Rupanya, Ulah Tujuh 'Naga' Penyebab Danau Toba Gagal jadi Geopark Dunia

Selasa, 01 Desember 2015 – 00:49 WIB
Hinca Panjaitan. Foto: Soetomo Samsu/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Mengenakan baju Partai Demokrat, bagian ujung lengan dan kerah bermotif Gorga Batak. Di saku bajunya tersembul sehelai daun sirih yang masih segar.

Soetomo Samsu-Jakarta

BACA JUGA: Apa Mau Dia, Bawa-bawa Nama Bapak?

“Saya kemana-mana membawa daun sirih karena inilah salah satu warisan budaya dari leluhur orang Batak,” ucap Hinca Panjaitan mengawali perbincangan dengan JPNN di sebuah hotel di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu malam (30/11).

Pria kelahiran Asahan 25 September 1964 itu begitu antusias jika berbicara mengenai budaya Batak, juga mengenai Danau Toba. Waketum PSSI itu pun mengaku akan senantiasa membawa jati dirinya sebagai orang Batak, dimana pun. Termasuk, ketika menghadiri Kongres FIFA di Swiss, Mei 2015.

BACA JUGA: Polisi Periksa Politisi Golkar

Dia menunjukkan foto dirinya mengenakan kain ulos yang diikatkan di kepala, berselfie bersama Presiden FIFA Sepp Blatter. Di foto lain, dia mengalungkan kain ulos di sebuah acara resmi Partai Demokrat.

Tapi malam itu Hinca bicara soal rencana Presiden Jokowi Widodo membentuk Badan Otorita Pariwisata Kawasan Danau Toba. Dia menguraikan kalimat sebelumnya, yang menyebut Badan Otorita ini nantinya punya tugas berat, yakni menaklukkan “tujuh naga” di sekitar Danau Toba. Yang dimaksud adalah tujuh pemda di sekitar Danau Toba, yakni Samosir, Toba Samosir, Simalungun, Taput, Humbahas, Dairi, dan Karo.

“Ya, karena Pemprov Sumut sudah terbukti gagal menaklukkan tujuh naga. Gara-gara sikap tujuh naga itu, Danau Toba gagal menjadi Geopark Dunia,” ujar pria bergelar doktor itu dengan kalimat lugas.

Dua "naga", yakni Samosir dan Simalungun, berebut, merasa paling berhak mendirikan  pusat informasi destinasi wisata Danau Toba. Simalungun yang punya Parapat, merasa sudah duluan terkenal dibanding Danau Toba. Sedang Samosir merasa sebagai episentrum “danau ajaib” itu.

“Sedang lima naga yang lain cuek-cuek, karena merasa hanya menjadi beranda. Jadi tidak kompak dan Pemprov Sumut tak mampu mengatasi,” cetusnya.

Hasilnya, penilaian dari Unesco sebagai panitia Geopark Dunia, memberikan nilai nol untuk aspek menajemen. “Padahal, nilai untuk aspek partisipasi masyarakat, tinggi sekali. Saya sempat bilang biar saya saja yang bikin pusat informasi, tapi pihak Unesco bilagn “tidak bisa”, harus pemerintah yang bikin. Ya karena saya ini kan dari kelompok civil society, bukan pemerintah,” ujarnya dengan nada menyesal.

Karena itu, Hinca sangat berharap Badan Otorita nantinya mampu menaklukkan naga-naga di sekitar Danau Toba yang keras kepala. “Setidak-tidaknya, saya berharap Badan Otorita yang nantinya mengoreksi kegagalan Danau Toba menjadi Geopark Dunia,” imbuhnya.

Hinca sendiri bukannya tanpa konsep. Panjang lebar dia membeberkan mengenai hebatnya kawasan sekitar Danau Toba. Ada tiga hal yang bisa “dijual”, yakni batu-batuan, kekayaan biologis, dan kultur budaya Batak yang unik.

Dia menyebut ada 100 spesies tumbuhan di Bukit Barisan, di sekitar Danau Toba, yang punya nilai jual tinggi. Dulu, dijaman VOC yang masuk mendompleng syiar agama Kristen, rempah-rempah di Barus diangkuti penjajah. Termasuk sirih itu, yang oleh penjajah melarang penggunaan daun sirih, nilam, dan jeruk purut dalam prosesi-prosesi adat leluluhur. Dengan mengatakan itu bertentangan dengan agama. Padahal, tujuannya agar komoditi itu bisa diangkut VOC. “Perlu diketahui, jeruk purut itu bahan minyak wangi terkenal di Paris,” ujarnya. “Dan ada 400-an jenis anggrek di sekitar Danau Toba,” imbuhnya lagi.

Mengenai budaya, Hinca cerita, penjajah VOC juga mempreteli kebiasaan-kebiasaan leluhur. “Jadilah orang Batak sekarang seperti orang Jerman, pergi ke gereja memakai jas, gak pakai ulos. Budaya Batak gak boleh mati!” ucapnya dengan nada tinggi, sembari mengacungkan jari telunjuknya.

Nah, tiga hal itu, yakni batu-batuan, kekayaan biologi, dan budaya, harus mampu dikelola Badan Otorita sebagai kekuatan pengembangan Danau Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia. Jika nantinya Badan Otorita hanya berkutat pada Danau Toba saja, Hinca yakin tidak akan berhasil menarik wisatawan.

Menurutnya, kekuatan sebuah destinasi wisata terletak pada keunikan budayanya. Dia memberi contoh Bali. Di Pulau Dewata itu, meski diskotik penuh dengan wajah-wajah bule, tapi beberapa meter dari situ tetap ada Pura, warga Bali khusuk beribadah. Pohon-pohon pun disarungi. Sebuah budaya yang menarik wisatawan.

Diingatkan lagi, tidak cukup hanya menjual panorama Danau Toba. “Karena keindahan alam itu paling  lama hanya dilihat dua setengah menit. Tapi keindahan budaya, menyentuh hati, perasaan, menimbulkan kerinduan,” urainya.

Lantas dia mencontoh lokasi lain, Tana Toraja, dengan tulang-tulang dan tengkorak para leluhur yang di pajang di tebing-tebing yang tinggi, yang menarik wisatawan mancanegara. Sebuah budaya yang mampu menyedot perhatian dunia.

Karena itu, Hinca mengingatkan, pengisian personel yang duduk di Badan Otorita Danau Toba nantinya juga sangat menentukan.

“SDM-SDM yang duduk di Badan Otorita harus paham kultur Batak, paham bagaimana menghargai warisan para leluhur. Yang punya kearifan lokal. Jangan hanya utak-atik Danau Toba. Sudahlah, Danau Toba itu sudah indah. Yang terpenting bagaimana menjaga budaya, yang sekarang sudah mulai habis, tak ada lagi gondang,” cetusnya lagi.

Dia menekankan pentingnya Badan Otorita nantinya mampu menjaga budaya, bersamaan dengan semangat menarik bule-bule berkunjung ke Danau Toba. “Kalau tidak, bahaya, jumlah penderita HIV/Aids bisa makin tinggi,” ucapnya.

Saat ini, lanjutnya, Sumut sudah menduduki peringkat ke-6 provinsi yang penderita HIV/Aids-nya terbanyak. “Dari 33 kabupaten/kota di Sumut, Balige, Tobasa, nomor satu. Tapi gereja, masjid, semua diam karena itu dianggap aib. Maka kembalilah ke budaya,” ujarnya, lantas menenggak air mineral dari botol bening. ***


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler