jpnn.com - JAKARTA - Masih maraknya politik uang menjelang pilkada dinilai akibat dari tidak adanya aturan mengikat tentang keharusan masyarakat untuk memilih. Tidak adanya sanksi bagi masyarakat yang enggan menggunakan hak pilihnya, juga memicu tingginya angka golput.
"Money politic ini ibarat bisa tercium baunya tapi susah dipegang. Selama ini masyarakat mau memilih kalau dia dibayar, tidak perduli figurnya layak atau tidak memimpin daerahnya," kata Sekda Kabupaten Buton Tengah La Ode Hasimin dalam seminar nasional Netralitas Aparatur Sipil Negara di Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), Rabu (20/4).
BACA JUGA: Pemerintah tak Punya Niat Perberat Syarat
Hasiminin menambahkan, perlu pemikiran semua pihak untuk melakukan pembinaan supaya partisipasi politik meningkat. Masyarakat harus tahu kewajibannya memilih pemimpin sesuai hati nurani tanpa embel-embel uang.
"Selama ini masyarakat hanya menunggu sosok A atau B untuk membayar suaranya. Ini menjadi peluang bagi orang berduit untuk menjadi kepala daerah. Dengan modal sekian miliar bisa gol karena sudah membayar suara rakyat," tuturnya.
BACA JUGA: Jakarta Butuh Pemimpin Tegas, Tapi Bukan Tukang Gusur
Bila hal ini dibiarkan, lanjut Hasimin, akan menimbulkan kehancuran karena kepala daerah yang terpilih bukan lantaran kemampuannya memimpin. Ironisnya, aroma ini sudah di seluruh daerah.
"KPU harus mengusulkan ke pemerintah untuk membuat regulasi mengikat itu. Ini untuk meningkatkan angka partisipasi pemilih karena pemilih saat ini justru menunggu untuk diberi uang," tandasnya. (esy/jpnn)
BACA JUGA: Ahok Butuh Rp 3 M Untuk Materai? Begini Komentar Mendagri
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cak Imin: Nanti Tak Bicara Menteri Lagi tapi...
Redaktur : Tim Redaksi