jpnn.com, PAPUA - Akademisi dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua, Marinus Mesak Yaung berkomentar perihal aksi walk out delegasi Indonesia di KTT Melanesian Spearhead Group (MSG) Leaders Summit ke-22 di Vanuatu.
Adapun delegasi Indonesia walk out saat Ketua Sidang KTT MSG Eduard Louma memberikan waktu bicara kepada Benny Wenda.
BACA JUGA: FMCBG G20, Indonesia Anggap Walk Out Amerika Cs Tidak Penting
Pengamat sekaligus dosen Hubungan Internasional itu mengatakan bahwa aksi itu sebagai bentuk protes, juga tekanan diplomatik terhadap forum KTT MSG dan tuan rumah.
"Keputusan walk out delegasi Indonesia itu menunjukkan posisi tegas kebijakan luar negeri Indonesia soal isu kedaulatan," kata Marinus kepada awak media, Kamis (24/8).
BACA JUGA: Ponpes Cipasung Gelar Doa Bersama Lintas Agama untuk Papua Damai
Marinus juga mengingatkan bahwa Indonesia merupakan salah satu aktor great power di kawasan Indo-Pasifik.
"Indonesia is not banana republic. Forum MSG jangan dikte Indonesia soal kebijakan atas Papua," tegas Marinus.
BACA JUGA: KKB Berulah Lagi, Tembak Warga dan Bakar Gudang Beras di Puncak Papua Tengah
Oleh sebab itu, Marinus mewanti-wanti Vanuatu, Benny Wenda, dan delegasi ULMWP harus sadar diri dan memiliki kalkulasi politik yang baik.
Menurutnya kondisi status politik Papua dan Timor Timur (nama Timor Leste saat masih bersama Indonesia), berbeda di mata hukum internasional.
Selama 27 tahun Timor Timur tetap wilayah tak bertuan. Saat itu, kata Marianus, rakyat Timor Timur memiliki hak untuk menggelar referendum penentuan nasib sendiri pada 1999.
Hal itu tak terlepas atas desakan Australia, Vanuatu, organisasi MSG, dan komunitas internasional.
Marinus menduga ada upaya Vanuatu dan MSG ingin mengulang cerita yang sama untuk diterapkan di Papua.
"Vanuatu dan MSG mau mengulang lagi cerita yang sama untuk Papua? Terlalu naif dan keliru. Papua di mata hukum internasional adalah sah wilayah kedaulatan Indonesia," tegas Marinus.
Upaya ini menurutnya adalah bentuk serangan langsung terhadap Piagam PBB dan hukum internasional.
Dia mengatakan hal tersebut sudah lazim terjadi. Dia mngingatkan Vanuatu, Benny Wenda, dan delegasi ULMWP memahami hal tersebut.
"Jika diplomasi dead lock atau gagal, pendekatan militer dimungkinkan untuk digunakan. Jika bicara baik-baik tidak mau dengar, maka pukul dan sikat kasih habis," tegasnya. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh