jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus meminta Menristek Bambang Brodjonegoro tidak memicu polemik terkait pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Deddy menilai Menristek sangat tidak etis melemparkan isu terkait BRIN di ruang publik.
BACA JUGA: Menristek Bambang Optimistis GeNose C19 jadi Game Changer Kebangkitan Sektor PariwisataÂ
“Menristek seharusnya membaca dengan detail tentang BRIN sesuai UU Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional IPTEK,” kata Deddy, melalui pernyataan tertulis kepada wartawan di Jakarta, Rabu (17/2).
Menurut Deddy, UU Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional IPTEK secara jelas dan tegas mengamanatkan bahwa BRIN dibentuk langung oleh Presiden (Pasal 48 ayat 1), sehingga struktur dari badan itu merupakan kewenangan Presiden, bukan Kementerian Ristek atau Menristek.
BACA JUGA: Menristek: Vaksin Covid-19 Ada Masanya, Kami Siapkan Merah Putih
“Oleh karena itu tidak pantas Menristek berkoar-koar di media massa, seharusnya bertanya kepada Presiden, jangan bikin gaduh,” ujar Deddy.
Lebih jauh lagi menurut Deddy, tidak ada satu pun pasal atau ayat yang memerintahkan atau memberikan kewenangan kepada Kemenristek atau Menristek dalam kerangka BRIN.
BACA JUGA: Menristek Serahkan 9 Produk Inovasi Penanganan Covid-19 untuk Jabar
“Sesuai dengan UU 11/2019 maka masalah perlu tidaknya pembentukan Dewan Pengarah merupakan kewenangan penuh Presiden, bukan Menristek,” ujar Wakil Rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Utara tersebut.
Deddy melanjutkan, masalah struktur BRIN menjadi bias karena munculnya Perpres 74/2019, di mana pada pasal 6 menyebut bahwa Kepala BRIN dijabat oleh Menteri Riset dan Teknologi.
Tetapi menurut Deddy, Perpres itu hanya berlaku hingga 31 Desember 2019 dan harus di-review kembali sebab isinya bisa dikatakan melampaui perintah UU.
“Sebagai peraturan turunan, seharusnya Perpres dipandang sebagai itu mengacu kepada hirarki penyusunan UU dan tunduk pada UU 12/2011. UU Sinasipek pada Pasal 48 secara jelas sudah menyatakan bahwa secara kelembagaan, BRIN tidak didesain untuk digabung atau berada di bawah Kemenristek tetapi terpisah dan mandiri,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Deddy, Kementerian Sekretariat Negara harus segera melakukan revisi terhadap KEPPRES 113/P tentang Pembentukan Kementrian Negara yang mencantumkan Menristek sekaligus dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Menurut Deddy, KEPPRES 113/P itu adalah produk administrasi yang harus direvisi agar tidak ditafsirkan melampaui atau bertentangan dengan UU.
“Tidak ada masalah jika KEPPRES itu direvisi sebab sebagai produk administrasi memang tidak sejalan dengan hirarki di atasnya,” ungkap dia.
Deddy menuturkan, BRIN itu dibentuk sebagai ujung tombak sekaligus pelaksana dari kegiatan inovasi dan riset nasional, bukan sebagai institusi pembuatan kebijakan.
Sementara kebijakan negara di bidang riset dan teknologi merupakan ranah dari Kemenristek, sehingga lingkup tugasnya lebih condong kepada upaya memfasilitasi dan meningkatkan kemampuan bangsa dalam melakukan riset dan teknologi.
“Seharusnya Menristek memahami dan mengerti bahwa BRIN itu dibentuk untuk menjadi akselerator bagi kegiatan riset dan inovasi yang mendesak dan fundamental bagi pemerintah,” kata Deddy.
Deddy menegaskan, tugas Kemenristek mempersiapkan agar bangsa ini memiliki tenaga peneliti dan inovator teknologi sebanyak-banyaknya, menciptakan ekosistem yang baik untuk lahirnya para peneliti yang andal dan memiliki kapasitas yang dibutuhkan dan yang paling penting adalah mendorong sinergi antara stakeholder yang berkepentingan dengan riset dan teknologi.
“Sederhananya, Kemenristek itu ada di hulu sementara BRIN ada di hilir. Kalau digabung maka yang terjadi adalah tambahan birokrasi, sementara BRIN dirancang untuk bergerak mandiri dan akseleratif,” tutup Deddy. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil