Di Balik Bisikan Gaib: Mengurai Kompleksitas Psikologis Ibu dalam Tragedi Bekasi

Oleh: Dr. Geofakta Razali

Rabu, 13 Maret 2024 – 11:07 WIB
Dr. Geofakta Razali, Departemen Komunikasi dan Pusat Studi Urban Universitas Pembangunan Jaya. Foto: Dokumentasi UPJ

jpnn.com - Saya, dan kita semua, pasti terheran mendengar seorang ibu tega melakukan tindakan yang begitu kejam terhadap anaknya sendiri.

Berita yang datang dari Bekasi tentang seorang wanita berinisial SNF yang membunuh anaknya, AM, dengan 20 kali tusukan karena bisikan gaib, mengejutkan dan sekaligus mengundang banyak pertanyaan.

BACA JUGA: Ibu Bunuh Anak Kandung dengan Cara Diberikan Racun

Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mungkin bisikan gaib bisa menjadi alasan bagi seorang ibu untuk mengakhiri nyawa anaknya sendiri?

Di balik kejadian tragis ini, ada lapisan-lapisan masalah psikologis dan sosiokultural yang kompleks, yang mungkin tidak terlihat oleh mata awam.

BACA JUGA: Heboh Ibu Bunuh Diri Bersama Anak di Cilacap, Begini Penjelasan Polisi

Dalam masyarakat, ibu seringkali dipandang sebagai simbol kasih sayang dan pengasuhan, sosok yang selalu melindungi dan mempertahankan keturunannya.

Namun, apa yang terjadi ketika sosok tersebut justru menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya?

BACA JUGA: Ya Tuhan, Ibu Bunuh 3 Bayinya Pakai Parang, Sadis, Jangan Dibaca

Dalam beberapa kasus, kondisi psikologis seperti depresi pasca-melahirkan, psikosis pasca-melahirkan, atau gangguan mental lainnya bisa mempengaruhi perilaku seorang ibu.

Meskipun tidak dikonfirmasi apakah SNF mengalami salah satu dari kondisi ini, penting untuk mempertimbangkan kemungkinan bahwa faktor psikologis mungkin memainkan peran dalam tragedi ini.

Psikosis pasca-melahirkan, misalnya, adalah kondisi langka tapi serius yang bisa menyebabkan seorang ibu baru mengalami halusinasi atau delusi, termasuk mendengar "bisikan" yang menyuruhnya untuk menyakiti dirinya sendiri atau anaknya.

Kondisi seperti ini membutuhkan intervensi medis segera, namun sering kali terlewatkan karena stigma dan kurangnya kesadaran tentang kesehatan mental ibu.

Selain itu, tekanan sosiokultural terhadap perempuan, khususnya dalam peran mereka sebagai ibu, bisa sangat besar.

Harapan masyarakat yang tinggi terhadap ibu untuk selalu sempurna, berperilaku sesuai dengan norma-norma tertentu, dan mampu menangani semua tekanan tanpa keluhan, adalah beban yang berat.

Ketika tekanan ini menjadi terlalu besar untuk ditanggung, tanpa dukungan yang memadai, beberapa ibu mungkin menemukan diri mereka di tepi jurang keputusasaan.

Menghadapi realitas ini, kita harus bertanya kepada diri sendiri, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan?

Solusi yang baik tidak hanya datang dari sistem kesehatan yang responsif, tetapi juga dari perubahan dalam sikap masyarakat kita terhadap kesehatan mental, terutama kesehatan mental ibu.

Peningkatan Kesadaran tentang Kesehatan Mental

Masyarakat perlu lebih terinformasi tentang kondisi kesehatan mental dan harus menghilangkan stigma yang sering kali mengelilinginya.

Pendidikan tentang kesehatan mental harus dimulai dari dini, baik di sekolah maupun di rumah.

Dukungan untuk Ibu

Program dukungan untuk ibu baru, termasuk konseling dan kelompok dukungan, harus mudah diakses.

Penting bagi ibu untuk merasa bahwa mereka tidak sendirian dan bahwa ada tempat mereka bisa pergi untuk mendapatkan bantuan.

Intervensi Medis Cepat

Diperlukan sistem untuk mendeteksi dan merespons cepat terhadap tanda-tanda gangguan mental pada ibu.

Hal ini melibatkan pelatihan profesional kesehatan untuk mengenali gejala awal dan menyediakan atau merujuk ke perawatan yang tepat.

Penguatan Jaringan Sosial

Membangun komunitas yang kuat di mana keluarga, teman, dan tetangga saling mendukung dapat menjadi benteng pertama terhadap isolasi dan tekanan psikologis yang mungkin dialami oleh ibu.

Peristiwa di Bekasi adalah tragedi yang mengingatkan kita semua tentang pentingnya mendukung kesehatan mental ibu dan memahami tekanan-tekanan yang mereka hadapi.

Sebagai masyarakat, tanggung jawab kita adalah untuk merespons dengan empati, bukan dengan penghakiman.

Kita perlu mendengarkan lebih cermat, merespons dengan lebih sensitif, dan bergerak menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang kebutuhan kesehatan mental ibu.

Kisah SNF, meskipun ekstrem, menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem dukungan bagi perempuan, terutama ibu, dalam menghadapi tantangan psikologis.

Dengan mengakui bahwa kesehatan mental ibu adalah prioritas, kita tidak hanya membantu mencegah tragedi, tetapi juga berinvestasi dalam kesejahteraan generasi masa depan.

Mari kita gunakan tragedi ini sebagai titik balik, untuk memulai dialog yang lebih luas dan inklusif tentang kesehatan mental.

Melalui pemahaman, dukungan, dan tindakan, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan lebih aman untuk semua, terutama bagi mereka yang paling rentan.

Perjuangan ibu tidak seharusnya dihadapi sendirian. Bersama, kita dapat dan harus menjadi jaring pengaman yang kuat untuk mereka.

Saat kita merenungkan tragedi ini, marilah kita mengingat bahwa di balik setiap berita adalah nyawa manusia yang kompleks dengan cerita sendiri.

Mengambil tindakan untuk memahami dan mendukung kesehatan mental, terutama di kalangan ibu, adalah langkah penting untuk mencegah kesedihan yang dapat dicegah.

Semoga, dengan tindakan kolektif dan empati yang mendalam, kita dapat mencegah tragedi serupa di masa depan dan membangun masyarakat yang lebih peduli dan mendukung untuk semua. (***)

Oleh: Dr. Geofakta Razali

Departemen Komunikasi dan Pusat Studi Urban Universitas Pembangunan Jaya


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler