jpnn.com, JAKARTA - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (Perpu Cipta Kerja) masih memiliki sejumlah subtansi yang mengundang pro dan kontra.
Namun, diyakini Perpu Cipta Kerja memiliki momentum untuk mendapatkan persetujuan dari DPR RI.
BACA JUGA: Sikapi Perpu Cipta Kerja, Filep Minta DPD RI All Out Perjuangkan Nasib Otonomi Daerah
Menteri Kordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai penerbitan Perpu Cipta Kerja sangat mendesak dan penting dalam mencegah terjadinya krisis perekonomian.
Airlangga yang juga Ketum Golkar itu mendorong DPR untuk bisa menyetujui Perpu tersebut menjadi undang-undang.
BACA JUGA: Perpu Cipta Kerja Tidak Hanya Mendongkrak Investasi, tetapi
Menko Airlangga menyebut Perpu Cipta Kerja diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum bagi investasi dan dunia usaha. Terutama dalam rangka penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan pekerja dan masyarakat.
“Dalam hal DPR RI dapat menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan menyepakati RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Kami optimistis bahwa pemerintah akan tetap dapat mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dimana pada tahun 2022 kita dapat mencapai 5,31 persen yang merupakan capaian tertinggi selama masa Presiden Jokowi,” kata Airlangga dalam Rapat Kerja Pemerintah dan Badan Legislasi DPR RI terkait Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, pada Selasa (14/2).
BACA JUGA: Survei SMRC: Perppu Cipta Kerja Direspons Positif Masyarakat
Menanggapi hal itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Jember Adhitya Wardhono mengatakan ada momentum yang diambil pemerintah dalam menyusun Perpu Cipta Kerja.
“Pro dan kontranya sudah tidak banyak, namun lepas dari itu membaca jangka panjang ekonomi Indonesia dengan melihat momentum dan bahkan memanfaatkan momentum untuk cepat pulih dari memar karena pandemi perlu kebijakan yang adaptif,” tegas Aditya, Rabu (15/2).
Aditya mengakui bahwa urgensinya muncul dikarenakan banyak regulasi untuk bisnis yang ada saat ini masih rumit dan tumpang tindih. Alhasil, kondisi ini membuat pengusaha sulit dalam mendirikan ataupun mau menjalankan usahanya.
"Ketika investasi bertambah, imbasnya nanti akan berujung ke penciptaan lapangan kerja yang bakal menekan angka kemiskinan ataupun pengangguran,” jelas Aditya.
Secara keseluruhan, Adhitya menambahkan, UU Cipta Kerja mendukung terjadinya kondisi full employment dan berusaha untuk menyerap angkatan kerja sebanyak mungkin melalui instrumen investasi serta fleksibilitas pasar tenaga kerja.
“UU Cipta Kerja ini juga berusaha menciptakan produktivitas serta menghilangkan biaya yang tidak diperlukan. Contohnya seperti perubahan hitungan upah minimum yang memperhatikan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi, “ kata Adhitya.
Pro kontra Perppu Ciptaker muncul pada sisi ketenagakerjaan. Hal ini jangan diabaikan oleh pemerintah. “Jika melihat dari aspek ketenagakerjaan menjadi rumit dan kusut karena banyak kepentingan yang bermain. Mendudukan masalah dengan hati-hati dan sikap bijak menjadi kunci utamanya,” saran Aditya.
Bola Panas di DPR
Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) Trubus Rahadiansyah menilai saat ini bola panas perppu ada di tangan DPR.
“Kalau memang DPR memandang itu mau disahkan ya memang kewenangannya. Persoalan yang mendasar, apakah perppu itu betul-betul bisa menjawab tantangan penciptaan lapangan kerja dan investasi? Mampukah perppu itu ketika sudah menjadi UU sebagai instrumen pencegah resesi Indonesia," ujar Trubus di Jakarta, Rabu (15/2).
Menurut Trubus, DPR patut bisa menjawab pertanyaan publik terkait manfaat ekonomi dari aturan tersebut untuk masyarakat. "Publik itu selalu mempertanyakan. Jangan hanya buat UU, tapi ujung-ujungnya tidak memenuhi perut masyarakat. Itu yang penting," terangnya.
Trubus menyarankan agar DPR melakukan kajian mendalam terkait keefektifan Perppu Ciptaker dalam menarik investor dan menciptakan lapangan kerja sebelum mengesahkannya menjadi UU. Hal itu untuk menghindari produk legislatif DPR justru menjadi macan ompong.
"Makanya menurut saya DPR perlu hati-hati, mengkaji dulu, juga harus diperhatikan suasana yang terjadi belakangan. Itu tergantung dari kebijaksanaan dan sense of crisis DPR. Saya khawatir UU itu akan menjadi macan ompong, kalau tidak bisa menjawab apa-apa," pungkas Trubus.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari