Desa Paringan di Ponorogo yang Semakin Banyak Dihuni Pengidap Schizophrenia (Gila)

Pak Kades Sering Urunan Bawa Warga yang Kumat ke RSJ

Minggu, 05 Juni 2011 – 09:29 WIB
Salamah (tiga dari kanan), pengidap schizophrenia yang dulunya bintang kelas. Foto: KARDONO/JAWA POS

SELAIN kampung idiot, di Ponorogo terdapat kampung yang juga menyedihkanKampung tersebut dijuluki kampung sinting

BACA JUGA: Bertekad Tampil Maksimal untuk Masuk Timnas

Sebab, di daerah itu jumlah orang yang mengidap schizophrenia (gila) cukup banyak
Ketika didata Maret lalu, jumlahnya 51 orang

BACA JUGA: Rangga Umara, Pengusaha Muda yang Menggapai Sukses dengan Menulis Dream Book

Tak sampai tiga bulan kemudian, jumlahnya bertambah menjadi 62 orang

-------------------------------------------
Kardono Setyorakhmadi, Ponorogo
-------------------------------------------
Sekilas, Desa Paringan, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, tak begitu berbeda dengan desa-desa lain

BACA JUGA: Ingin Cetak Sejarah Baru di Thailand, Partai Thaksin Calonkan si Cantik Yingluck Shinawatra

Alamnya cukup suburRata-rata penduduknya bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan Rp 300 ribu - Rp 400 ribu per bulanTapi, yang membedakan desa itu dengan desa kebanyakan adalah kondisi warganya.

Kondisi warga desa itu cukup memprihatinkanAda 19 orang idiot dan 91 orang cacat fisikYang paling menyedihkan, 62 warga didiagnosis schizophrenia (orang umum melihatnya sebagai gila alias sinting, Red)"Kemungkinan bisa bertambahSebab, yang sebelumnya terlihat normal-normal saja tiba-tiba besoknya bisa terkena (schizophrenia)," kata Kepala Desa Paringan MSarfin kepada Jawa Pos

Sarfin mencontohkan, ketika mulai didata secara serius pada Maret lalu, penderita schizophrenia masih 51 orangNamun, tak sampai tiga bulan kemudian, jumlahnya menjadi 62 orang"Sekitar dua minggu lalu, seorang TKI asal desa ini yang baru pulang dari Libya tiba-tiba terkena," kata pria 65 tahun ituUntuk ukuran desa di Ponorogo, jumlah ini sangat mencolok.

Hingga kini, penyebab banyaknya penderita schizophrenia di desa tersebut masih sama misteriusnya dengan penyebab schizophrenia"Pernah ada satu tim dari RSJ Lawang dan Dinkes Ponorogo yang datang untuk menelitiTapi, hingga sekarang kami belum tahu penyebabnya," terang Sarfin

Heru Setiawan, salah satu staf di balai Desa Paringan, menduga, schizophrenia kian banyak terjadi karena dipicu masalah pribadi"Seperti salah satu warga kamiKarena gagal ikut audisi menyanyi, dia langsung stres dan gila sampai sekarang," kata pria yang belakangan kian sibuk menjadi tandem Sarfin dalam menolong warga yang sedang "kumat" itu

Sebelum pendataan pada Maret lalu, Sarfin mengaku sudah kerap dimintai tolong penduduk desanyaIni seperti yang dilakukan Ny Demes, salah satu warganyaNasib Demes memang yang paling malangTiga anak lelakinya mengidap schizophrenia"Beberapa kali dia (Demes, Red) minta tolong kepada saya untuk membuang anaknyaSaya kan juga bingungMosok mau buang anak orang," tuturnya.

Di sisi lain, Sarfin juga memahami kekhawatiran DemesBeberapa kali tiga anak Demes itu beramai-ramai memegangi ibunya dan seperti akan berbuat tak senonoh"Hingga sekarang Bu Demes tak pernah berani lagi tidur di rumahnyaKalau siang memang ada di rumahNamun, kalau malam, tidurnya berpindah-pindah," tambahnya

Pernah, lanjut Sarfin, seorang pemuda pengidap schizophrenia yang mendadak mengamukTak tanggung-tanggung, saat itu tangan kanannya membawa kapak dan tangan kiri memegang perkul (semacam sabit pemotong rumput)"Polisi yang datang saja sampai tak berani mendekatKami serbasalahKalau dia nyabit, tak ada hukumnya dan dia tak berpikir apa-apaSementara kalau kami yang keras, dan terlalu keras, bisa dianggap menganiayaSerbasusah," ucapnya.

Kalau sudah ada warga desa itu yang kelewatan ngamuknya, biasanya Sarfin, Heru, dan warga lain patungan membawanya ke RS Jiwa LawangDi sana warga itu diobatkan sementara, lalu dibawa pulang"Ketika kami membawa warga yang kumat ke RSJ, minimal ada enam orang yang berjagaJadi ketika makan, tiga orang makan, tiga orang lainnya berjaga di mobilGantian," katanya, lantas tertawa

Selain untuk biaya membawa warganya ke RSJ Lawang, Sarfin dan warganya sering urunan untuk memperbaiki rumah warga yang rusak akibat amukan pengidap schizophrenia

Ketika ditanya tentang alasan baru mendata warga yang gila pada Maret lalu, ternyata ada kisahnyaSaat itu pagi-pagi buta, rumah Sarfin didatangi dua polisiMereka menangkap dan menyerahkan Darnu, salah seorang warga Desa Paringan (salah satu dari anak Ny Demes, Red) kepada SarfinDarnu ditangkap karena mengamuk dan hendak membakar motor di pusat Kota Ponorogo"Rupanya setelah diinterogasi, Darnu ngomongnya tak nyambungPolisi menyerahkan kepada saya untuk ditangani," kata Sarfin

Dia dan beberapa warga kemudian membawa Darnu ke RSJ LawangPihak RSJ kemudian mengontak Sarfin dan menanyakan apakah memang banyak warganya yang gila"Petugas RSJ sempat curiga, kok selalu ada kiriman pasien gila dari Desa Paringan," paparnyaRSJ Lawang kemudian memberikan bantuan obat penenang ke Puskesmas Desa Paringan, tapi jumlahnya sangat terbatas.

Sejak saat itulah Sarfin mulai mendata warganyaHasilnya, ada 51 warga yang gila"Maka, ketika orang-orang akhirnya menjuluki sebagai kampung sinting, kami bisa memahaminyaNyatanya memang seperti itu," terang SarfinData ini kemudian diketahui secara luas di Ponorogo

Ketika informasi tentang kampung sinting itu tersebar luas, alih-alih segera mendapat pertolongan, Sarfin dan Heru justru dimarahiDua orang tersebut bahkan sempat dipanggil oleh Komisi A DPRD Ponorogo dan dimarahiAlasannya cukup anehMereka dituding membuka aib PonorogoSesuatu yang sangat sulit dinalar"Saya tak mau memperpanjang masalahSaya hanya diam dan bilang iya-iyaTapi, sekarang sudah baik kok," tuturnya

Bukan itu sajaSarfin pun sempat ditelepon oleh para TKI asal Desa Paringan yang kini bekerja di luar negeriMereka marah-marah karena malu kampungnya disebut kampung sintingBukan itu saja, wartawan Radar Madiun (Jawa Pos Group) yang ngepos di dewan Ponorogo juga disindir oleh kalangan dewan sebagai wartawan sinting
Tapi, Sarfin tetap tegar"Faktanya memang seperti itu dan kami sudah cukup susah dengan fenomena iniKami tak ingin menutup-nutupinya," katanya

Apalagi, karena keterbatasan ekonomi dan fasilitas, penanganan para penderita schizophrenia di Desa Paringan sangat minimBila kumat, mereka baru dibawa ke RSJPadahal, terapi penderita schizophrenia harus berkelanjutan, seumur hidup, dan tak boleh putus"Kalau sempat terputus, akan semakin sulit penyembuhannyaBegitu kata dokter di RSJ LawangTapi, kami tak mampu melakukannya," tambahnya.

Obat-obatan untuk penderita schizophrenia bisa mencapai Rp 350 ribu per bulanIni masih di atas rata-rata "pendapatan per kapita" penduduk setempat"Itu pun beli di apotek dengan harga paling murah," terang Sarfin

Di puskesmas memang ada obat gratis sumbangan RSJ LawangNamun, jumlahnya terbatasKadang baru dua minggu, jatah obat tersebut sudah habisKetika cerita tentang kampung sinting ini beredar, sejumlah bantuan pun datangDi antaranya dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) SurabayaMereka berencana mendirikan sebuah panti rehabilitasi di bekas gedung sekolah di kampung itu yang sudah tak terpakaiRencananya, ada tempat rawat inap dan dua dokterBagaimana operasionalnya" "Itu yang kami belum tahu," kata Sarfin

Bantuan lain datang dari Semen GresikPerusahaan tersebut berkomitmen merenovasi 30 rumah di desa tersebut agar menjadi rumah yang layak huni
Bagaimana bantuan pemerintah" "Hingga kini belum adaSempat ada anggota dewan yang berencana mencarikan bantuan kambing bagi keluarga para pengidap, namun sampai sekarang belum terealisasi," kata Sarfin

Ini cukup ironisSebab, keluarga yang memiliki pengidap schizophrenia pasti juga sangat menderitaIni seperti yang dialami RantiDulu kehidupan perempuan 60 tahun tersebut tergolong mampuDia mempunyai tanah yang luas dan kebunNamun, semuanya berubah ketika anak tunggalnya, Salamah, mengidap schizophrenia sejak 2002Sembilan tahun merawat Salamah membuat Ranti kini hanya punya rumah yang ditempatinyaSemua kebun dan tanahnya yang luas sudah ludesKini dia dan suami mengandalkan perawatan Salamah dari pekerjaan sebagai buruh tani, plus bila ada tetangga yang menaruh iba

Kisah Salamah juga cukup tragisPada Oktober 2010 dia menggorok lehernya sendiri karena mengira bahwa yang diiris adalah daun pisangUntung, aksinya segera diketahui tetangga"Saya sampai menangis melihatnyaDia terlihat lugu dan tak merasa sakit, sementara lehernya sudah mengucurkan darah," kata Lamini, tetangga depan rumah Salamah yang ikut menyelamatkannya saat itu

Sebelumnya Salamah adalah perempuan yang cukup cerdasSejak SD sampai SMA, Salamah menduduki peringkat satuLulus SMA pada 2000, Salamah mengikuti kursus bahasa (sebagai salah satu penghasil TKI, Ponorogo mempunyai banyak kursus bahasa, seperti Korea, Jepang, TiongkokPonorogo juga merupakan kota kecil yang mempunyai money changer)

Tak sampai setahun, Salamah boleh dibilang polyglotPerempuan 29 tahun itu cukup lancar cas cis cus dalam lima bahasaYakni, Inggris, Arab, Mandarin, Korea, dan JepangMerasa sudah cukup bekal, dia merantau mencari kerjaSempat bekerja di Gresik, di Bali, hingga akhirnya Salamah bekerja di JakartaTak jelas apa kerjanya di Jakarta, pada 2002 Salamah mendadak pulang dalam keadaan depresiHanya omongan tak nyambung yang bisa diucapkannya

"Saya disuruh makan krupuk, saya takut, saya dibawa ke gudangSaya sakit," ucapnya ketika Jawa Pos bertanya tentang pekerjaannya di Jakarta"Begitu itu terus jawabnya sejak semula," kata Heru, yang juga ikut dalam wawancara tersebut

Satu kisah ekstrem mengenai penderitaan orang gila dan keluarganya adalah keluarga SanemAnak semata wayangnya, Supri, sudah 24 tahun ini dipasung di pekarangan belakang rumahPerutnya diikat dengan sebuah rantai besar yang dililitkan hingga tembus ke dalam rumahDi pinggir kiri-kanannya dibuat lubang berdiameter hingga satu meter dan sedalam satu meterJuga ada cekungan-cekungan di tembok tersebut

"Itu kebiasaan SupriKalau marah, dia mencakar-cakar tanah atau tembok," kata Sanem, terisakSupaya tak kehujanan, dibuatkan sebuah payon (pelindung) dari sengMakan pun disodorkan begitu sajaKalaupun tak diberi makan, Supri tak pernah berteriak lapar.  Sanem mengaku sebenarnya tidak tega melihat anaknya seperti itu"Tapi, saya sudah bingung mau berbuat apa lagi," katanya

Seperti Salamah, Supri sebenarnya juga murid yang cemerlangSekolah di SMK Ponorogo, Supri juga bintang kelasSelalu juara satuNamun, seminggu menjelang Ebtanas 1985, Supri tak pulang ke rumahSanem bingungSetelah seminggu dicari, Supri ditemukan dalam keadaan linglung di salah satu pusat Kota Ponorogo(c2/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Arsenal Didukung Imigran, Spurs Jadi Basis Suporter Yahudi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler