jpnn.com - JAKARTA – Bencana asap yang tak kunjung mereda bisa dianggap sebagai kejahatan negara karena gagal melindungi hak asasi warga negaranya seperti diamanatkan konstitusi.
Pengamat hukum Andri W Kusuma mengatakan, ini bisa masuk dalam kategori kejahatan oleh negara karena ada kesan terjadi pembiaran. "Seolah-olah perangkat pemerintah tak berjalan sebagaimana mestinya untuk melindungi warga negara,” tegas Andri, di Jakarta, Kamis (29/10).
BACA JUGA: Ada Politisasi Di Balik Pemangkasan Anggaran Pengawasan Pilkada
Menurutnya, indikasi perangkat negara tak berjalan bisa dilihat dengan tak bisa memprediksi akan terjadinya musim kemarau yang panjang dan El Nino. “Pemerintah ada BMKG dan lainnya. Saya yakin dampak El Nino ini ada kajian dilakukan," katanya.
Ia mempertanyakan, kenapa tidak diantisipasi dengan meminta masyarakat atau pemegang izin lahan untuk jangan melakukan aktifitas buka lahan dulu. "Ini yang sederhananya,” tegasnya.
BACA JUGA: Dari AS, Jokowi Berkantor di Kabupaten OKI
Dia meminta agar diberlakukan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) bagi pembakar lahan yang terbukti bersalah agar ada efek jera. Strict liability itu sangat mudah diterapkan karena prinsip tersebut menegasikan kesalahan dalam proses pidana.
"Jadi tidak perlu ada atau dibuktikan ada kesalahan selama terdapat akibat terhadap lingkungan pelaku dapat diminta strict liability,
akan tetapi sangat mengherankan negara dalam hal ini pemerintah tidak mau menerapkan langkah ini," ujarnya.
BACA JUGA: Rizal Ramli: Kepariwisataan Targetnya Harus Jelas
Sepertinya, kata dia, ada kekuatan pemilik modal besar yang dilindungi. Penegakan hukum yang dilakukan justru malah menyasar perusahaan kelas menengah dan tergolong kecil.
"Selain itu hanya menggunakan mekanisme proses pidana biasa, yang pembuktiannya tidaklah mudah," sesalnya.
Terkait dengan pasal 69 ayat 2 Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup yang menyatakan membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing, Andri mengatakan, itu sebenarnya jelas ada disebut tentang kearifan lokal.
“Kalau lahan gambutnya tak dalam ini bisa dimaklumi. Kalau di Riau atau daerah lain di Sumatera itu bisa tembus 50 centimeter. Itu bahaya dibakar,” katanya.
Sebelumnya, Center for International Forestry Research (CIFOR) memperkirakan dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp200 trilliun, melebihi kerugian pada tahun 1997, padahal jumlah lahan yang terbakar jauh lebih sedikit.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan total lahan yang terbakar di Sumatra dan Kalimantan mencapai 1,7 juta hektar dengan titik api sekitar 1.800 pada Minggu (25/10) , jauh lebih kecil dibandingkan pada tahun 1997 yaitu 9,7 juta hektar. Tetapi dampak kebakaran hutan ini lebih luas karena pengaruh El Nino yang panjang.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan mengakui bahwa pemerintah salah dalam memprediksi dampak El Nino, yang menyebabkan musim hujan datang terlambat. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Arzetti, Bahas Proposal Kok di Kamar Hotel, Berduaan Lagi..
Redaktur : Tim Redaksi