Delima Lestari, Penulis Puisi Indonesia yang 20 Tahun Menetap di Belanda

Rela Tak Ada Bayaran, Andalkan Dunia Maya

Selasa, 12 Juli 2011 – 08:08 WIB
KETUA: Delima Lestari Widya Astuti de Wilde Sri bersama buku kumpulan puisi berjudul Kenang Sebayang saat ditemui di Ermelo, Belanda, pada 26 Juni lalu. Foto: Sidiq Prasetyo/Jawa Pos

Meski puluhan tahun tinggal di Belanda, jiwa Indonesia Delima Lestari Widya Astuti de Wilde Sri tak pernah lunturDi sana dia berhasil menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi

BACA JUGA: Para Pelatih Cinta yang Siap Membantu Pria Menggaet Perempuan Idaman

Sebagian besar bertema tentang Indonesia
Berikut laporan wartawan Jawa Pos Sidiq Prasetyo yang akhir Juni lalu menemuinya di Belanda

BACA JUGA: Ultah ke-4 Punguan Simbolon Dohot Boruna Pecahkan Dua Rekor MURI


--------------------------
Dua puluh tahun bukanlah waktu yang singkat
Selama itu pula Delima Lestari Widya Astuti de Wilde Sri tinggal di Belanda dan kini telah dikaruniai dua anak

BACA JUGA: Pangkalan Udara Adisutjipto, Kawah Candradimuka Penerbang TNI-AU

Mereka adalah Qalifahsari Dinda Ambarwati, 14, dan Arissaputra Aji Rayendra, 10, hasil pernikahannya dengan pria Belanda, Tom de Wilde.

"Saya sejak 1991 sudah datang ke BelandaAwalnya, saya mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah," kata Delima kepada Jawa Pos.

Di sela-sela mengajarkan bahasa Indonesia tersebut, dia memanfaatkannya untuk mendalami bahasa BelandaKarena sangat menyukai puisi sejak di Indonesia, ketika pindah ke Belanda, kegemaran itu dia lanjutkanSuatu ketika, perempuan 41 tahun itu tertarik dengan sebuah artikel di internet yang membahas puisi"Dari situlah saya kemudian tertarik untuk membuat kumpulan puisi dan dikirim lewat dunia maya," jelas Delima.

Melalui dunia maya itulah, perempuan asal Solo, Jawa Tengah, ini mulai menjalin hubungan dengan para penulis puisiKebanyakan adalah penulis puisi dari IndonesiaTapi, ada juga penulis puisi dari Malaysia dan SingapuraDari hasil ngobrol di dunia maya itulah, lantas lahir himpunan puisi berjudul Padang 7,6 Skala Richter pada 2009.

Kumpulan puisi ini lantas diabadikan dalam sebuah buku"Ini sebagai kepedulian kami, para penulis puisi, akan bencana gempa bumi yang melanda saudara-saudara kita di Padang dan sekitarnya pada saat itu," terang Delima.

Tahun 2009 memang menjadi tahun kelam bagi PadangPada saat itu, tepatnya 30 September 2009, gempa berkekuatan 7,6 skala Richter yang berpusat di 57 km dari Pariaman, Sumatera Barat, memakan banyak korban dan meluluhlantakkan daerah yang dilewatinyaDiberitakan saat itu, jumlah korban luka akibat bencana alam tersebut mencapai 4.151 orang dan 676 orang hilangSelain itu, 60.156 orang harus mengungsi

"Saat itu kami berharap, kumpulan puisi yang kami buat bisa membuat Padang dan sekitarnya bangkit dari keterpurukan," ucap perempuan yang tinggal di Bergen op Zoom tersebut

Setelah membuat buku kumpulan puisi tentang gempa di Padang, Delima kembali menerbitkan buku puisi"Judulnya HawaMasih tentang kumpulan puisi dan juga buat membantu kemanusiaan," tambah Delima

Nah, setelah itu lahirlah buku kumpulan puisi yang ketiga dengan judul Kenang SebayangBuku yang dicetak pada 2010 ini memberikan kesan lebih mendalam kepada Delima"Saya dipercaya sebagai ketuanya," lanjutnyaBedanya, bila dibandingkan dengan dua buku kumpulan puisi sebelumnya, semua penulis pada buku ketiga ini berasal dari IndonesiaPembuatannya pun memakan waktu yang tak sebentar"Kalau nggak salah, hampir satu tahunLamanya waktu ini karena banyaknya animo para pengirimAda sekitar 30 penulis," ungkap Delima

Bahkan, satu penulis puisi bisa mengirimkan hingga 10 puisi atau lebihImbasnya, Delima pun harus selektif untuk menerbitkannyaDalam Kenang Sebayang, selain dirinya, terdapat nama Ari Oktora, Bibi Cantik, Damai Prasetyo, Daniel Prima, dan Imron Tohari"Kami juga membuat perjanjian bahwa para pengirim puisi di buku yang akan diterbitkan tersebut tidak dibayarPerjanjian itu sudah diumumkan di dunia maya dan jejaring sosial," papar Delima.

Kendala lain, jika ada kesulitan, mereka tak bisa bertemuPasalnya, para penulis puisi tersebut berasal dari berbagai daerahBahkan, ada yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam"Perbedaan waktu juga sering menjadi masalahDi Belanda kan waktunya lima jam lebih lambat daripada Indonesia," paparnya

Untung, kerja kerasnya tersebut selesaiBahkan, dia sempat mendatangi peluncuran buku Kenang Sebayang di Jakarta"Hasil penjualan Kenang Sebayang dipakai untuk membantu beberapa sekolah di Indonesia yang dirasa perlu dibantuSetahu saya, ada yang di Medan," kenang perempuan kelahiran 15 September ini

Dalam waktu dekat Delima juga berencana menerbitkan buku keempatSaat ini, lanjutnya, prosesnya sudah mendekati akhir"Tapi, belum berani dikasih judulNanti saja kalau sudah jadi," ungkapnya

Salah satu penulis puisi di Kenang Sebayang, Nur Hayati, pun memuji kinerja Delima meski dia tak pernah bertatap muka"Dia selalu mengajak saya berkonsultasi jika ada masalah dalam puisi yang saya kirimBiasanya, ya lewat dunia maya," jelas perempuan asal Surabaya tersebut

Dengan memakai nama Rayung Sekar, dua karya Nur muncul di Kenang Sebayang, yakni Wanita dan Remah Roti serta Belantara KalbuSebenarnya, kesempatan bertemu Delima terjadi pada peluncuran Kenang SebayangSayang, hal itu gagal terlaksana karena dia berhalangan hadir.(c2/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wayang Orang Sriwedari Solo Peringati Hari Jadi Ke-101


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler