DEEP Indonesia: Presiden Jokowi Berpotensi Gunakan Kewenangan untuk Menangkan Prabowo-Gibran

Sabtu, 27 Januari 2024 – 07:06 WIB
Capres-cawapres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Foto: Ricardo/jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai Presiden Jokowi sejak awal mulai tampak menggunakan instrumen politik, hukum dan kekuasaan ketika ada wacana penundaan pemilu, narasi tiga periode presiden, dan terakhir Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melapangkan jalan bagi Gibran Raka Buming Raka, putra sulungnya untuk maju dalam Pilpres 2024.

“Kami perlu khawatir Presiden akan menggunakan kewenangan menggerakkan aparatur dan sumber daya untuk memenangkan Gibran anaknnya bersama Pak Prabowo pada Pilpres 2024,” ujar Neni pada acara diskusi publik Indonesian Youth Conggres bertema “Presiden Nyatakan Dirinya Boleh Kampanye dan Memihak: Abuse of Power?” pada Jumat (26/1/2024).

BACA JUGA: Bantah Isu Beras Bulog Berstiker Prabowo-Gibran, TKN Minta Bawaslu Turun Tangan

Narasumber lain yang juga hadir dalam diskusi ini adalah Pengamat Politik Universitas Nasional Robi Nurhadi dan pakar komunikasi politik UGM Syarwi Ahmad.

Turut hadir sebagai peserta diskusi antara lain sejumlah mahasiswa, perguruan tinggi, organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan serta masyarakat luas.

BACA JUGA: Bansos Ditempeli Stiker Prabowo-Gibran, Cak Imin Bereaksi Keras: Memalukan

Menurut Neni, potensi abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan itu beroptensi terjadi dan bahkan sudah terjadi seperti mobilisasi kekuatan dan menggunakan instrumen negara untuk kepentingan partai politik.

Neni juga menyoroti soal netralitas presiden dan Menteri. “Pemilu kita semestinya jujur dan adil. Itu sekadar angan-angan saja. Ilusi dan penuh keraguan,” ujar Neni.

BACA JUGA: Cari yang Lanjutkan Program Jokowi, Relawan Martabat Dukung Prabowo-Gibran

Dia mengatakan presiden memang berhak untuk berpolitik, tetapi kemudian tidak diperbolehkan berkampanye.

“Tujuannya adalah untuk menjaga prinsip pemilu itu sendiri. Netralitas aparat negara itu menjadi kunci untuk bagaimana terwujudnya penyelenggaraan pemilu yang free and fair election,” ujar Neni.

Kemudian, kata Neni, menyikapi pernyataan presiden yang mengatakan boleh berkampanye seperti Pasal 281 UU Pemilu yang tidak boleh menggunakan fasilitas negara kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara.

Kemudian menjalani cuti seperti pada hari ini kata KPU bahwa cuti presiden hanya kepada Presiden sendiri, tetapi siapa yang kemudian menjamin bahwa tidak ada penggunaan fasilitas negara?

“Saya bukan meragukannya lagi, tetapi Presiden Jokowi hari ini memang tidak bisa berlaku netral,” ujar Neni.

Neni mengatakan tafsir pasal 281, 282, dan 283 tentang kampanye pejabat negara harus kontekstual. Bukan tekstualis, minimalis dan legal formalistic. Sehingga kita bisa mendapatkan perspektif yang kemudian itu komprehensif.

“UU Pemilu harus kita akui bahwa banyak kelemahan. Oleh karena itu, ini bagian bagian akibat dari proses legislasinya itu penuh dengan kepentingan politik. Semestinya pejabat negara tidak diperkenankan untuk berkampanye. Sejak awal, dari UU bermasalah dan mengandung otoritarianism  legalizm,” ujar Neni.

Neni menegaskan politik dinasti, cawe-cawe dan praktik politik tanpa malu itu tentu merusak demokrasi.

Selain itu, publik hanya berharap adannya pendekatan dan penegakan hukum yang progresif.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler