Demokrat: 29 Juta Suara Sia-sia Jika Ambang Batas Parlemen Dinaikkan

Senin, 15 Juni 2020 – 16:05 WIB
Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra (kanan atas) saat diskusi Proklamasi Democracy Forum bertajuk RUU Pemilu, Antara Penyederhanaan dan Mempertahankan Keberagaman” pada Minggu (14/6). Foto: Humas PD

jpnn.com, JAKARTA - Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menyatakan kenaikan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold akan membuat banyak suara rakyat menjadi sia-sia.

“Jika parliamentary threshold naik menjadi 7 persen, maka ada 29 juta suara pemilih sah yang bakal terbuang. Ada wasted vote sebesar 29 juta atau setara seperlima dari suara sah. Besarnya adalah 21,07 persen,” kata Herzaky dalam diskusi Proklamasi Democracy Forum bertajuk  RUU Pemilu, Antara Penyederhanaan dan Mempertahankan Keberagaman” yang digelar oleh Badan Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Demokrat, di Jakarta, Minggu (14/6/2020).

BACA JUGA: Ambang Batas Parlemen Bakal Naik? Yusril Usul Begini

Herzaky menjelaskan perhitungan ini merujuk kepada perolehan suara partai-partai politik pada Pemilu 2019. Dengan parliamentary threshold 4 persen, ada tujuh parpol yang tidak lolos ke parlemen. Jika digabung, perolehan suara ketujuh parpol itu mencapai 13,5 juta suara.

Jika ambang batas parlemen menjadi 7 persen, dengan asumsi perolehan suara di Pemilu 2019, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan juga tidak lolos ke parlemen. Perolehan suara Partai Amanat Nasional di Pemilu 2019 adalah 6,84 persen (9,5 juta suara), sedangkan Partai Persatuan Pembangunan adalah 4,52 persen (6,3 juta suara).

BACA JUGA: Soal Ambang Batas Parlemen, Hinca: Demokrat dan PKS Memiliki Pandangan yang Sama

Padahal, menurut Herzaky, keduanya adalah partai dengan segmen masyarakat Islam. PAN merupakan masyarakat Islam perkotaan dan PPP masyarakat Islam pedesaan.

Dengan demikian, Herzaky menilai kenaikan ambang batas parlemen akan memberangus keberagaman dan keterwakilan masyarakat di parlemen. Selain itu, dampak negatif lainnya ialah menguatkan pragmatisme dan politik uang karena partai-partai akan berlomba bagaimana bisa lolos.

BACA JUGA: Herzaky: Pemerintah Sebaiknya Fokus Pada Nasib Nasabah Jiwasraya

Dalam diskusi yang sama, Prof. Dr. Firman Noor,  Profesor Riset LIPI, menyatakan usulan kenaikan ambang batas parlemen dari 4 persen ke 7 persen, tidak memiliki dasar pijakan yang jelas. Belum ada identifikasi permasalahan yang jelas dari ambang batas parlemen 4 persen, sehingga dirasa perlu untuk menaikkan ambang batasnya.

Dengan tingginya ambang batas parlemen, dapat menimbulkan problem keberagaman politik, lanjut Firman. Adanya tokoh-tokoh potensial, yang punya komitmen tegas dan jelas dalam memperbaiki kehidupan politik, dan memunculkan alternatif ide, tidak berhasil masuk parlemen karena parpolnya tersungkur oleh ambang batas parlemen yang terlalu tinggi.

Peningkatan ambang batas parlemen merupakan pembatasan hak dan kedaulatan rakyat untuk berkumpul dan membuat institusi bernama partai politik untuk memperjuangkan idealismenya. Ini karena mereka dihantui oleh ambang batas parlemen yang makin tinggi.

Ada kecurigaan, mengingat watak dasar penguasa hanya ingin serba cepat saja, mau bernegosiasi dengan makin sedikit pihak di parlemen setiap ada agenda yang ingin diperjuangkan, dan mungkin adanya kelompok-kelompok kritis yang berasal dari partai-partai kecil, yang bisa mengganggu agendanya, sehingga perlu direduksi keberadaannya di parlemen.

Padahal, dinamika di pemerintahan itu sederhananya tentang how to get power dan how to maintain the power. Bukan asal cepat.

Dengan demikian, parliamentary threshold yang tinggi tidak saja akan menghapuskan keberagaman politik dan hak rakyat yang berujung pada apatisme, namun juga cenderung mengekalkan konservatisme dan penguatan demokrasi elitis, simpul Firman.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler