DDTC Fiscal Research Luncurkan Kondisi Pajak Indonesia di 2019, Ini Hasilnya

Kamis, 02 Mei 2019 – 21:00 WIB
Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) bertajuk ‘Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities’. Foto : IST

jpnn.com, JAKARTA - DDTC merilis Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) bertajuk ‘Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities’.

Dalam laporan kuartalan tersebut, DDTC Fiscal Research membagi tiga bagian. Pertama, Perkembangan Terkini. Kedua, Pajak dan Ekonomi Digital. Ketiga, Agenda Reformasi Pajak.

BACA JUGA: Sandi Kritik Tax Amnesty Seperti Berburu di Kebun Binatang

Berangkat dari tahun lalu, fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat memasuki 2019, yaitu tahun dengan ketidakpastian terkait dengan pemilu dan gejolak ekonomi global.

Hingga triwulan pertama tahun ini, perekonomian terindikasi melesu akibat melemahnya permintaan dan sikap investor yang cenderung menunggu hingga kepastian Pemilu.

BACA JUGA: Target Pajak Makin Tinggi, Ini Saran Ketua Umum HIPMI

“Hal ini berdampak pada kinerja penerimaan pajak yang kurang memuaskan,” ujar Denny Vissaro, Fiscal Economist DDTC Fiscal Research saat peluncuran Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) bertajuk ‘Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities’, Kamis (2/5)

Selama triwulan pertama 2019, realisasi pajak nonmigas yang mencapai 15,5% dari target APBN pada dasarnya merupakan pola distribusi bulanan yang umum terjadi di pada awal tahun, yaitu sekitar 4.5-6% per bulan.

BACA JUGA: Target Pajak Bakal Tak Tercapai, Ini Saran Misbakhun

Namun, pertumbuhan yang hanya mencapai 0,6% terutama karena kinerja PPN yang negatif perlu diwaspadai. Hal ini jelas sangat jauh dari target pertumbuhan penerimaan pajak yang mencapai 19% pada 2019 ini.

Pada triwulan selanjutnya kinerja PPN diperkirakan akan meningkat dan memperbaiki pertumbuhan penerimaan pajak secara umum. Impor bahan baku penolong dan barang modal serta konsumsi dalam negeri sepertinya akan membaik sejalan dengan kepastian pasca-pemilu dan menyambut lebaran.

Di tengah rendahnya kinerja penerimaan tersebut, pemerintah memberikan ‘relaksasi’ melalui perluasan cakupan ekspor jasa yang dikenakan PPN dengan tarif 0% yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2019.

Hal ini tentu menambah daftar relaksasi yang sudah diberikan oleh pemerintah pada tahun sebelumnya, seperti insentif tax holiday, pemberian restitusi dipercepat, atau diskon tarif pajak untuk Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM).

Wacana mengenai pengurangan beban pajak juga salah satu yang kerap dibicarakan menjelang pemilu seperti penurunan tarif baik atas PPh badan maupun karyawan.

Meski demikian, upaya perluasan basis pajak dan penegakan kepatuhan tetap dilakukan pemerintah. Hal ini diwujudkan melalui implementasi pertukaran informasi secara otomatis (AEoI) dan penetapan kriteria Bentuk Usaha Tetap (BUT) melalui PMK/35 Tahun 2019.

Upaya lainnya dilakukan melalui koordinasi pajak regional di tingkat ASEAN dalam memerangi aktivitas ekonomi ilegal dan perluasan jaringan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintah ingin membangun sistem pajak yang mendukung daya saing ekonomi, perluasan basis pajak dan penegakan kepatuhan untuk mendorong penerimaaan tetap menjadi prioritas.

Sementara itu, sektor kepabeanan dan cukai menunjukkan kinerja penerimaan yang jauh membaik dari segi penerimaan dan pertumbuhan. Walau demikian, meningkatnya kinerja penerimaan cukai diperkirakan akan semakin jenuh selama tidak ada penambahan objek cukai baru. Pada sisi fiskal daerah, terdapat beberapa upaya pembenahan yang dilakukan, baik dari segi administrasi maupun kebijakan. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan local taxing power dan menurunkan tingkat ketergantungan daerah kepada pusat. Lebih lanjut, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menunjukkan hasil yang kurang memuaskan pada triwulan I ini khususnya karena pengaruh harga komoditas.

Pada tingkat global, diskusi mengenai perubahan arsitektur pajak internasional juga sedang mengemuka. Hal ini dipicu oleh adanya proposal dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atas konsensus global mengenai pemajakan atas ekonomi digital yang sifatnya ‘melenceng’ dari sistem pajak internasional saat ini.

Pada periode yang bersamaan, Uni Eropa meluncurkan Anti-Tax Avoidance Directive (ATAD), sedangkan International Monetary Fund (IMF) menerbitkan Policy Paper tentang berbagai alternatif sistem pajak internasional yang bertujuan untuk mengurangi kompetisi pajak, penghindaran pajak, dan menyiratkan keberpihakan bagi negara-negara berkembang.

Pajak dan Ekonomi Digital

Perkembangan ekonomi digital telah menciptakan adanya kerumitan pemajakannya. Pada dasarnya, ekonomi digital adalah proses digitalisasi dari ekonomi nyata. Oleh karena itu, pemajakan atas ekonomi digital seharusnya tidak memerlukan perlakuan secara khusus atau dipisahkan dari ekonomi nyata. Hal ini guna menjamin level playing field dari aktivitas ekonomi yang dilakukan baik secara konvensional maupun digital. Pada umumnya hanya diperlukan suatu terobosan administrasi untuk menjamin kepatuhan dari pelaku yang berada dalam ekosistem ekonomi digital.

Walau demikian, digitalisasi juga telah meningkatkan risiko base erosion and profit shifting (BEPS) terutama dari raksasa ekonomi digital yang bisa memperoleh penghasilan dari suatu yurisdiksi tanpa membayar pajak secara adil kepada yurisdiksi tersebut. Secara singkat, setidaknya terdapat 4 tantangan dalam memajaki ekonomi digital dan yang berkaitan dengan BEPS.

Pertama, kita menghadapi kesulitan teknis dalam mendesain kebijakan yang mampu memberikan alokasi hak dan pembayaran pajak yang adil dari ekonomi digital. Utamanya adalah mengubah sistem pajak internasional yang berbasis pada kehadiran fisik dalam mengategorikan BUT dan pengalokasian laba yang mempertimbangkan kontribusi pembentukan nilai dampak digitalisasi. Kedua, penyusunan aturan berkejaran dengan waktu karena sifat bisnis ekonomi digital sarat dengan perubahan yang cepat. Ketiga, banyaknya inisiatif aksi sepihak dari berbagai negara dalam memajaki ekonomi digital sesuai dengan kedaulatan fiskalnya. Berbagai aksi unilateral tersebut tentu membuat tantangan keempat, yaitu sulitnya mencapai konsensus di tingkat global.

Saat ini, opsi untuk memajaki ekonomi digital sedang dibicarakan di tingkat internasional. Proposal yang diajukan oleh OECD tersebut berisi 2 pilar utama. Pilar pertama bertujuan untuk mengatur alokasi pemajakan secara lebih adil dengan memperluas hak pemajakan bagi yurisdiksi pasar melalui 3 alternatif pendekatan: user participation, marketing intangibles, dan sufficient economic presence. Pilar kedua fokus atas ketersediaan global anti-base erosion rule.

“Seluruh opsi tersebut pada dasarnya akan menguntungkan Indonesia sebagai yurisdiksi pasar yang memiliki banyak pengguna. Walau demikian, tiap opsi itu memiliki derajat keuntungan dan tingkat kesulitan implementasi yang berbeda-beda pula,” ujar B. Bawono Kristiaji, Partner DDTC Fiscal Research saat peluncuran Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) bertajuk ‘Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities’, Kamis (2/5/2019)

Di Indonesia, persoalan mengenai pemajakan ekonomi digital juga tecermin dalam PMK Nomor 210 Tahun 2018 yang dicabut akhir Maret lalu.

PMK tersebut pada dasarnya tidak memberikan kebijakan baru yang bersifat khusus, tetapi hanya berupa terobosan administrasi serta tatacara pemajakan bagi ekosistem e-commerce.

Memang benar bahwa beleid tersebut masih memiliki kekurangan, yaitu belum bisa menjamin level playing field antara perdagangan elektronik domestik dengan asing maupun juga platform online lainnya, kurang disusun secara partisipatif, serta menimbulkan biaya kepatuhan.

“Namun demikian, pencabutannya sangat disayangkan terutama karena kemampuan pemerintah dalam memperoleh data dan informasi untuk memetakan kepatuhan pajak akan lebih sulit. Padahal, data dan informasi sangat krusial terutama dalam konteks ekonomi digital yang oleh OECD (2017) sering disebut sebagai new shadow economy.” Imbuh Bawono.

Ketiadaan kewajiban untuk mengumpulkan informasi transaksi dan identitas tersebut bisa menyulitkan pemerintah untuk memperluas basis pajak. Padahal kita tahu transaksi e-commerce di Indonesia nilainya besar dan diprediksi akan terus meningkat. OECD (2019) juga berpendapat bahwa platform digital berperan krusial dalam kepatuhan pajak, khususnya PPN, baik dalam hal kerja sama pemberian informasi kepada otoritas pajak, pemungut dan penyetor pajak, maupun sebagai pihak yang mengedukasi merchants di platform mereka.

Di sisi lain, kehadiran digitalisasi harusnya tidak selalu dipandang secara negatif bagi arena pajak. Dari sisi administrasi pajak, penerapan teknologi dan digitalisasi umumnya dilakukan melalui pelaporan berbasis elektronik, pengumpulan dan pengolahan data dengan lebih efisien, layanan informasi, mengurangi error, dan mendeteksi adanya kecurangan. Adanya proses digitalisasi telah menciptakan kemudahan (efisiensi), komunikasi dan interaksi secara real time, serta transparansi. Ketiga elemen tersebut secara tidak langsung akan berakibat bagi meningkatnya kepatuhan pajak.

Arah reformasi pajak di suatu negara belum tentu sesuai untuk menyelesaikan permasalahan di negara lain. Namun, pengetahuan mengenai sistem pajak di negara lain menjadi krusial. Hal ini dikarenakan interaksi antarsistem pajak makin tidak terhindarkan dalam konteks globalisasi. Bagaimanapun, reformasi pajak harus dipahami sebagai cara untuk membawa sedekat mungkin ke arah yang paling ideal dan seimbang (second best policy).

“Kalau ada keberhasilan reformasi di suatu negara, belum tentu itu berhasil untuk diadopsi di negara lain. Tidak ada resep yang berlaku untuk semuanya,” ujar B. Bawono Kristiaji, Partner DDTC Fiscal Research saat peluncuran Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) bertajuk ‘Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities’, Kamis (2/5/2019).

Setidaknya harus dipahami, tren reformasi pajak di berbagai negara dalam 5 tahun terakhir dipicu oleh beberapa hal. Pertama, pengumpulan penerimaan. Kedua, pendorongan daya saing di tengah ketidakpastian ekonomi. Ketiga, perlindungan basis pajak dan era transparansi. Keempat, perlindungan hak wajib pajak dan kepastian. Kelima, peningkatan kepatuhan melalui simplifikasi. Keenam, paradigma baru untuk menjamin kepatuhan. Ketujuh, ekonomi digital.

Reformasi pajak di berbagai negara itu mencakup beberapa aspek. Pertama, pajak penghasilan (PPh) badan. Dalam aspek ini, ada tren penurunan tarif PPh badan, perlakuan pajak khusus UMKM, pemberian insentif pajak, perubahan ke arah hybrid territorial tax system, pengenaan pajak khusus untuk perusahaan multinasional, serta pemajakan ekonomi digital.

Kedua, PPh orang pribadi (OP). Dalam aspek ini, ada perombakan struktur PPh OP melalui penyesuaian tarif dan tax bracket, pemberian keringanan untuk penduduk berpenghasilan rendah, pemberian insentif untuk sumber daya manusia (SDM), dan penyesuaian PPh atas penghasilan pasif dari modal.

Ketiga, pajak pertambahan nilai (PPN). Ada beberapa tren reformasi pajak yang menyangkut PPN, seperti kenaikan tarif standar, perluasan basis, pembenahan administrasi untuk mencegah kebocoran, dan pembenahan kepatuhan PPN atas transaksi perdagangan internasional. Keempat, cukai dan pajak lain. Aspek ini mencakup kenaikan tarif cukai bagi produk yang berbahaya bagi kesehatan, perluasan objek cukai, pengenaan pajak lingkungan dan kekayaan.

Untuk memastikan reformasi pajak berhasil, pemerintah perlu menetapkan desain dan kerangka reformasi pajak yang rasional dan mendapat dukungan politik yang kuat. Karena dilakukan secara sistematis dan bertahap, administrative feasibility menentukan efektivitas terlaksananya reformasi pajak. Dalam konteks ini, reformasi juga harus transparan dan partisipatif.

Reformasi Pajak untuk Mendorong Daya Saing

Menariknya, mayoritas reformasi pajak di berbagai negara lebih dititikberatkan pada upaya meningkatkan daya saing. Alasan tersebut cukup rasional mengingat situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian dan lesunya pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di banyak negara.

“Obsesi untuk meningkatkan daya saing terutama ditujukan untuk menarik modal dan tenaga kerja berkeahlian tinggi, yang dipercaya menjadi komponen produktivitas domestik,” ujar B. Bawono Kristiaji, Partner DDTC Fiscal Research saat peluncuran Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) bertajuk ‘Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities’, Kamis (2/5/2019)

Dari sisi kebijakan, mendorong daya saing bisa dilakukan melalui berbagai opsi terkait dengan subjek, objek, dan tarif. Akan tetapi, satu hal yang kerap dilupakan adalah bahwa daya saing suatu negara juga dipengaruhi oleh bagaimana sistem pajak di suatu negara juga bisa menjamin kepastian. Kepastian dalam sistem pajak juga dipengaruhi oleh administrasi pajak yang mudah, berbiaya rendah, jelas, serta menjamin hak-hak wajib pajak. Selain itu, kepastian juga berkaitan erat dengan desain dan implementasi upaya mencegah dan menyelesaikan sengketa pajak.

Bagi Indonesia, reformasi pajak dengan mempertimbangkan upaya meningkatkan daya saing merupakan sesuatu yang diperlukan. Tren kompetisi pajak secara global, kebutuhan menggerakkan ekonomi domestik, dan ancaman middle income trap adalah hal-hal yang—suka tidak suka—perlu diwaspadai.

Sistem pajak yang pro terhadap iklim investasi dan perekonomian juga dipercaya akan meningkatkan penerimaan karena dua hal. Pertama, sistem tersebut akan meningkatkan basis ekonomi dan kemampuan membayar pajak. Kedua, sistem tersebut akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak karena kualitas hubungan dan komunikasi mereka dengan pemerintah yang semakin membaik.

Agenda reformasi pajak 2017-2020 tentu bisa menjadi momentum untuk mengkaji hal-hal tersebut secara matang dalam rangka memperkokoh ekonomi Indonesia pada masa mendatang. (flo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Buah Prabowo Ragukan Pemerintah Bisa Capai Target Pajak


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler