Desak Jokowi Tarik Surat Pengajuan Budi jadi Calon Tunggal Kapolri

Senin, 12 Januari 2015 – 06:15 WIB
CALON TUNGGAL: Komjen Budi Gunawan diajukan Presiden Jokowi sebagai calon Kapolri. Foto: M. Ali/Jawa Pos

jpnn.com - JAKARTA - Direktur Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menilai pengajuan nama Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri terkesan janggal dan terburu-buru.

Terlebih, kebijakan Jokowi itu diambil dengan tidak melibatkan KPK dan PPATK dalam proses pertimbangan calon Kapolri. Meski tidak diwajibkan undang-undang, keterlibatan KPK dan PPATK adalah pintu masuk seleksi pejabat publik yang berintegritas.

BACA JUGA: Budi Pernah Diusulkan jadi Menteri tapi Rapornya Merah

”Presiden Joko Widodo telah mengesampingkan prinsip kehati-hatian dan pertimbangan integritas dalam pemilihan calon Kapolri ini,” cetus dia kemarin.

Presiden, imbuh Ronald, seharusnya ingat pada komitmen dalam visi-misinya. Visi-misi Joko Widodo-Jusuf Kalla jelas menuliskan komitmen untuk memilih jaksa agung dan Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi, dan berkomitmen pada penegakan hukum. Proses pemilihan yang akuntabel dan berintegritas baik sangatlah penting.

BACA JUGA: Jokowi Diingatkan, Menunjuk Kapolri bukan Untuk Dirinya Sendiri

”Masih ada banyak pertanyaan terhadap figur calon Kapolri yang diajukan presiden. Besarnya peningkatan harta kekayaan Komjen Budi Gunawan yang tertera dalam LHKPN (pada 2008 sebesar Rp 4,6 miliar, namun pada 2013 melejit menjadi Rp 22,6 miliar, Red) menimbulkan pertanyaan dan dugaan publik mengenai keterlibatannya dalam kasus rekening gendut,” ujarnya.

Ronald menjelaskan, bila Jokowi tidak menarik surat pengajuan Budi kepada DPR, harapan publik akan berada di tangan para anggota dewan. DPR seharusnya tidak begitu saja menerima usulan calon Kapolri yang diajukan presiden.

BACA JUGA: DPR Bisa Tolak Budi Gunawan Jadi Kapolri

Sesuai pasal 11 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, dalam waktu 20 hari DPR dapat menyetujui atau tidak menyetujui usulan calon Kapolri dari presiden.

”Kami mendorong DPR melakukan uji kepatutan dan kelayakan secara optimal. Ini adalah waktu yang tepat bagi DPR untuk menunjukkan komitmennya terhadap masa depan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi,” tandasnya.

Berbeda, Indonesia Police Watch (IPW) justru mempertanyakan sikap KPK maupun sejumlah LSM yang meributkan masalah rekening gendut perwira kepolisian. Ketua Presidium IPW Neta S. Pane menyatakan, sikap tersebut telah memunculkan kesan bahwa KPK menjadikan Polri sebagai musuh abadi.

Padahal, menurut Neta, yang dibutuhkan saat ini adalah koordinasi dan kerja sama yang baik antara lembaga antirasuah tersebut dan kepolisian. Terutama dalam hal memberantas masalah korupsi. ”Tapi, ya itu tadi, yang heran selalu saja ketika mau ada pemilihan Kapolri, isu rekening gendut ini yang selalu dimunculkan KPK. Apa maksud mereka, saya tidak paham,” cetusnya.

Meski demikian, Neta menangkap adanya kemungkinan upaya selalu mengungkit kasus tersebut hanya untuk tujuan pembunuhan karakter sejumlah perwira tinggi kepolisian. Lebih lanjut, ada nuansa politis yang ikut menyertai.

”Selama ini, kalau punya bukti, KPK kan pasti langsung melakukan penangkapan kok. Tapi, sampai sekarang, jangankan menangkap, memeriksa pun tidak pernah. Ini kan aneh,” bebernya.

Neta menyatakan, isu rekening gendut tersebut bergulir sejak 2010. ”Apa mereka (KPK, Red) tidak capek? Masyarakat saja pasti lelah melihat atraksi yang seperti ini,” tegasnya. (aph/bay/dim/idr/dyn/c9/end)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Basarnas Meyakini Banyak Jenazah Terperangkap di Dalam Kabin


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler