ulah pasal ini.

Presiden seolah siuman setelah negara kehilangan vitamin, akibat keringnya kritik, sementara puji-pujian terhadap pemerintah mengalami obesitas.

Fenomena warga negara yang kritis (critical citizen) yang ada dalam ruang wilayah sistem demokrasi yang ideal, kemunculan warga yang kritis menstabilkan kehidupan politik, kehadiran ciritical democracy mengindikasikan kehidupan politik yang sehat apabilla diikuti dengan tekanan untuk perbaikan institusional.

Dalam demokrasi, salah satu yang dijamin adalah kebebasan sipil. Kebebasan sipil dapat diartikan sebagai “kebebasan individu warga negara untuk mendapatkan kesempatan yang sama sebagai warga negara untuk mengejar cita-citanya, untuk merealisasikan dan mengekspresikan dirinya secara penuh, terlepas dari bawa-bawaan primordial yang melekat.

Kebebasan sipil dalam demokrasi yaitu; a) kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat, (2) kebebasan berkumpul dan berorganisasi dan; 3) kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Contoh organisasi yang sudah dibubarkan negara tanpa lewat mekanisme demokrasi dalam hal ini otoritas pengadilan, apakah betul FPI dibubarkan karena radikal atau hanya karena kritis  pada penguasa?

Kebebasan beragama soal polemik jilbab melalui regulasi peraturan SKB 3 menteri, toleransi sepihak yang juga cenderung tidak adil dan tampak diskriminatif.

Turunnya indeks demokrasi Indonesia jelas punya konsekuensi logis terhadap tingkat kepercayaan dunia untuk berinvestasi di Indonesia, terkait pinjaman dan lain lain.

Meminjam pendapat Sir Churchil “konon demokrasi adalah pemerintahan terburuk, kecuali jika semua bentuk lain yang pernah dicobakan dari waktu ke waktu”.

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler