jpnn.com, BANDUNG - Penyanyi sekaligus penulis kenamaan Dewi Lestari berbagi pandangannya tentang komunikasi generasi muda dan kesehatan mental di tengah derasnya arus informasi.
Hal itu disampaikan penulis yang akrab dengan nama pena Dee Lestari ini dalam sebuah acara milenial di Kota Bandung.
BACA JUGA: Peduli Kesehatan Mental, Bluebird Siapkan Wellnest Ride
Dee berbicara tentang tantangan komunikasi lintas generasi dan pentingnya memberi ruang bagi diri untuk melamun di era serba cepat ini.
Kepada audiens, Dee mengamati perbedaan gaya komunikasi Gen Z dengan generasi sebelumnya. Salah satu kasusnya adalah fenomena chatting antara mahasiswa dengan dosen.
BACA JUGA: Ciptakan Lingkungan Kerja yang Fun, Srikandi PELNI Gelar Seminar Kesehatan Mental
"Cara komunikasi kita memang beda-beda, dan sering kali Gen Z dianggap kurang sopan hanya karena gaya komunikasinya singkat atau kurang struktur," kata Dee, Jumat (8/11/2024).
Dee berpendapat, fenomena ini mencerminkan adanya kesenjangan komunikasi yang membutuhkan pemahaman lintas generasi.
BACA JUGA: Universitas Al-Azhar Indonesia & IMI Berkolaborasi, Bahas Isu Kesehatan Mental
Selain persoalan etika, Dee juga menyoroti beban informasi berlebih yang kerap dialami generasi saat ini.
Ia menjelaskan bahwa otak manusia secara evolusi belum siap untuk menerima informasi dalam volume dan kecepatan seperti sekarang.
"Informasi yang kita terima sekarang ini kalau dilihat dari sudut pandang evolusi sudah terlalu banyak. Tak heran banyak dari kita mengalami masalah kesehatan mental," ujarnya.
Untuk menjaga keseimbangan mental, Dee menawarkan strategi sederhana, tetapi menantang, yakni menyediakan waktu untuk 'melamun' dan memberi ruang kosong tanpa gangguan gawai.
"Inspirasi sering datang saat kita sedang kosong," imbuhnya.
Penulis buku serial Supernova itu pun mengajak kepada Gen Z untuk sejenak menjauhi diri dari penggunaan gawai untuk kembali menemukan ketenangan di tengah kesibukan sehari-hari.
Dia juga menyarankan Gen Z untuk memperkaya diri dengan kebiasaan membaca dan belajar dari berbagai sumber yang mendalam.
Menurutnya, membaca teks panjang dan berstruktur adalah cara efektif melatih kemampuan berpikir kritis.
Ia menegaskan, kebiasaan membaca pesan singkat atau caption saja tidak cukup untuk mengasah otot berpikir manusia.
Sebaliknya, membaca dan menulis materi yang lebih kompleks akan memperkuat daya pikir secara signifikan, seperti latihan bagi otot fisik.
Selain itu, Dee menekankan pentingnya berbahasa yang baik dan terstruktur sebagai cerminan intelektualitas seseorang.
Ia mencontohkan pengalamannya menerima undangan yang tidak menyertakan salam pembuka atau detail acara yang lengkap.
Menurut Dee, kemampuan berbahasa dengan baik menjadi cara sederhana untuk menunjukkan kualitas diri.
"Sisihkan waktu untuk berdiam sejenak dan beri nutrisi pada pikiran kita dengan membaca," tandasnya. (mcr27/jpnn)
Redaktur : Budianto Hutahaean
Reporter : Nur Fidhiah Sabrina