jpnn.com - HUSEN, pendiri Sumatera Volunteer, sangat terkesan dengan kalimat Mahatma Gandhi: “Cara terbaik menemukan dirimu adalah dengan meleburkan diri dalam melayani orang lain.”
Sebelum mendirikan dan beraktivitas di Sumatera Volunteer, Husen dan beberapa teman melakukan perjalanan ke Waibaku, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur tahun 2013. Saat perjalanannya tersebut, dia menhadapi realitas yang menyedihkan.
BACA JUGA: Yusron Ihza Mahendra, Berhenti Merokok, Kini Penghobi Sepeda
Di sana anak-anak bahkan tidak tahu apa nama negaranya dan siapa presidennya. Yang mereka tahu hanya bagaimana menghabiskan habis di tengah savana kering. Begitu seterusnya.
Mereka dilarang orangtuanya untuk bersekolah. Sebab, menurut orangtua mereka, bersekolah atau tidak hasilnya tetap sama, yakni bekerja mengembalakan kuda atau memelihara binatang ternak seperti babi dan sapi.
BACA JUGA: Gesek Teruusss, Ni Putu Fariani Bawa Pulang Mercedes Benz S-Class
Situasi itu tak ingin didiamkan Husen. Berangkat dari hal itu dia dan teman-teman memutuskan untuk mengajari hal dasar kepada anak-anak di sana. Dia juga mengajarkan anak-anak tersebut menyanyikan lagu Indonesia Raya. Untuk bisa berkomunukasi dengan anak-anak Waibaku, dia berkomunikasi melalui kepala suku di Waibaku.
Saat itu merupakan awal baginya untuk berniat membentuk suatu wadah dalam membantu anak-anak yang tidak mampu.
BACA JUGA: Rupanya, Ulah Tujuh Naga Penyebab Danau Toba Gagal jadi Geopark Dunia
Setahun kemudian, tepatnya Juni 2014, dia mengajak beberapa teman dari Belanda untuk datang ke Pariangan yang merupakan nagari tuo di Minangkabau. Dia ingin orang-orang mengetahui bahwa alam kampung halamannya tidak kalah indah dibandingkan Bali.
Sesampai di Pariangan, mereka mengunjungi berbagai situs budaya dan melihat kehidupan masyarakat setempat yang mayoritas bekerja sebagai petani.
“Dalam perjalanan ini, wajah saya serasa ditampar ribuan kali ketika saya bertemu seorang anak. Ia tidak bersekolah seperti teman-temannya, berpakaian lusuh dan tanpa sandal. Saya yang dulunya berpikir Sumbar sudah maju dibandingkan daerah lain di Indonesia, ternyata sama saja. Kejadian ini mengingatkan saya kembali tentang kondisi di Waibaku,” ujarnya.
Dari Pariangan, dia membawa kegelisahan ke Bali. Di sana dia bertemu dengan Jasper Kuzenga, salah satu sahabatnya yang merupakan warga Belanda.
Jasper Kuzenga kemudian memperkenalkannya dengan dunia volunteer. Tentang organisasi yang melibatkan sukarelawan lokal dan asing dalam memberikan sesuatu kepada yang membutuhkan, dan juga suatu langkah untuk mengajak orang melakukan hal positif dalam hidupnya.
“Setelah mengalami dilema antara tetap hidup di Bali atau kembali ke kampung dengan gerakan yang akan saya bangun, saya akhirnya memutuskan pilihan kedua yaitu kembali ke kampung dengan konsekuensi saya harus menerima kenyataan bahwa tidak ada lagi yang namanya gaji bulanan, tidak ada lagi yang namanya dunia kantoran,” jelasnya.
Agustus 2014 dia akhirnya mendirikan organisasi Sumatera Volunteer yang bertujuan untuk membantu anak-anak tidak mampu dengan beberapa program seperti mengajar Bahasa Inggris, Pendidikan Kesehatan, Pendidikan Lingkungan dan Seni Budaya.
“Saya awali sendiri mengajar anak-anak dengan menumpang di rumah saudara karena keluarga saya sudah bercerai, ibu saya tinggal di Jakarta dan Ayah saya tinggal di Batusangkar. Kami tidak mempunyai rumah sendiri, kecuali rumah gadang yang kami tinggali dari keluarga sebelumnya. Saya membuat meja belajar dan papan tulis yang saya buat sendiri dengan alasan menekan biaya operasional,” ceritanya.
Program pertama yang dijalankan yaitu mengajar bahasa Inggris. Dia mulai dari mengajak anak-anak tidak mampu di lingkungan tempat tinggalnya di Jorong Balai Labuah Bawah, Kecamatan Limakaum, Tanahdatar.
Program ini dilakukan setiap hari Minggu pagi. Setiap minggu anak-anak semakin banyak yang berdatangan. Karena lokasi yang sempit dia memutuskan untuk pindah lokasi ke Surau di pinggir sawah. Sebuah surau yang hanya digunakan petani untuk shalat zuhur dan ashar.
Pada Maret 2015, semakin banyaknya anak-anak yang ingin belajar dan atas permintaan orangtuanya, dia akhirnya meminta kesediaan kepala sekolah SDN 31 Balai Labuah Bawah untuk meminjamkan ruang kelasnya di sore hari. Hingga mereka mulai belajar di ruang kelas setiap Selasa sore.
Pada bulan selanjutnya, program Seni Budaya dilaksanakan atas bantuan dari temannya Anton yang merupakan lulusan ISI Padang Panjang. Lambat laun, program yang dijalankannya mendapat perhatian dari teman-temannya, yang sebenarnya pada awalnya pesimistis dengan apa yang dia lakukan karena tidak mendatangkahn profit melainkan uang keluar.
Setiap minggu dia informasikan program ini di media sosial seperti facebook dan twitter dengan harapan akan lebih banyak lagi orang-orang melakukan hal positif.
Sebulan kemudian, dia lanjutkan dengan program di Jorong Guguak, Nagari Pariangan, yang terletak di kaki gunung Marapi. Itu merupakan desa terakhir di kaki gunung Marapi.
“Hingga saat ini, seluruh program terlaksana dengan baik, semakin lama semakin banyak orang-orang yang bergabung mulai dari teman, mahasiswa lokal dan internasional. Serta semakin banyak anak-anak yang kami ajar,” ucapnya.
Dana untuk setiap kegiatannya, berasal dari tabungannya pribadi, donasi dari teman-temannya. Bahkan dia rela menjual laptop dan kameranya beberapa bulan lalu.
Dai tidak menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah dikarenakan faktor politis beberapa tokoh politik di Tanahdatar. Dia tidak ingin gerakan perubahan ini digunakan untuk politik kepentingan.
“Saya tidak melakukan perubahan yang besar. Tetapi saya yakin sebuah perubahan besar dimulai dari perubahan kecil. Mengabadikan diri untuk membantu sesama yang membutuhkan seperti cara ini bagi saya untuk mengetahui seberapa jauh titik batas dalam hidup saya,” tukasnya. (cr8)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Pendek Perjuangan Menghidupkan Kembali Musik Rock dan Metal
Redaktur : Tim Redaksi