Demonstran Tewas di Tangan Aparat, Pemimpin Hong Kong Minta Maaf

Senin, 17 Juni 2019 – 06:46 WIB
Demonstrasi warga Hong Kong menentang RUU Ekstradisi ke Tiongkok. Foto: Kyodo News

jpnn.com, HONG KONG - Lautan warna hitam kembali mendominasi sebagian besar jalanan di Distrik Admiralty, Hong Kong, Minggu (16/6). Penduduk lokal Hong Kong kembali turun ke jalan dengan mengenakan pakaian duka sembari menggenggam bunga putih. Mereka melakukan protes sambil mengenang korban jiwa pertama dalam demonstrasi menentang rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi.

"Kami sengaja membawa bunga putih supaya dia bisa beristirahat dengan tenang," ujar Michael, pemuda 23 tahun yang ikut aksi damai, kepada CNN.

BACA JUGA: Gerakan Lokal

Warga Hong Kong menyimpan ribuan pilu dalam sepekan terakhir. Mereka marah terhadap pemerintah, terutama Chief Executive Hong Kong Carrie Lam, yang mereka pikir tak mendengar aspirasi rakyat. Marah karena pemuda di garis depan dilempari gas air mata dan ditembaki dengan peluru karet oleh aparat.

"Anda seharusnya melindungi kami. Bukannya menembak kami," ujar Ben Choi, seorang pendemo, kepada Agence France-Presse.

BACA JUGA: Rakyat Hong Kong Marah, Tiongkok Cuci Tangan

Karena itulah, sejak Minggu sore mereka berkumpul di Victoria Street untuk menyampaikan tuntutan. Penduduk Hong Kong seakan tak ingin kehilangan momentum untuk melakukan aksi yang biasanya diganjar berat oleh pemerintah. Termasuk, Mandy, yang baru saja berulang tahun ke-18.

"Saya kira aksi ini lebih penting dari sekedar perayaan ulang tahun. Masalah yang dihadapi semakin serius," ungkapnya.

BACA JUGA: RUU Ekstradisi Ditunda, Rakyat Hong Kong Tetap Demonstrasi

Sebenarnya Carrie Lam sudah mengangkat bendera putih terhadap barisan rakyat yang mengepung gedung dewan legislatif setiap hari. Sabtu lalu (15/6) dia akhirnya mengumumkan penundaan pembahasan RUU ekstradisi. Tadi malam dia meminta maaf karena sudah memberi label aksi rakyat sebagai kerusuhan terorganisasi.

"Kami sadar bahwa kinerja kami mengundang kemarahan dari masyarakat. Kami berjanji mendengar semua kritik," ungkap dia menurut South China Morning Post.

BACA JUGA: RUU Ekstradisi Ditunda, Rakyat Hong Kong Tetap Demonstrasi

Pertanyaannya, apakah permintaan maaf cukup untuk menenangkan warga di wilayah eks kekuasaan Inggris itu? Jelas tidak. Penduduk maupun politisi prodemokrasi sudah terlalu kecewa. Mereka merasa bahwa tuntutan mereka tak dipenuhi.

Sebab, Lam hanya berjanji bahwa aturan ekstradisi dengan Tiongkok tak akan diungkit lagi tahun ini. Padahal, tuntutan rakyat sangat jelas: batalkan RUU ekstradisi selamanya. Kubu oposisi pun sudah menyuarakan tuntutan lainnya. Mereka meminta Lam mundur dari posisinya seperti janji kampanye.

Saat menjadi kandidat chief executive pada 2017, Lam sempat menegaskan bahwa dirinya akan turun takhta jika pendapat umum rakyat berkata begitu.

"Dia sudah kehilangan semua kredibilitas terhadap rakyat. Jadi, jalan keluarnya adalah mengundurkan diri," ujar Claudia Mo, politikus prodemokrasi.

Membuat perempuan 62 tahun tersebut turun dari takhta tertinggi Hong Kong bukan hal yang mustahil. Namun, mengubah nasib warga Hong Kong tak akan semudah itu. Pemilihan kepala otonomi di pulau tersebut bukanlah proses yang terbuka. Hanya sebagian di antara total 3,6 juta pemilih yang punya hak memilih kepala negara. Lebih tepatnya 246 ribu. Mereka pun hanya bisa memilih 1.200 anggota komisi pemilu. Sebanyak 1.200 perwakilan itulah yang bisa memberikan suara terhadap kandidat chief executive. (bil/c10/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Elite Hong Kong Ikut Menolak RUU Ekstradisi


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler