jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Sitorus, berharap polemik tentang impor beras segera dihentikan karena menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.
Deddy berharap Presiden Joko Widodo segera memerintahkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Bulog untuk duduk bersama menyelesaikan berbagai perbedaan terkait impor beras dan kebutuhan pangan lainnya.
BACA JUGA: Komitmen Kemendag Jaga Stabilitas Tahu dan Tempe
“Yang terpenting saat ini Menteri Perdagangan RI sudah menyatakan secara terbuka di DPR RI bahwa tidak akan melakukan impor beras hingga panen raya petani berakhir,” kata Deddy, melalui pernyataan tertulis kepada wartawan di Jakarta, Kamis (25/3).
Anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI itu menuturkan, selama ini Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Bulog selalu berpolemik soal impor.
BACA JUGA: Kemendag Segera Renovasi 11 Pasar yang Terdampak Gempa di Sulbar
Deddy menilai ketiga pihak terkait itu menggunakan data yang berbeda, kerangka berpikir yang tidak sebangun, dan platform kebijakan yang tidak sejalan saat menyikapi rencana impor beras.
“Saya berharap Presiden menugaskan Menko terkait, dan BPS, untuk merumuskan kebijakan impor beras dan barang kebutuhan pokok lainnya,” ujar Deddy.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Harap Kemendag Percepat Penyelesaian Perjanjian Internasional
“Mengenai data dasar yang menjadi acuan saja mereka tidak pernah bisa sepakat, apalagi soal volume, waktu, dan proses. Sehingga selalu terjadi polemik dan kegaduhan yang membuang energi,” sambung wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Utara tersebut.
Setelah 76 tahun merdeka, kata Deddy, Indonesia belum memiliki blue print kedaulatan pangan yang konsisten dan dipahami semua stakeholder pembuat kebijakan. Maka tidak heran, sambungnya, selalu ada perbedaan pendapat dan posisi hingga gesekan kepentingan.
“Oleh karena itu semua pihak harus duduk bersama untuk menyepakati ‘common platform’ yang bisa disepakati. Sudah saatnya para pengambil kebijakan itu menyelesaikan perbedaan mereka, menurunkan tensi dan ego sektoral serta memastikan tidak ada pemburu rente yang bermain dalam setiap pengambilan kebijakan impor,” tandasnya.
Perbedaan visi dan kebijakan ini, kata Deddy, diawali oleh ketiadaan platform bersama, tidak adanya data yang terintegrasi dan ego sektoral yang sulit didamaikan.
“Sejauh ini data dari Kementerian Pertanian seringkali tidak match dengan Kementerian Perdagangan dan berbeda dengan realita yang dihadapi oleh Bulog,” ungkap Deddy.
Menurut Deddy, Presiden Jokowi sejak awal pemerintahannya selalu mewacanakan perlunya kedaulatan pangan. Namun, hal itu gagal diterjemahkan dalam kebijakan makro RPJMN oleh Bappenas dan kebijakan mikro oleh kementerian teknis dan Bulog.
“Selama ini kita hanya ribut soal impor tanpa ada upaya sistematis menyelesaikan akar persoalan,” kata Deddy.
Dia melanjutkan, kebijakan impor seharusnya bersifat emergency untuk menjaga harga bahan pokok dan bahan pangan lainnya tidak menekan daya beli masyarakat, mempengaruhi inflasi dan neraca keuangan negara.
“Tetapi kebijakan itu tidak boleh mengorbankan petani,” ungkap Deddy.
Dia menegaskan, biaya produksi di tingkat petani terus meningkat sementara subsidi oleh negara berkurang. Akibatnya, petani sangat menderita ketika harga jual jatuh.
“Ingat, ini tidak hanya menyangkut hidup jutaan petani dan keluarganya tetapi juga buruh tani dan mereka yang masuk di dalam rantai produksi pangan,” tutur Deddy.
“Sudah saatnya kita memiliki UU Kedaulatan Pangan dan Badan Kedaulatan Pangan untuk memastikan petani dan produsen bahan pangan serta konsumen terlindungi,” ujar dia melanjutkan.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan sudah usang dan harus segera digantikan oleh UU tentang Kedaulatan Pangan.
Pasalnya, selanjutnya akan dibutuhkan agar data dan kebijakan Kementerian Pertanian dengan Kementerian Perdagangan dapat sinkron, demikian juga Bulog dan Sistem Resi Gudang dalam satu kesatuan.
“Demikian pula kesatuan antara pemerintah pusat dengan daerah, RTRW dan RPJMN haruslah terintegrasi,” katanya.
“Sehingga tidak akan terjadi polemik yang keras antar-instansi dan mafia impor bisa ditekan dan upaya menuju kedaulatan pangan menjadi lebih mungkin dicapai.
Deddy menjelaskan, UU itu nantinya juga harus mengatur strategi nasional diversifikasi pangan, land banking pangan dan supply chain pangan.
Impor bahan pangan juga seharusnya hanya boleh dilakukan oleh pemerintah untuk menghindarkan pemburu rente dan memastikan kontrol harga yang proporsional.
“Saya berharap semua pejabat ini memikirkan jauh ke depan dan berkomitmen membangun kebijakan pengelolaan bahan pangan yang sistematis dan berjangka panjang.
Deddy menegaskan, PDI Perjuangan menolak tegas impor (bahan) pangan yang merugikan petani dan produsen.
“Karena itu kita tegas menolak impor beras saat panen raya. Tetapi lebih jauh lagi kita harus segera memiliki road map yang jelas dan rinci untuk mencapai kedaulatan pangan,” tutupnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil